Menuju konten utama

Vaksin Syarat Berkegiatan. Ombudsman DKI Nilai Anies Diskriminatif

Ombudsman DKI menilai jika tujuannya mencegah penyebaran COVID-19, seharusnya cukup dengan tes swab saja, bukan harus menunjukkan sertifikat vaksin.

Vaksin Syarat Berkegiatan. Ombudsman DKI Nilai Anies Diskriminatif
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 Sinovac kepada seorang warga saat vaksinasi Presisi di terowongan Jalan Kendal, Jakarta, Jumat (30/7/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/wsj.

tirto.id - Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh P Nugroho menilai Gubernur DKI Anies Baswedan diskriminatif jika memberlakukan kebijakan surat vaksin sebagai syarat berkegiatan di Ibu Kota.

Sebab kata dia, hanya orang yang sudah divaksin dan mendapat sertifikat saja yang bisa mengakses layanan publik itu.

"Terkait dengan syarat vaksinasi untuk mendapatkan pelayanan publik atau memperoleh akses terhadap layanan publik kalau dilihat dari kacamata UU Pelayanan Publik, jelas tindakan diskriminatif," kata Teguh kepada Tirto, Senin (2/8/2021).

Dalam memberikan pelayanan publik, Ombudsman meminta kepada Anies pada prinsipnya tidak boleh mengabaikan asas non-diskriminatif.

Penambahan persayaratan dalam sebuah layanan harus diawali dengan penyediaan prasyarat tersebut secara transparan dan akuntabel.

Menurutnya, jika tujuannya untuk mencegah penyebaran COVID-19 dari pusat-pusat layanan publik, seharusnya pemerintah cukup melakukan tes swab antigen atau PCR kepada pengunjung, bukan sertifikat vaksin.

Jumlah orang yang sudah di vaksin di Jakarta untuk dosis pertama, kata dia, sebesar 7,6 juta orang dan penerima vaksin dosis ke- 2 sebesar 2,5 juta orang.

Angka itu ketika sudah dirapikan oleh Dinkes DKI dan untuk penerima dosis 1 baru 6 juta orang yang ber-KTP DKI, sisanya dari warga luar Jakarta. Sementara penerima dosis 2, angkanya sekitar 2 juta orang yang sudah menerima.

Artinya, baru sekitar 2 juta orang yang sudah memiliki imunitas dibandingkan dengan 10,5 juta warga DKI dan pelaju dari wilayah penyangga yang angkanya mencapai 2 juta orang. Ini berarti masih ada 10 juta orang yang belum memiliki imunitas dan masih jauh dari herd immunity.

"Jangan sampai kebijakan ini menjadi justifikasi bagi sekitar 7,5 juta orang warga yang sudah memiliki sertifikat vaksin baik dosis 1 maupun dua untuk melakukan kegiatan karena sudah memiliki sertifikat vaksin. Sementara sertifikat tersebut tidak bisa menjadi alat tracing dan tracking suspect COVID-19," tegasnya.

Apabila tujuannya mempercepat vaksinasi, lanjut Teguh, pemerintah perlu memastikan jumlah ketersediaan vaksin, distribusi vaksin, dan aksesibilitas warga dalam melakukan vaksinasi.

Saat ini kata dia, vaksinasi di Jakarta jumlahnya tak terbatas, bahkan bisa melayani Warga Negara Indonesia dan asing yang memiliki identitas selama melakukan pendaftaran melalui aplikasi Jaki.

Namun vaksinasi itu sendiri masih dilakukan melalui kegiatan yang dilakukan TNI-Polri hingga ormas, selain faskes di RSUD dan puskesmas mobil vaksin.

"Jadi jika tujuannya percepatan vaksinasi, maka yamg perlu dilakukan adalah meningkatkan aksesibilitas warga untuk mendapat vaksin," ujarnya.

Teguh menjelaskan, kebijakan tersebut menjadi tidak diskriminatif jika pemerintah menyediakan fasilitas vaksinasi di tempat-tempat layanan publik secara on the spot. Sehingga warga yang belum mendapat vaksin bisa melakukan vaksinasi di sana.

"Jika menolak mendapat vaksin, maka bisa diberlakukan diskriminasi positif berupa tidak diberikannya layanan publik bagi yang bersangkutan demi kepentingan masyarakat yg lebih luas," ucapnya.

Sementara untuk warga yang tidak dapat divaksin karena komorbid, Ombudsman menyarankan bisa menggunakan syarat surat keterangan sehat dari dokter.

Selanjutnya, Teguh menilai terdapat dua permasalahan dalam mengawasi sertifikat vaksin. Pertama, pengawasan di lapangan oleh petugas dan kedua kemungkinan munculnya sertifikat vaksin palsu.

Untuk kontrol, Pemprov DKI mengasumsikan bisa melakukan mengawasi dengan aplikasi Peduli Lindungi dan Jaki, melalui pembacaan barcode sertifikat.

Namun, bekaca dari pengalaman pengawasan SRTP, petugas di lapangan pada akhirnya melakukan pengecekan secara manual karena minimnya pengetahuan dan tidak tersedianya perlengkapan yang memadai untuk melakukan pembacaan barcode kecuali handphone yang dimiliki oleh masing-masing petugas.

Ketika dilakukan pengecekan secara manual, sangat memungkinkan munculnya sertifikat vaksin palsu saat dilakukan pengecekan

"Berbeda misalnya, kalau semua data masyarakat yang sudah di vaksin dimasukan ke dalam data chip yang ada di e-KTP," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto