Menuju konten utama

Vaksin Nusantara Enak bagi Terawan, tapi Pahit untuk Masyarakat

Terawan mengatakan Vaksin Nusantara rasanya enak. Padahal, dengan pengembangan yang terpantau selama ini, klaim itu sangat meragukan.

Vaksin Nusantara Enak bagi Terawan, tapi Pahit untuk Masyarakat
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - "Kami merasakan efek imun yang diperoleh dari Vaksin Nusantara, produk kami sendiri, dan rasanya enak." Pernyataan ini keluar dari mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam diskusi yang digelar secara daring, Rabu (26/5/2021) lalu.

Dalam kesempatan itu, Terawan juga mengatakan lewat Vaksin Nusantara, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, tempat vaksin dikembangkan, telah turut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal pemanfaatan sel dendritik yang juga dipakai pada pasien kanker.

Dia menyatakan RSPAD, yang telah lama berkecimpung dalam penelitian sel dendritik untuk penanganan kanker, bersedia mengajarkan teknis pembuatan sel dendritik untuk COVID-19. Dia bilang caranya "sangat mudah, sangat simpel, bisa diterapkan." Jika dibuat massal, dia berharap "mudah-mudahan bisa memecah kebuntuan selama ini"--sulitnya memperoleh vaksin dari luar negeri.

Dalam metode ini, penerima vaksin akan diambil darahnya, kemudian darah tersebut dipaparkan dengan antigen virus, lalu disuntikkan kembali ke dalam tubuh penerima vaksin sehingga diharapkan tubuh mampu membentuk antibodi.

Klaim Terawan, terutama bahwa Vaksin Nusantara "rasanya enak", dikritik habis-habisan oleh para peneliti, epidemolog, hingga aktivis COVID-19. Pengajar ilmu kesehatan masyarakat Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Mouhamad Bigwanto, misalnya, mengatakan narasi itu akan menyesatkan masyarakat.

"Apakah maksudnya enak rasanya, atau membuat enak di badan? Ukurannya apa? Lalu bagaimana cara merasakannya? Vaksin tersebut kan diinjeksikan. Kecuali jika dia adalah obat oral, akan dengan mudah merasakannya," kata Bigwanto kepada reporter Tirto, Jumat (28/5/2021).

Jika maksudnya adalah enak di tubuh, maka itu bertolak belakang dengan temuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menyatakan 20 dari 28 subjek atau setara 71,4 persen mengalami efek samping setelah pakai Vaksin Nusantara. Lagi pula enak atau tidak semua obat bukan ukuran apakah itu aman dan layak dikonsumsi.

Selain itu, uji klinis Vaksin Nusantara sebenarnya telah resmi dihentikan. Risetnya kini diambil alih oleh TNI AD dan diubah menjadi penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik untuk meningkatkan imunitas terhadap COVID-19 sebagaimana nota kesepakatan pada 19 April 2021.

Jika Terawan mengklaim Vaksin Nusantara bakal diproduksi massal, maka eks Kepala RSPAD Gatot Subroto itu sebenarnya telah menyalahi kesepakatan.

Dia juga bingung dengan istilah diproduksi massal yang dilontarkan Terawan, sebab pada dasarnya pengembangan imunoterapi berbasis sel dendritik ini sangat spesifik sekali. "Tidak bisa satu imunosel berlaku untuk semua orang. Itulah kenapa BPOM menyatakan Vaksin Nusantara yang dikembangkan ini tidak memenuhi kriteria kategori vaksin," katanya.

Menurutnya, apabila Vaksin Nusantara dipaksakan, mungkin akan terasa 'manis' bagi Terawan, tetapi 'pahit' untuk masyarakat yang menjadi relawan uji cobanya.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono juga mengkritik pengakuan dokter militer bintang tiga itu. "Bohong, mana ada vaksin rasanya enak," ujar dia kepada reporter Tirto, Jumat. "Wong itu bukan vaksin, kok. Apa yang dilakukan, diucapkan oleh Pak Terawan, kita (publik) harus skeptis. Belum tentu benar, ngototnya tak berdasar."

Lebih jauh Pandu mengatakan Terawan dan tim "telah melanggar aturan scientific misconduct, penelitian harus pakai izin, walaupun rumah sakit tentara sekalipun," imbuh dosen yang mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu.

Bukan kali ini saja Terawan mengembangkan sesuatu dengan basis penelitian dan bukti ilmiah yang lemah. Sebelumnya ada metode 'cuci otak'--yang sama seperti Vaksin Nusantara, juga dibela oleh para politikus. Penelitian sel dendritik untuk COVID-19 ini menurutnya seolah menguatkan pandangan bahwa Terawan "tak paham prinsip penelitian".

Guna menghentikan Terawan, Pandu menyarankan publik bersikap masa bodoh. "Kalau semua masyarakat Indonesia tidak percaya, itu akan gagal sendiri. Berakhir," pungkasnya.

Sementara co-founder KawalCOVID-19 Elina Ciptadi berpendapat yang diucapkan Terawan adalah distraksi yang tidak perlu. "Kalau memang yakin pada efektivitas dan metodologinya, ya, ditinjau dan [dapatkan] rekomendasi BPOM sebagai otoritas yang meninjau keamanan dan efikasinya,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat.

Elina mengatakan selama pandemi yang kian panjang, masyarakat sebenarnya haus solusi yang cepat. Mungkin Vaksin Nusantara akan menjadi salah satu jawaban karena berbagai klaim yang dilontarkan pembuatnya. Tapi, sambung Elina, publik juga harus berlatih melakukan cek dan ricek dengan para ahli lain dan sumber resmi agar tak terpengaruh klaim berlebihan apalagi hoaks.

Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Andika Perkasa sendiri tidak lagi menggunakan istilah Vaksin Nusantara saat membicarakan proyek ini. Jumat (28/5/2021), dia mengatakan bahwa "penelitian ini adalah sesuatu yang sifatnya saintifik. Bagi saya sesuatu yang sangat mungkin didukung."

Dia bilang fasilitas di RSPAD--Cell Cure Center--"digunakan untuk memberikan pelayanan kepada individu yang sifatnya seperti immunotherapy, dapat pula digunakan kepada penderita kanker, diabetes melitus, lupus hingga yang memiliki permasalahan pada otak maupun otot."

Baca juga artikel terkait VAKSIN NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Riyan Setiawan & Adi Briantika
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino