Menuju konten utama

Vaksin: Antara Negara dan Perusahaan Farmasi 

Berbeda dengan parasetamol yang terus-terusan dikonsumsi selama sakit kepala muncul, misalnya, vaksin hanya sekali pakai.

Vaksin: Antara Negara dan Perusahaan Farmasi 
Ilustrasi penelitian vaksin virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada awal dekade 1980-an, Betty Dong, profesor farmasi klinis University of California at San Francisco (UCSF), Amerika Serikat, melakukan penelitian kecil-kecilan. Ia mencoba mengungkap perbedaan kimiawi-biologis antar obat, khususnya pada pelbagai obat yang berinteraksi dengan hormon tiroid. Tidak seperti obat-obatan non-tiroid yang dapat melawan penyakit dengan dosis serampangan, obat-obatan yang berhubungan dengan hormon tiroid membutuhkan racikan presisi.

Ketika titrate (titrasi atau konsentrasi larutan kimiawi) dari obat yang berinteraksi dengan hormon tiroid terlalu banyak, pasien akan mengalami hipertiroidisme atau peningkatan laju metabolisme dan detak jantung gara-gara kelenjar tiroid bereaksi secara berlebihan. Sebaliknya, jika terlalu sedikit, pasien akan mengalami hipotiroidisme atau turunnya aktivitas kelanjar tiroid yang dapat mengakibatkan keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan mental bagi anak-anak serta orang dewasa.

Usai melakukan penelitian kecil-kecilan dalam tempo singkat, Betty Dong menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemujaraban antarobat yang berhubungan dengan hormon tiroid gara-gara adanya perbedaan kimiawi-biologis. Kesimpulan ini membuat Carter Eckert, bos perusahaan farmasi bernama Boots, tertarik dan memintanya melakukan penelitian yang lebih besar dan modern.

Pada 1958, Boots pernah merilis obat untuk menyembuhkan tiroid bernama Synthroid dan langsung menguasai pasar. Kemudian pada pertengahan 1980-an, didukung oleh Presiden Ronald Reagen melalui Price Competition and Patent Term Restoration Act of 1984 atau undang-undang yang mengatur pengendalian harga dan kompetisi obat-obatan, muncul obat generik di pasaran. Obat ini, sebagaimana dipaparkan Jeremy Greene dalam Generic: The Unbranding of Modern Medicine (2014), adalah versi "copy-paste" yang murah meriah dari pelbagai obat-obatan bermerek, termasuk Synthroid.

Bagi Eckert dan para penggawa Boots, kemunculan obat generik ini membuat posisi tawar Synthroid melemah di pasaran. Musababnya, obat generik diizinkan dijual di pasaran oleh Federal Drugs Administration (FDA)--BPOM-nya AS--bukan karena hasil uji klinis, tetapi hanya atas pembuktian bahwa obat generik memiliki kemiripan kimiawi dengan obat bermerek. Padahal, Boots mengklaim, Synthroid dibuat dengan racikan khusus, levothyroxine, yang mustahil ditiru oleh obat bermerek lain, apalagi obat generik.

Menurut Boots, hal akan membuat masyarakat dijejali obat-obatan sampah dan membuat obat berkualitas seperti Synthroid ditinggalkan. Maka, melalui tangan Betty Dong, Boots ingin menggiring masyarakat berpikir ulang tentang penggunaan obat generik.

Boots berupaya mencari sebanyak mungkin perbedaan kimiawi-biologis serta kemujaraban obat bermerek versus obat generik. Namun, setelah Betty Dong melakukan penelitian pesanan Boots yang besar, modern, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga 1993, tak ditemukan satu pun perbedaan antara obat bermerek dengan obat generik. Sebaliknya, ia menemukan banyak persamaan yang akhirnya menyimpulkan: obat bermerek (termasuk Synthroid) dengan obat generik sama mujarabnya.

Ironisnya, seminggu sebelum Betty Dong mengirimkan temuan tersebut pada Journal of the American Medical Association untuk dipublikasikan, pengacara Boots menghampiri dan mengancamnya.

"Jika penelitian ini dipublikasikan, Anda telah melanggar kontrak dengan Boots karena segala hasil penelitian ini, yang jelas-jelas kami biayai, adalah milik kami. Dan jika Anda tetap ngotot memublikasikan penelitian ini, saya yakin Anda tidak akan menang melawan kami karena gugatan hukum yang akan kami ajukan terlalu mahal untuk Anda biayai sendiri," ujar salah seorang pengacara tersebut.

Betty Dong menyerah. Ia tak jadi memublikasikan temuannya. Dan Boots, meskipun berhasil menyembunyikan hasil penelitian tersebut, tetap tertekan di pasaran karena produsen obat generik bernama My-K Laboratories menyuap para petinggi FDA untuk mengutamakan obat generik dibandingkan obat bermerek.

Tindakan Boots dan My-K Laboratories, menurut antropolog Harvard University Arthur Kleinman, merupakan bukti bahwa industri farmasi--di balik nilai guna yang sangat besar bagi umat manusia--"adalah tempat di mana manusia kehilangan jiwa (kebaikan)" karena dipertukarkan dengan keuntungan.

Pertukaran sesat ini juga yang membuat vaksin, senjata umat manusia untuk menghadapi banyak penyakit--termasuk Covid-19 yang saat ini tengah melanda dunia--cenderung ditinggalkan gara-gara dianggap tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan farmasi.

Ketika Vaksin Dianggap Tidak Menguntungkan

"Manusia sangat pandai menciptakan virus baru melalui ketidaksengajaan, entah itu virus flu yang muncul atas kesembronoan manusia mengelola peternakan babi ataupun virus HIV yang hadir gara-gara ketidakwaspadaan kita terhadap simpanse," tulis Carl Zimmer, jurnalis The New York Times dalam A Planet of Viruses (edisi pertama 2011). Dan berbalik dari kepandaian yang tak layak dirayakan ini, "sayangnya, manusia bukanlah makhluk yang pintar membasmi virus."

Dalam sejarah peradaban manusia, hanya cacar atau smallpox--yang disebabkan oleh virus Variola, dan bukan cacar air atau chickenpox yang disebabkan virus Varicella-zoster--yang berhasil dibasmi secara keseluruhan. Keberhasilan manusia membasmi cacar tak berlangsung dalam tempo singkat, tetapi dalam waktu ribuan tahun.

Cacar telah hadir sejak 3.500 tahun silam yang dibuktikan dengan penemuan tiga mumi Mesir di zaman Firaun yang memiliki bekas pustula (gelembung kulit yang berisi nanah) cacar di kulitnya, dan menyebar ke seantero dunia sejak 430 SM. Dalam usaha-usaha membasmi cacar, proses "trial and error" jadi satu-satunya pilihan yang tersedia.

Dan usaha pertama manusia yang cukup memberikan hasil manis dalam pembasmian cacar terjadi karena ketidaksengajaan. Sekitar tahun 900 Masehi, para dokter di Cina tanpa sengaja mengetahui bahwa ketika seseorang terkena cacar, tetapi sebelumnya pernah bersentuhan dengan pustula penderita cacar, ia hanya mengalami gejala biasa, tidak mematikan.

Dari temuan ini, dokter-dokter tersebut lantas memproduksi variolasi (variolation), semacam bubuk atau lotion yang terbuat dari bekas pustula guna menciptakan imunitas terhadap cacar. Dan dari temuan dokter-dokter Cina ini, didukung desas-desus tentang tidak ditemukannya penderita cacar di kalangan pemerah sapi, seorang dokter asal Inggris bernama Edward Jenner berhasil menciptakan obat khusus anti-cacar yang dibuat memanfaatkan pustula cacar sapi (cowpox) pada tahun 1700. Obat khusus ini, meminjam nama latin untuk cowpox (Variola vaccinae), ia namai vaksin.

Infografik Bisnis Vaksin

Infografik Bisnis Vaksin. tirto.id/Quita

Berbeda dengan obat-obatan biasa, vaksin umumnya diberikan kepada masyarakat melalui bantuan negara. Merujuk tulisan Zimmer, Kekaisaran Cina di bawah Dinasti Tang menjadi kekuatan pertama yang memberikan vaksinasi (dalam bentuk variolasi) cuma-cuma kepada khalayak umum. Lalu, ketika Jenner berhasil menciptakan vaksin, Raja Carlos IV dari Spanyol menginisiasi "Ekspedisi Vaksin" pada 1803 guna memberikan vaksinasi kepada masyarakat di seluruh dunia.

Dan ketika dunia memasuki zaman modern, sebagaimana dipaparkan Bernice L. Hausman dalam Anti/Vax: Reframing the Vaccination Controversy (2019), pemberian vaksin dari negara kepada rakyat dipertegas melalui "vaccine mandate" atau produk undang-undang yang mewajibkan negara/rakyat memberikan/menerima vaksin. Di AS, tutur Hausman, mandat vaksin ini berbentuk kewajiban negara untuk memberikan vaksin difteri, tetanus, rejan, campak, gondongan, rubela, dan polio pada rakyatnya sejak awal 1980-an, dan bertambah sembilan vaksin lain sejak akhir 1980-an.

Vaksin didistribusikan oleh negara karena obat khusus ini sangat mahal dan tak menguntungkan bagi para perusahaan farmasi. Menurut Vega Masignani dalam studinya berjudul "The Value of Vaccines" (Journal of Vaccine Vol. 21 2003), tatkala perusahaan farmasi hendak melakukan penelitian dan dilanjutkan dengan memproduksi obat-obatan, cost-effectiveness (efektivitas biaya) jadi indikator utama penggeraknya. Melalui indikator ini, jika biaya penelitian dan produksi lebih murah dibandingkan perkiraan keuntungan yang akan diraih, perusahaan farmasi akan memulai proses penelitian dan produksi. Sebaliknya, jika biaya penelitian dan produksi lebih mahal daripada keuntungan, maka obat akan ditinggalkan. Dan vaksin adalah obat yang lebih mahal biaya penelitian dan produksinya dibandingkan keuntungannya.

Mengapa vaksin tidak menguntungkan?

Berbeda dengan parasetamol yang terus-terusan dikonsumsi selama sakit kepala muncul, misalnya, vaksin hanya sekali disuntikkan lalu ditinggalkan. Ketika seseorang diberikan vaksin campak di waktu belia, contohnya, tidak ada alasan baginya untuk memperoleh vaksin campak kedua, ketiga, dan seterusnya.

Alasan sederhana inilah yang membuat perusahaan farmasi memilih mengembangkan obat-obatan non-vaksin. Bahkan memilih mengembangkan obat untuk penyakit yang sebetulnya telah ada vaksinnya. Alasannya, jika terdapat orang-orang yang ngotot menolak divaksin, maka perusahaan farmasi memperoleh keuntungan melimpah dari obatan-obatan non-vaksin untuk melakukan perawatan kepada orang-orang anti-vaksin ketika terkena penyakit.

Berbanding terbalik dari kacamata perusahaan farmasi, cost-effectiveness vaksin sangat menguntungkan bagi masyarakat. Kembali merujuk Masignani, vaksin merupakan satu-satunya obat yang dapat mengeliminasi biaya kesehatan di masa depan. Dengan menerima vaksin campak, misalnya, seseorang akan terhindar dari biaya perawatan penyakit tersebut.

Melalui cost-effectiveness ini, vaksin adalah bisnis senilai $6,5 miliar. Memang terlihat besar. Namun, angka tersebut hanya 2 persen dari total bisnis farmasi di seluruh dunia.

Baca juga artikel terkait VAKSIN atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh