Menuju konten utama

UU Tapera, Upaya Pemerintah Lepas Tangan Urusan Papan

UU Tapera mewajibkan gaji pekerja disisihkan sebesar 3% untuk tabungan perumahan. Sontak keputusan ini memicu protes dari pekerja dan pengusaha. Pemerintah berdalih iuran Tapera ini untuk membantu mewujudkan mimpi pekerja memiliki rumah. Tetapi peran pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan rumah rakyat menjadi tak berfungsi karena terbatasnya anggaran negara.

UU Tapera, Upaya Pemerintah Lepas Tangan Urusan Papan
Ilustrasi FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - Pro dan kontra langsung muncul setelah pengesahan Undang-undang (UU) tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) oleh DPR pada Selasa, 23 Februari 2016. UU ini bakal mewajibkan gaji pekerja dipotong 3 persen untuk tabungan perumahan. Bagi pengusaha, UU ini jelas memunculkan beban baru karena harus berbagi kontribusi sebagian potongan Tapera pekerja sebesar 3 persen. Pekerja juga merasa khawatir karena para pengusaha akan membebankan mayoritas potongan Tapera ke mereka.

“Saya tidak setuju. Enak saja main potong 3 persen. Kalau mau bangun rumah kerja yang rajin dong. Ini pemerintah pro orang miskin atau pro rakyat Indonesia? BPJS Ketenagakerjaan sudah dipotong. Nah, ini juga main potong saja. Tidak setuju,” tulis Hendrik salah satu netizen yang melancarkan protes atas pengesahan UU Tapera.

Cuitan Hendrik mungkin mewakili sekian banyak suara para pekerja lainnya. Maklum saja dengan adanya UU Tapera, bagi pekerja yang sudah punya rumah atau pun sedang mencicil rumah tetap diwajibkan ikut iuran untuk membiayai pekerja yang belum punya rumah. Pemerintah menyebutnya sebagai sistem gotong royong. Sedangkan bagi pengusaha, adanya iuran Tapera seolah mencekik dua beban iuran yang sama yaitu mirip-mirip dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaaan.

Demi Mengejar Kekurangan Rumah

Pembahasan rancangan UU Tapera antara pemerintah dan DPR sudah berlangsung sejak 2012. Pada 2014, pembahasan RUU Tapera sempat tertunda karena alotnya diskusi terutama soal besaran porsi potongan iuran. UU ini merupakan pelengkap aturan di sektor perumahan yang lebih dahulu lahir yaitu UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU No 20/2011 tentang Rumah Susun.

Bagi pemerintah, UU Tapera merupakan cara murah untuk membangun rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di tengah anggaran negara yang terbatas.

Hingga saat ini kebutuhan dan pasokan perumahan di Indonesia terjadi ketimpangan. Angka backlog atau kekurangan rumah diperkirakan sebesar 15 juta unit, sementara pertumbuhan kebutuhan rumah baru dan urbanisasi yang diperkirakan sebesar 900 ribu unit setiap tahun. Anggaran pemerintah jelas belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus, mengatakan pembiayaan dari APBN untuk perumahan rakyat sangat terbatas. Misalnya tahun lalu dalam program sejuta rumah, dana yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 100 triliun,. Padahal, alokasi anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tak sampai Rp 10 triliun untuk program pengadaan perumahan. Hitungan di atas kertas, untuk membangun 500.000 unit rumah butuh sedikitnya Rp 50 triliun

“Kalau hanya mengandalkan APBN, puluhan tahun tak akan teratasi masalah perumahan, prinsip Tapera ini gotong royong,” kata Maurin dihubungi Kamis (25/2/2015)

Maurin menambahkan pemerintah dan DPR mau tak mau harus mencari terobosan agar pemenuhan kebutuhan papan masyarakat terpenuhi. Apalagi selama ini pengeluaran untuk perumahan merupakan porsi belanja terbesar bagi masyarakat Indonesia.

Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menambahkan, Tapera juga untuk memenuhi pengadaan rumah khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan pekerja informal yang tak punya bukti slip gaji. Selama ini, pekerja informal sulit memenuhi syarat mendapatkan kredit rumah dari bank. Dengan adanya Tapera, maka mereka bisa mengkses pembiayaan perumahan.

“Untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal dan tidak punya jalur ke bank, melalui Tapera ini mereka bisa akses ke pembiayaan perumahan ini,” kata Basuki dikutip dari situs Kementerian PU dan Perumahan Rakyat.

Sebagai pihak yang mengusulkan UU Tapera, DPR paling bersemangat. Anggota Panitia Khusus RUU Tapera, Bakri mengatakan pemerintah harus melaksanakan amanat dari UU Tapera. "Jadi ke depannya, tak hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bisa mendapat rumah murah, tapi juga pedagang-pedagang, buruh bisa mendapatkan rumah murah ini," kata anggota Komisi V DPR RI ini dikutip dari Antara.

Model Tapera Negara Lain

Di Indonesia, kepesertaan Tapera berlaku wajib bagi pekerja formal yang sedikitnya punya penghasilan sebesar Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan bagi pekerja informal dan berpenghasilan di bawah UMP sifatnya hanya sukarela. Keanggotaan Tapera juga berlaku bagi pekerja yang masuk kategori non MBR atau pekerja yang berpenghasilan di atas Rp 4 juta per bulan.

Penggunaan dana Tapera baru berlaku setelah setahun menjadi anggota, pemanfaatan dananya untuk membeli rumah, membangun rumah sendiri, hingga renovasi rumah. Bagi pekerja non MBR, Tapera hanya sebagai sarana menabung mereka sampai dengan usia 58 tahun. Artinya, dana di Tapera baru bisa dicairkan saat usia 58 tahun atau setelah pensiun. Namun, besaran imbal hasil atau bunga per tahun di Tapera juga belum ditetapkan oleh pemerintah.

“Jadi semacam jaminan hari tua, uang ini nanti diterima sebagai uang pensiun. Jangan khawatir, pas pensiun bisa dicairkan,” kata Maurin.

Skema Tapera untuk mendukung pembangunan perumahan publik bukan hal baru di dunia. Sejumlah negara sudah menerapkan model Tapera ini seperti Singapura, Cina, India, Prancis, Jerman, Brasil, Meksiko. Dalam naskah akademis UU Tapera Baleg DPR-RI, tercatat Malaysia punya sistem yang bernama Employees Provident Fund (EPF), biasa disebut sebagai Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP) merupakan lembaga milik pemerintah Malaysia yang bekerja di bawah kementerian keuangan, ditunjuk untuk mengelola tabungan para pekerja di Malaysia

Keanggotaan EPF adalah wajib untuk warga negara Malaysia yang bekerja, warga negara non Malaysia yang merupakan penduduk permanen, dan warga negara non Malaysia. Para anggota EPF akan dipotong gajinya setiap bulan. Besarannya mencapai 11 persen untuk pekerja dan 12 persen untuk pemberi kerja yang masuk kategori seluruh kelompok kerja warga negara Malaysia. Sedangkan untuk orang asing potongan gajinya 11 persen dan pemberi kerja sebesar RM 5 per orang pekerja. Kontribusi potongan tersebut masing-masing untuk kebutuhan dana pensiun sebanyak 60 persen, kebutuhan perumahan 30 persen, dan kesehatan 10 persen.

Sementara Singapura punya program Central Provident Fund (CPF) sejak 1955. Lembaga ini pada awalnya dibentuk untuk mempersiapkan dana pensiun bagi para pekerja. CPF bersifat wajib bagi setiap warga negara Singapura dan dananya dikelola oleh pemerintah.

Sejak 1 Maret 2011, peserta CPF di Singapura yang berumur di bawah 50 tahun berkontribusi sebesar 20 persen dari gaji bulanannya. Pemberi kerja berkontribusi sebesar 15,5 persen dari gaji bulanan peserta kepada CPF sehingga total kontribusi peserta dan pemberi kerja 35,5 persen. Setiap peserta CPF memiliki 3 akun yaitu Ordinary Account (OA) untuk jaminan beli rumah, Special Account (SA) untuk pensiun, dan Medisave Account (MA) untuk kesehatan.

Suka Cita Pengembang, Beban Pengusaha dan Pekerja

Kehadiran UU Tapera jelas menguntungkan pengembang. Tapera menjadi sumber pendanaan yang murah bagi pengembang perumahan. Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy pernah mengatakan potensi dana yang bisa terhimpun dari Tapera cukup menopang pembiayaan program sejuta juta rumah yang per tahun kebutuhan dananya mencapai Rp 68 triliun.

Berdasarkan simulasi perhitungan REI, dengan membayar premi 3 persen dari penghasilan, akan terkumpul dana hingga Rp 134 triliun. Angka ini diperoleh dengan asumsi peserta Tapera diperkirakan mencapai 90 juta, Sedangkan hitungan pemerintah, dengan jumlah iuran sebesar 3 persen, maka dana Tapera yang dapat dikumpulkan per tahun mencapai angka Rp 71 triliun.

Jika pengembang bersuka cita, tidak demikian dengan pengusaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) termasuk yang keberatan. Bagi perspektif pengusaha, adanya iuran Tapera ini akan menjadi pengeluaran baru bagi mereka. Apindo rencananya akan melakukan judicial review atau uji materil UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Apindo beralasan biaya-biaya wajib yang harus dikeluarkan selama ini sudah memberatkan dunia usaha. Saat ini pengusaha juga harus menanggung kontribusi iuran BPJS Kesehatan dan Iuran BPJS Ketenagakerjaan. Selain iuran Tapera yang rencananya dipatok 3 persen, ada beban lainnya yang sudah ditanggung pengusaha. Iuran tersebut meliputi iuran jaminan hari tua (JHT), jaminan kematian , jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan sosial kesehatan, dan cadangan pesangon. Pengusaha juga menghitung soal potensi beban tambahan dari kenaikan upah setiap tahun

Kalangan pengusaha khawatir ada tumpang tindih iuran Tapera dengan iuran yang sudah ada. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menilai, iuran Tapera mirip-mirip yang sudah berlaku di BPJS Ketenagakerjaan. Sehingga ada objek yang dibebankan dua kali yaitu BPJS Ketenagakerjaan dan Iuran Tapera. Inilah yang menjadi dasar uji materil. Hariyadi menambahkan selama ini 30 persen uang BPJS Ketenagakerjaan dari total Rp180 triliun bisa dialokasikan untuk sektor perumahan.

“Ya kita akan ajukan Judicial Review ke MK,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani saat dihubungi Kamis (25/2/2015)

Berbeda dengan pengusaha, kalangan buruh justru mendukung UU Tapera. Namun, dukungan buruh ini masih abu-abu, karena ada syarat tertentu yang justru bakal membuat kuping pengusaha makin panas. Pekerja mengusulkan porsi potongan Tapera yang dibebankan pengusaha harus lebih besar daripada pekerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan kondisi saat ini 80 persen buruh tidak mampu beli rumah, karena harga rumah makin tak terjangkau. Misalnya rumah tipe 27 harganya sudah Rp 120 juta, dengan uang muka 30 persen dan cicilan Rp1,2 juta per bulan maka sangat mustahil bagi buruh bisa membeli rumah.

“Setujunya buruh dengan UU Tapera syaratnya yaitu iuran 2,5 persen dari pengusaha dan 0,5 persen dari buruh harus dipastikan bahwa semua buruh bisa jadi peserta Tapera dan bisa beli rumah tanpa terkecuali,” kata Iqbal.

Data menunjukkan, beban potongan penghasilan yang harus ditanggung pekerja lebih dominan daripada yang harus ditanggung pengusaha atau pemberi kerja. Beban akan bertambah dengan berlakunya iuran Tapera.

Dirjen Pembiayaan Perumahan Maurin Sitorus menjelaskan hingga saat ini soal besaran potongan Tapera belum tercantum dalam UU. Rencananya, poin yang kontroversi ini akan diatur lebih lanjut dalam PP. Ia mengakui dalam draf RUU versi lama sempat muncul angka potongan 3 persen, yang terbagi sebesar 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pengusaha.

Mencari Peran Pemerintah

Niat pemerintah menyediakan hunian bagi MBR memang patut diapresiasi. Namun, kebijakan itu patut dikritisi karena membebankan masalah anggaran ke pundak pekerja dan pengusaha. Peran pemerintah sebagai penanggung jawab penyediaan rumah rakyat menjadi tidak berfungsi, dengan dalih terbatasnya anggaran negara.

“Malah rakyat yang dibebankan untuk melakukan iuran. Aneh?” tanya Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda.

Kritikan Ali ini ada benarnya. Berdasarkan data alokasi anggaran pemerintah untuk sektor perumahan jumlahnya setiap tahun tak ada perubahan yang signifikan, bahkan sempat mengalami penurunan, meski tahun ini mengalami kenaikan. Anggaran sektor perumahan juga tersebar di berbagai kementerian, misalnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengalokasikan anggaran pengadaan perumahan tak sampai Rp 10 triliun di 2015. Padahal kementerian ini jadi ujung tombak pengadaan untuk perumahan rakyat.

Tanggung jawab pemerintah juga dipertaruhkan dalam pengelolaan dana Tapera di bawah Badan Pengelola Tapera. Kalangan buruh yang jelas-jelas setuju dengan Tapera juga sudah mewanti-wanti soal potensi penyimpangan penghimpunan dan pengelolaan dana yang bakal mencapai triliunan rupiah ini. Presiden KSPI Said Iqbal bahkan mengusulkan harus dibentuk dewan pengawas yang berasal dari serikat buruh, Apindo, pemerintah terhadap dana Tapera karena dana tersebut berasal dari buruh dan pengusaha.

“Bayangkan ada dana luar biasa besar per bulan 3 persen kali Rp 2 juta rata-rata upah dikalikan 44,4 juta buruh formal,” katanya.

Atas kritikan pekerja dan pengusaha, Maurin Sitorus menjelaskan pihaknya akan membahas dengan BPJS Ketenagakerjaan soal kemungkinan adanya tumpang tindih potongan bagi pekerja, termasuk soal pekerja formal non MBR yang terpotong Tapera. Selama ini pekerja formal juga sudah terpotong dengan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan.

Mengenai pengawasan pengelolaan dana, Maurin menegaskan Badan Pengelola Tapera diawasi oleh Komite Tapera yang anggotanya terdiri dari menteri keuangan, menteri pekerjaan umum dan perumahan rakyat, menteri tenaga kerja hingga Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Komite Tapera ini bertanggung jawab langsung kepada presiden.

“Semua yang iuran akan punya rekening masing-masing, bisa diakses di internet soal dananya. Bisa dicek uang kita ada di sana,” kata Maurin.

Konsep Tapera sudah lebih dahulu banyak diterapkan di berbagai negara, seperti Singapura hingga Cina. Singapura dianggap sukses menjalankan sistem Tapera dengan tingkat kepemilikan rumah di Negeri Singa tersebut mencapai 90 persen. Namun, sistem Tapera tak melulu mendulang sukses, misalnya yang berlaku di Cina. HPF di China berlaku wajib namun baru berhasil mencapai 60 persen dari target pekerja yang jadi sasaran program ini. Penyebabnya, tak semua perusahaan menyanggupi potongan tapera melalui HPF.

Selain itu, berdasarkan pengalaman negara lain, Tapera ternyata tak semuanya berlaku wajib bagi para pekerja. Ada beberapa negara yang memberikan opsi sebatas sukarela. Selain itu, besaran potongan Tapera di berbagai negara tak dipukul rata, karena mempertimbangkan kemampuan pekerja, besaran gaji, dan usia.

Keberhasilan dan kegagalan negara lain dalam menerapkan Tapera semestinya menjadi sebuah pelajaran yang harus dipetik pemerintah Indonesia. Pemerintah harus mencari jalan tengah untuk menyediakan perumahan, tanpa memberikan beban baru kepada pekerja ataupun pengusaha.

Baca juga artikel terkait BPJS atau tulisan lainnya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Suhendra