Menuju konten utama

UU Otsus Papua Jilid 2: Uang Tak Menyelesaikan Konflik Tanah Mama

DPR & pemerintah mengesahkan RUU Otsus Papua menjadi UU. Namun, hal ini dinilai tidak cukup menyelesaikan masalah Papua.

UU Otsus Papua Jilid 2: Uang Tak Menyelesaikan Konflik Tanah Mama
Sejumlah mahasiswa Papua melakukan aksi penolakan perpanjangan otonomi khusus (Otsus) Papua Jilid II di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Rabu (24/2/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang pada Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan V Tahun 2020-2021 di Jakarta, Kamis (15/7/2021).

Pengesahan diumumkan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sebagai pimpinan rapat, setelah ia meminta persetujuan 492 peserta Rapat Paripurna yang hadir secara langsung dan daring. Para peserta rapat kompak menyetujui perubahan regulasi itu. Proses pengesahan disaksikan Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej.

RUU Otsus ini merupakan RUU yang diusulkan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan DPR melalui Surat Presiden Nomor: R-47/Pres/12/2020. Urgensi perubahan norma yang diusulkan oleh presiden melalui rancangan undang-undang ini, perihal penerimaan dalam rangka dana otsus yang membutuhkan dasar hukum baru pada 2021 untuk keberlanjutan masa berlakunya dana otsus dan sebagai upaya mitigasi turbulensi fiskal di tanah Papua.

RUU yang diusulkan pemerintah ini berisi perubahan terhadap tiga pasal, yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 76, yang memuat materi perihal Dana Otonomi Khusus dan Pemekaran wilayah daerah. Namun, dari hasil Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum yang dilaksanakan oleh panitia khusus, fraksi-fraksi di DPR berpandangan bahwa persoalan di Papua tidak dapat hanya diselesaikan hanya melalui tiga pasal tersebut.

Akhirnya, 15 pasal di luar substansi yang diajukan, pemerintah dapat mengakomodasikan di dalam perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 ini ditambah dengan 2 pasal substansi materi di luar Undang-Undang. Sehingga, terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan. Terdiri dari perubahan pada 18 pasal dan penambahan dua pasal baru.

“RUU ini mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan perekonomian, serta memberi dukungan bagi masyarakat adat,” ucap Ketua Tim Panitia Khusus RUU Otsus Papua Komarudin Watubun, Kamis (15/7/2021).

Ia mengklaim UU Otsus baru memberi ruang yang luas bagi orang asli Papua untuk berkiprah dalam politik, serta lembaga-lembaga seperti Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat Kabupaten/Kota (DPRK). Ada 250 kursi bagi orang asli Papua untuk seluruh DPRK; serta memberi afirmasi 30 persen untuk keterlibatan perempuan asli Papua dalam DPRK.

Poin-poin perubahan lainnya mencakup peningkatan alokasi dan skema baru pencairan dana otsus, pembentukan Rencana Induk Pembangunan Papua, pembentukan Badan Khusus Pembangunan Papua, dan pemberian tenggat waktu penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana UU Otsus yang baru selama 90 hari setelah beleid itu diundangkan.

Sedangkan Mendagri Muhammad Tito Karnavian berkata "dalam pembahasannya, kami berpijak pada prinsip-prinsip untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat orang asli Papua dan melakukan percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua.”

Pemerintah Buta Akar Masalah

Pada Juni 2021, anggota Komisi I DPRP Nioluen Kotouki dan seluruh anggota DPRP mengunjungi DPR RI di Jakarta untuk menyerahkan aspirasi rakyat Papua perihal otsus. Buah pendapat yang mereka berikan merupakan hasil pembahasan di Papua.’

“Itu hal-hal substantif, termasuk aspirasi rakyat yang disampaikan, macam Kabupaten Dogiyai. DPRP Dogiyai mengaspirasikan (bahwa mereka) menolak (otsus) karena masyarakat di sana menolak,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis (15/7/2021).

Nioluen merasa revisi UU Otsus tak menyelesaikan permasalahan di Papua, justru menciptakan konflik lantaran substansi masalah di Papua bukan kesejahteraan, bukan soal berapa banyak uang yang dikucurkan ke Tanah Mama. Yang orang Papua inginkan adalah hidup tanpa ketakutan, tidak terus mendapatkan stigma.

“Resolusi konflik di Aceh bisa diselesaikan oleh negara ini, dengan menghadirkan pihak ketiga untuk mencari solusi. Sebenarnya di Papua ini harus dilakukan seperti itu,” kata dia.

Pemerintah dapat berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka, misalnya, untuk berunding cara penyelesaian konflik. “Selama persoalan ini tidak diatur secara baik, maka berapapun anggaran yang dikasih ke Papua, berapa triliun pun, tidak menyelesaikan [masalah di Papua],” tutur Nioluen.

Dalam UU Otsus lama dan baru, tidak menyebutkan berapa lama regulasi itu akan berlangsung di Papua, tapi pemerintah mengucurkan dana bagi Papua selama 20 tahun terakhir. Dana itu ada, kata pakar Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adriana Elisabeth, karena terdapat kesepakatan apa yang mau dikerjakan di Papua.

Sejak UU Otsus lama pun, kata dia, dana itu dimaknai untuk pembangunan dan penyelesaian konflik. Namun, yang diurus hanya soal pembangunan, pembangunan itu pun tak optimal karena ada dana, tapi nihil evaluasi. Tidak mungkin UU baru otsus ini sempurna bagi Papua, apalagi pembahasannya hanya dua bulan, kata Adriana.

“Jangan mengulang kesalahan itu. Revisi ini bisa jadi bagian penyelesaian konflik, tapi karena terlanjur disahkan, maka harus betul-betul disosialisasikan. Jangan seperti Otsus 2001, sosialisasi tidak merata,” kata Adriana kepada reporter Tirto, Kamis (15/7/2021).

Penyelenggara otsus tingkat pusat dan daerah pun tak luput untuk dievaluasi. UU Otsus ini pun harus sinergis dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan hasil penelitian selama lima tahun sejak 2004, Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi empat isu strategis penyebab konflik di Bumi Cenderawasih, yakni: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia; gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otonomi Khusus Papua; dan marginalisasi orang Papua.

Hasil temuan itu bisa jadi rekomendasi pemerintah untuk memperbaiki Papua, namun nyatanya hingga kini pemerintah tak mengeksekusi temuan LIPI. “Karena tidak ada yang serius merespons itu. Semua mau gampang saja. Kedua, memang tak mau diselesaikan,” ucap Adriana.

Ada dua pendekatan dominan yang dilakukan pemerintah untuk Papua yaitu pembangunan dan keamanan, kata Adriana.

Menurut Adriana, itu merupakan dua pendekatan yang paling mudah karena ada anggaran dan termasuk kategori nyata (tangible). Tapi bagi hal-hal yang tak berwujud (intangible) seperti mau memahami aspirasi orang Papua yang beda kultur, beda pengalaman, bahkan beda cara pikir, itu sulit. “Itu yang tidak pernah dilakukan, padahal itu persoalannya,” kata dia.

Duit Bukan Penumpas Perkara

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan meskipun undang-undang sebelumnya memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua, tapi ada banyak fakta bahwa pemerintah tidak serius melaksanakannya.

"Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun. Kini, kebijakan otonomi khusus itu ditolak, terlebih karena tanpa konsultasi yang memadai dari orang asli Papua,” kata Usman, Kamis (15/7/2021).

Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang yang baru akan benar-benar melindungi masyarakat adat, kata Usman. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah betul-betul melibatkan masyarakat Papua dalam perancangan dan pelaksanaan otonomi khusus.

Sebelum itu terjadi, kata dia, pengesahan RUU itu sebaiknya ditunda. Sebab, substansi dalam naskah final RUU Otsus juga bermasalah. Misalnya, Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, yakni melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua –termasuk melalui pembentukan badan khusus otsus yang diketuai Wakil Presiden.

"Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam," kata Usman.

Sementara itu, Direktur Eksekutif ULMWP Markus Haluk menyatakan otsus bukanlah solusi konflik Papua. “Jelas bukan. (Otsus) ini solusi untuk rakyat Indonesia dari pemimpinnya, bukan untuk Bangsa Papua,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Kamis (15/7/2021).

Bagi Markus, regulasi ini hanyalah “dari dan oleh pemerintah Indonesia untuk pemerintah Indonesia, dari Presiden Jokowi untuk Jokowi, serta kado dari presiden untuk para elite politik Indonesia.” Dus ULMWP tetap berupaya mewujudkan hak penentuan nasib sendiri bagi Tanah Papua.

Baca juga artikel terkait KASUS RASISME atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz