Menuju konten utama

UU ITE Tak Cukup untuk Menangkal Hoax

Pemerintah harus mengupayakan literasi agar masyarakat peka dan kritis terhadap hoax.

UU ITE Tak Cukup untuk Menangkal Hoax
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Sutino pemilik Bemo Pustaka seusai menerima pegiat literasi inspiratif, di halaman Istana Negara, Jakarta, Selasa (2/5). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Maraknya laman dan akun media sosial berkonten hoax, ujaran kebencian dan isu SARA sebagaimana yang dilakukan kelompok Saracen Cyber Team disebabkan karena minimnya pendidikan literasi di Indonesia. Hal itu disampaikan dosen filsafat Universitas Indonesia Rocky Gerung di acara diskusi yang bertempat di Gado-Gado Boplo (26/8/2017).

Menurut Rocky, minimnya pendidikan literasi di Indonesia diakibatkan karena pemerintah lebih menekankan sisi indoktrinasi. Contohnya adalah penanaman ideologi Pancasila yang berlebihan dengan cara melembagakan UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila).

"Padahal Pancasila itu ideologi terbuka yang mesti bebas penafsirannya. Tidak harus sesuai dengan doktrin pemerintah," jelasnya.

Rocky menilai hoax hadir akibat destabilitas politik Indonesia. Sebaliknya, hoax tak akan berkembang di negara dengan kondisi politik yang stabil.

"Saya tidak perlu jelaskan secara detil soal destabilitas itu. Ya, misalnya korupsi."

Hal senada disampaikan oleh AS Laksana. Sastrawan yang aktif menulis cerita pendek di berbagai media cetak nasional itu melihat sekolah-sekolah di Indonesia tidak mampu membangun budaya membaca yang memadai bagi peserta didiknya. Padahal rezim Orde Baru dulu pernah sukses mempropagandakan program Keluarga Berencana.

"Semestinya hal itu juga dilakukan pada literasi," tegasnya.

AS Laksana, di acara diskusi yang sama, menyepakati Rocky soal dampak buruk indoktrinasi dan penyeragaman yang dilakukan oleh pemerintah.

"Masyarakat kita terbiasa dengan penyeragaman. Sedangkan penyeragaman adalah dasar dari indoktrinasi dan mobilisasi." Efeknya, lanjut AS Laksana, sekarang ini yang menyebarkan hoax adalah orang-orang yang minim literasi. Hoax mudah menyasar orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah atau mereka yang menelan mentah-mentah konten berita tanpa ada sikap kritis sama sekali.

Literasi Medsos

Di kesempatan yang sama Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) Jakarta Astari Yuniarti menyatakan cara tepat untuk melawan hoax di Indonesia adalah dengan pendidikan literasi media sosial.

"Perlawanannya di media sosial terlebih dahulu," kata Astari.

Pendidikan literasi media sosial, lanjut Astari, dapat menumbuhkan daya kritis pengguna media sosial atas berita-berita yang tersebar di linimasa. Pendidikan literasi ia pandang efektif untuk melatih kemampuan memahami isi dari sebuah teks yang ada. Daya kritis tak akan terbangun tanpa pemahaman yang baik.

"Orang yang pikir kritis akan menaruh kepercayaan seminimal mungkin pada kebenaran sebuah berita," kata Astari.

Menurut penelitian MAFINDO, selain menyasar generasi muda, pendidikan literasi medsos juga harus dilakukan kepada pengguna medsos generasi tua. Generasi Z, katannya, lebih peka pada hoax ketimbang orang-orang dari generasi sebelumnya.

Pemerintah mempunyai andil yang besar di dalam memfasilitasi pendidikan literasi di media sosial. Penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik alias UU ITE saja tidaklah cukup, pungkas Astari.

Baca juga artikel terkait SARACEN atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Akhmad Muawal Hasan, Maulida Sri Handayani & Maulida Sri Handayani