Menuju konten utama

Utang Pertamina & Masalah Pokok yang Luput Diperhatikan Ahok

Komaidi menilai penambahan utang Pertamina sebenarnya bisa dipahami melihat investasi dan penugasan yang dilakukannya.

Utang Pertamina & Masalah Pokok yang Luput Diperhatikan Ahok
Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama (tengah) didampingi Dirut Nicke Widyawati (kanan) dan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman, berjalan meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan usai menemui Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin (9/12/2019). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/ama.

tirto.id - PT Pertamina (Persero) menjadi objek kritik Basuki Tjahaja Purnama (BTP atau Ahok) yang notabene adalah komisaris utama perusahaan itu. Ahok mengaku kesal dengan kebiasaan para direksi yang ia nilai gemar berutang dan saat ini sudah menyentuh angka 16 miliar dolar AS.

Ahok belakangan dipanggil Menteri BUMN Erick Thohir pada Kamis (17/9/2020). Di akun instagramnya, mantan gubernur DKI itu hanya menyatakan, “Kritik dan saran yang saya sampaikan diterima dengan baik oleh Pak Erick.”

Pertamina juga angkat bicara terkait kritik Ahok itu. Pada Rabu (16/9/2020), VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan, “hal-hal yang bersifat corporate action dilakukan manajemen dalam rangka pertumbuhan perusahaan dan juga memastikan ketahanan energi nasional, tentu saja pastinya akan mempertimbangkan internal resources dan dilakukan secara prudent dan professional.”

Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi utang Pertamina? Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan sejumlah indikator keuangan dan rasio utang masih aman.

Pertamina Annual Report [PDF]dan laporan keuangan 2019 [PDF] mencatat Debt-to-Equity-Ratio (DER) perusahaan migas pelat merah itu masih berada di angka 58,57%. Semakin tinggi DER, maka utang dikategorikan tidak sehat karena jika jumlahnya menyentuh 100% berarti hutang sudah menyamai ekuitas yang berarti tidak sehat.

Return-on-Investment (ROI) Pertamina 2019 masih berada di angka 13,06%. Rasio ini harus sebisa mungkin menjauhi nol. Jika ROI negatif, maka investasi yang diberikan kepada Pertamina mengalami kerugian alias berpotensi tidak dapat mengembalikan pinjamannya.

Angka ini juga relatif lebih baik dari sesama perusahaan migas lainnya. BP misalnya hanya 2,41%, Shell 5,81%, dan Exxon 6,5% per 2019.

Indikator-indikator ini juga berhasil dipertahankan Pertamina meski perusahaan itu harus menambah utang tiap tahunnya. Posisi global bond Pertamina sempat mencapai 8,5 miliar dolar AS (2017) lalu menjadi 9,62 miliar dolar AS (2018), dan 10,76 miliar dolar AS (2019).

Pada 2020 sendiri, setidaknya ada 4 penerbitan obligasi yang sudah dilakukan dan dicatat dalam situs Pertamina. Sampai 25 Februari 2020, ada obligasi baru senilai 2,95 miliar dolar AS. Jika Ahok menyebut 16 miliar dolar AS, berarti ada obligasi tambahan yang diterbitkan lagi setelah tanggal itu.

Komaidi mengatakan selain indikator keuangan, pasar juga menjadi tolak ukur seberapa aman utang Pertamina. Saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (17/9/2020), ia berkata, “Indikasinya kalau bond-nya masih terserap, masih cukup sehat. Kalau bond tidak terserap, itu baru agak hati-hati.”

Komaidi menjelaskan penambahan utang Pertamina ini sebenarnya juga bisa dipahami. Pasalnya, Pertamina memang banyak melakukan investasi.

Pertama menerima pelimpahan blok migas yang habis masa kontraknya. Selepas 2019 saja, ada 8 blok dan 2 di antaranya adalah blok besar seperti Rokan dan Mahakam. Pertamina tentu perlu uang banyak untuk membayar signature bonus alias jaminan agar mereka bisa mengelola blok itu sekaligus berinvestasi pada pengeboran sumur demi menjaga produksi tidak turun.

Pengeluaran Pertamina lainnya juga terkait proyek kilang. Baik itu menatar kilang yang sudah ada atau Refinery Development Master Plan (RDMP) maupun membangun kilang baru (Grass Root Refinery). Kebutuhan biayanya mencapai 48 miliar dolar AS alias Rp672 triliun (kurs Rp14.000/dolar AS).

Meski demikian, utang Pertamina juga terjadi akibat dibebani sederet kebijakan pemerintah itu sendiri. Misalnya, kebijakan BBM satu harga. Parahnya lagi, pemerintah memaksa premium (bensin dengan RON 88) tetap distribusikan tanpa subsidi dan harganya ditentukan pemerintah sehingga menyebabkan Pertamina menanggung rugi.

Dalam rapat Komisi VI DPR RI, Senin (29/6/2020), pemerintah punya utang senilai Rp96,5 triliun kepada Pertamina akibat penugasan sejak 2017 sampai 2019. Sekitar Rp45 triliunnya baru dibayar pada 2020 dan selebihnya masih harus dicicil.

Belum lagi beban non-energi. Misalnya penugasan membangun rumah sakit COVID-19 sampai isu proyek BUMN Tower di Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur.

“Kalau hanya andalkan pembiayaan internal apalagi ada penugasan, saya rasa agak berat. Untuk running company harus ada pembiayaan dari tempat lain. Kalau mau fair, ini kelihatan penyebab utangnya banyak,” ucap Komaidi.

Pernyataan Komaidi tersebut tentu beralasan. Pada 2018, Debt to Service Coverage Ratio (DSCR) Pertamina sempat dilaporkan mencapai 6 kali. Namun, akibat adanya penugasan sampai kewajiban investasi seperti kilang, angkanya turun dan diperkirakan menjadi 4 bahkan 2 di 2021.

Semakin kecil DSCR menunjukkan, ketidakmampuan perusahaan melunasi pokok dan bunga utang melalui pendapatan operasional. Semakin kecil DSCR, maka utang tidak sehat.

Tentu hal ini perlu menjadi perhatian. Sebab pada 2020 pandemi COVID-19 melanda dan memperburuk kinerja keuangan setiap perusahaan tak terkecuali Pertamina.

RDP Komisi VI, Kamis (16/4/2020) memperkirakan jika kurs memburuk ke Rp17.500/USD dan ICP 38/USD, maka Pertamina mengalami penurunan pendapatan 38% dari target RKAP. Secara yoy bahkan turun 30%.

Melihat dampak COVID-19, tak heran lembaga pemeringkat S&P bahkan sudah memangkas peringkat utang Pertamina dari BBB stabil menjadi minus pada April 2020. Pandemi COVID-19 pun terbukti memperburuk tekanan yang dialami Pertamina dalam kondisi normal. Akibatnya, meski aman, kondisi utang Pertamina tetap layak diwaspadai.

Baca juga artikel terkait UTANG PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz