Menuju konten utama

Utang Pemerintah Tembus Rp7.014 Triliun, Masih Cukup Amankah?

Posisi utang Indonesia tembus Rp7.014,58 triliun hingga akhir Februari 2022, apakah masih dalam batas aman?

Utang Pemerintah Tembus Rp7.014 Triliun, Masih Cukup Amankah?
Kendaraan melaju di antara gedung bertingkat di kawasan Pancoran, Jakarta, Sabtu (20/3/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Utang pemerintah kembali meningkat mencapai Rp7.014,58 triliun hingga akhir Februari 2022. Posisi utang tersebut, setara dengan 40,17 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam satu bulan, kenaikan utang pemerintah mencapai Rp95,43 triliun. Pada Januari 2022 sebelumnya, utang baru tercatat sebesar Rp6.919,15 triliun.

Mengutip APBN Kita edisi Maret, utang Februari 2022 didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp6.164,20 triliun atau sekitar 87,88 persen. Sementara untuk pinjaman senilai Rp850,38 triliun atau 12,12 persen.

Jika dirinci, besaran utang SBN terdiri dari domestik Rp4.901,66 persen. Di mana utang tersebut berasal dari Surat Utang Negara (SUN) Rp4.054,18 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Rp847,48 triliun.

Kemudian untuk valas mencapai Rp1.262,53 triliun. Utang itu terdiri dari SBN Rp283,79 triliun dan SBSN Rp283,79 triliun.

Selanjutnya, utang berasal dari pinjaman dalam negeri Rp13,27 triliun dan luar negeri Rp837,11 triliun. Sedangkan pinjaman berasal dari luar negeri itu terbagi untuk bilateral Rp294,36 triliun, multilateral Rp499,09 triliun, dan commercial banks Rp43,66 triliun.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir mengatakan, posisi utang Indonesia pada saat ini masih dalam batas aman. Di mana batas atas rasio utang terhadap PDB ditetapkan oleh pemerintah dan DPR yakni 60 persen. Artinya, masih ada gap sekitar 20 persen.

"Dengan nominal tersebut, rasio utang Indonesia hanya 40 persen dari GDP," kata Iskandar saat dihubungi Tirto, Jumat (1/4/2022).

Iskandar juga mengklaim, rasio utang Indonesia jauh lebih sehat dibandingkan negara-negara lain. Dia mencontohkan, rasio utang Singapura pada 2021 sudah mencapai 145 persen terhadap GDP-nya. Kemudian Filipina tembus 60,5 persen dan Thailand 52,8 persen dari GDP-nya.

"Indonesia yang paling konservatif dalam pengelolaan utang," ujarnya.

Jika menilik ke belakang, utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo terlihat membengkak dibandingkan era SBY. Selama Presiden Jokowi menjabat, ada kenaikan utang sebesar Rp4.413 triliun.

Mengutip data dari Kementerian Keuangan, utang pemerintah saat SBY menjabat pada 2004 sebesar Rp1.299,5 triliun. Menutup periode pertama SBY di 2009, utang pemerintah bertambah menjadi Rp1.589,8 triliun.

Kemudian pada 2010, SBY menambah utang pemerintah menjadi Rp1.676,85 triliun. Menutup periode akhir, SBY mencatatkan utang pemerintah sebesar Rp2.601 triliun pada Oktober 2014.

Sehingga dapat dilihat, selama SBY menjabat sebagai presiden 10 tahun, utang pemerintah bertambah sebesar Rp1.301,5 triliun.

Sementara, pada awal masa jabatan, Jokowi telah dibebankan utang sebesar Rp2.601 triliun per Oktober 2014. Hingga akhir Februari 2022, utang pemerintah terus bertambah menjadi Rp7.014,58 triliun. Artinya ada peningkatan sebesar Rp4.413 triliun.

Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mengatakan, posisi utang saat ini jangan dilihat oleh masyarakat dari nominalnya saja. Sebab, jika tolak ukurnya nominal, akan terlihat sangat besar.

"Utang pemerintah hendaknya dilihat, pertama, dari rasionya terhadap PDB," kata Piter dihubungi terpisah.

Saat ini utang pemerintah masih di kisaran 40 persen PDB. Sementara ketentuan Undang-Undang (UU) keuangan negara mensyaratkan utang pemerintah di bawah 60 persen. Artinya utang pemerintah saat ini masih memenuhi ketentuan UU.

Piter menambahkan, utang pemerintah hendaknya juga dilihat dari dinamika kenaikannya. Seberapa besar kenaikan dan peruntukan daripada utang tersebut. Karena jika melihat kenaikannya selama dua tahun terakhir cukup besar, akibat pandemi COVID-19. Tapi, peruntukannya jelas dalam rangka menanggulangi pandemi.

"Dibandingkan negara lain kenaikan utang pemerintah di tengah pandemi termasuk yang paling kecil," ujar Piter.

Di samping itu, Piter melihat bahwa utang pemerintah sebesar Rp7.014 triliun pada Februari adalah konsekuensi dari defisit APBN 2022. Sementara APBN adalah produk dari pemerintah bersama DPR.

Terakhir utang pemerintah harus dilihat dari komposisi utang luar negeri atau utang domestik. Saat ini porsi utang luar negeri semakin kecil. Data Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia sebesar 413,6 miliar dolar AS hingga akhir Januari 2022. Posisi ULN turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya sebesar 415,3 miliar dolar AS.

"Dengan merujuk hal-hal di atas, menurut saya utang pemerintah masih aman," jelasnya.

Utang Membengkak, Apa Langkah Selanjutnya?

Ketua Bidang Kajian Akuntansi dan Perpajakan Asosiasi Emiten Indonesia, Ajib Hamdani memperkirakan posisi utang pemerintah ada saat ini, bakal meningkat sampai akhir tahun. Potensi kenaikan utang itu terjadi melihat struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Di mana pada tahun ini, pemerintah sudah memproyeksikan defisit APBN mencapai Rp868 triliun.

"Sampai akhir tahun 2022, utang ini akan terus mengalami kenaikan," kata menanggapi utang pemerintah, kepada Tirto, Jumat (1/4/2022).

Dengan posisi utang yang ada, maka selanjutnya kata Ajib, adalah bagaimana pemerintah bisa melakukan pengelolaan yang ideal. Pertama, utang harus bisa memberikan kontribusi secara langsung dan maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi.

"Karena dari pertumbuhan ekonomi inilah, pada muaranya akan ada penerimaan negara dalam bentuk pajak. Dan struktur APBN Indonesia secara signifikan ditopang oleh pajak ini," jelas Ajib.

Kemampuan membayar pemerintah atas utang, kata Ajib, sangat bergantung dengan seberapa banyak pemerintah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang produktif. Kemudian bisa menarik pajak yang maksimal. Cerminan ini dalam angka tax ratio, penerimaan pajak dibandingkan dengan PDB.

"Contoh kasus tentang pembangunan IKN, harus diperhitungkan secara kritis ketika akan dibiayai oleh APBN, apakah akan akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak," jelasnya

Ajib melanjutkan, indikator kedua menjadi pertimbangan saat ini adalah apakah utang dilakukan pemerintah bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang berkelanjutan. Analisa ini, menurutnya,bisa diukur dari debt to service ratio (DSR).

DSR ini merujuk pada jumlah cicilan pokok utang luar negeri dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan pendapatan ekspor. Pada 2021, data DSR Indonesia menunjukkan sebesar 41,4 persen, dengan yield yang relatif tinggi 6,74 persen.

"Dengan utang yang ada, bagaimana selanjutnya? Pemerintah harus berkomitmen mengelola keuangan negara secara transparan, akuntabel, produktif dan pro dengan rakyat. Karena, seluruh beban hutang ini, akan menjadi tanggung jawab yang dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia di masa depan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri