Menuju konten utama

Usul Saksi Parpol Dibayar Negara: Bebani APBN & Rawan Penyelewengan

Jika negara setuju membiayai saksi parpol maka ada sekitar 12,8 juta orang yang harus dibayar.

Usul Saksi Parpol Dibayar Negara: Bebani APBN & Rawan Penyelewengan
Ketua KPU Arief Budiman (tengah) bersama pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo (kedua kanan)-Ma'ruf Amin (kanan) dan Prabowo Subianto (kedua kiri)-Sandiaga Uno (kiri) menunjukkan nomor urut Pemilu Presiden 2019 di Jakarta, Jumat (21/9). Pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapatkan nomor urut 01, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapat nomor urut 02. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/kye/18

tirto.id - Usulan embiayaan saksi oleh negara agar saksi partai politik pada Pemilu 2019 dibiayai negara muncul dan dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu, Selasa (16/10/2018). Dalam kesimpulan rapat, DPR RI menyebut usulan itu akan disampaikan ke pemerintah. Alasan DPR RI ialah, tak semua partai memiliki anggaran cukup guna membayar jasa saksi Pemilu 2019.

Meski pemerintah sudah menaikkan dana parpol melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1/2018 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik, namun para legislator yakin pembiayaan saksi oleh negara tak akan membebani APBN. Pandangan itu salah satunya disampaikan Anggota Komisi II DPR RI Firman Soebagyo. Menurut Firman, akan ada lebih banyak manfaat dibanding dampak negatif jika saksi parpol kala Pemilu dibiayai negara.

"Enggak lah [terjadi pembengkakan APBN], kami sudah perhitungkan. Kami serahkan pada pemerintah mau [upah saksi] Rp100 ribu atau Rp50 ribu," ujar Firman kepada reporter Tirto, Kamis (18/10/2018).

Menurut politikus Partai Golkar itu, usul pembayaran upah saksi oleh negara, muncul setelah Komisi II DPR RI mengevaluasi pelaksanaan Pemilu 2014 dan Pilkada serentak 2017. Hasil evaluasi, kata dia, menunjukkan adanya kesenjangan antar parpol dalam hal kemampuan membiayai saksi di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Dampaknya terjadi ketiadaan saksi di sejumlah TPS dan berita acara hasil pemungutan suara tidak ditandatangani semua perwakilan peserta pemilu.

"Di sisi lain, parpol tak ada alternatif lain untuk mencari dana saksi kalau dibebankan pada partai. Padahal ini kebutuhan negara. Ketika parpol memungut ke anggotanya juga jadi heboh," tuturnya.

Infografik CI Bantuan Keuangan Parpol

Wakil ketua badan legislatif DPR RI tersebut menganggap, dana saksi dari negara tak akan membuka celah potensi korupsi oleh parpol. Hal itu justru dipercayai bisa menekan potensi terjadinya korupsi atau perbuatan menyimpang anggota parpol. Alasannya dana untuk saksi diusulkan agar dikelola oleh KPU atau Bawaslu selaku penyelenggara dan pengawas Pemilu.

"Parpol hanya menyediakan SDM yang dilatih oleh penyelenggara dan nanti semua saksi dari parpol hanya ditugaskan di TPS masing-masing. Mereka akan terima honor setelah menandatangani berita acara secara menyeluruh," terangnya.

Usul pengupahan saksi oleh negara juga disampaikan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah. Dia menganggap pembiayaan saksi dari APBN bisa memenuhi rasa keadilan bagi masing-masing parpol.

"Kepentingan negara untuk menyelamatkan proses berdemokrasi. Jadi jangan biarkan uang menjadi alat sengketa dalam pemilu, itu harus diminimalisir. Yang bersengketa itu harus ide, gagasan, program, dan kredibilitas orang," kata Fahri di Kompleks Parlemen DPR RI.

Membebani Negara

Klaim bahwa pengupahan saksi tak akan membebani APBN jelas igauan belaka. Sebab pemerintah sudah pernah mengkaji kisaran biaya yang diperlukan, jika semua saksi parpol dibiayai negara pada pemilu mendatang.

Kajian itu dilakukan pemerintahan Jokowi, saat usulan pengupahan saksi oleh negara pertama kali muncul dalam pembahasan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Saat itu pro dan kontra ihwal anggaran saksi juga sempat mencuat. Akan tetapi, perdebatan selesai dengan kesimpulan saksi tak perlu dibiayai negara.

"Hitungannya kalau enggak salah per saksi Rp300 ribu. Dikali saja berapa tuh, kan itu masing-masing parpol. Nilainya cukup signifikan, tapi saya lupa," ujar Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Soedarmo kepada reporter Tirto.

Berdasarkan UU Pemilu, saksi dari peserta pemilu harus ada di setiap TPS. Jika semua saksi dibiayai negara, maka akan ada sekitar 12,8 juta orang yang harus diupah. Jumlah itu berasal dari perkalian 16 saksi parpol peserta pemilu dengan jumlah TPS yang mencapai angka 800 ribu lebih.

Jika setiap saksi mendapat upah Rp100 ribu, kisaran biaya yang diperlukan untuk mereka Rp1,28 triliun. Jumlah itu bisa lebih besar jika upah bagi saksi di atas Rp100 ribu per orang.

Soedarmo berkata, besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk upah saksi menjadi salah satu alasan pemerintah menolak usul DPR RI. Menurutnya keuangan negara pasti terbebani jika harus membayar tiap saksi saat Pemilu berlangsung.

"Kemudian kalau saksi dibiayai pemerintah kan nanti yang atur pemerintah, kan bisa saja nanti tidak fair. Mungkin juga netralitasnya enggak bisa dijamin. Itu kan mereka yang berkompetisi, tapi saksinya seakan-akan yang menyiapkan pemerintah. Jadi kan enggak pas," tuturnya.

Kemendagri menyebut, bantuan hanya akan diberikan pemerintah melalui Bawaslu RI, untuk pelatihan para saksi dari peserta Pemilu. Bantuan itu, kata Soedarmo, tak akan diberikan dalam bentuk uang honor pada tiap saksi di TPS.

Minimnya Kemandirian Parpol

Pendapat lain dikemukakan Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan. Dia berpendapat, selain membebani anggaran negara, wacana pengupahan saksi dari APBN juga membuktikan minimnya kemandirian parpol di Indonesia selama ini.

"Selama ini parpol sudah mendapat bantuan tiap tahun dari APBN, bahkan APBD, tapi tidak transparan penggunaannya. Ini merupakan wujud ketidakmandirian parpol dan kader parpol. Sekalian saja, semua jadi parpol 'plat merah'," ujar Hasan saat dihubungi reporter Tirto.

"Parpol tidak mandiri karena tata kelola keuangannya belum transparan," ujar imbuhnya.

Hasan menganggap, jika pendanaan saksi dilakukan negara, uang yang diterima semua parpol tiap tahunnya akan semakin tak jelas penggunaannya. Ia curiga dana parpol justru, "digunakan untuk politik uang."

Sebagai catatan, sejak PP 1/2018 terbit maka, setiap parpol yang mengirim perwakilan ke parlemen pusat mendapat bantuan keuangan Rp1000 per suara sah yang mereka kantongi. Dana itu dikucurkan setiap tahun. Bantuan keuangan juga diberikan terhadap parpol berdasarkan jumlah suara mereka di daerah dari pemilu termutakhir.

"Tidak ada kejelasan bantuan parpol yang naik tahun ini digunakan untuk apa. Mustinya partai sudah punya mekanisme internal dan perhitungan jauh hari sebelum pemilu, sehingga hal ini [pembiayaan saksi] bisa diantisipasi," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana