Menuju konten utama

Usul Bubarkan Semua Koalisi, Taktik Demokrat Menaikkan Daya Tawar?

Usul Demokrat agar semua koalisi pilpres bubar dianggap manuver yang tujuannya agar daya tawar mereka setara dengan partai pendukung Jokowi lain.

Usul Bubarkan Semua Koalisi, Taktik Demokrat Menaikkan Daya Tawar?
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato politiknya pada cara penutupan Pembekalan Caleg DPR-RI Periode 2019-2024 Partai Demokrat di Jakarta, Minggu (11/11/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Usul Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik agar koalisi Pemilu 2019 dibubarkan direspons beragam. Salah satunya anggapan bahwa permintaan ini adalah manuver partai berlambang Mercy itu agar daya tawarnya jadi setara dengan partai-partai lain di koalisi Joko Widodo.

Ini penting karena Demokrat kabarnya hendak berlabuh ke petahana untuk kepentingan 2024. Sampai sekarang mereka masih ada di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meski sudah tidak harmonis terutama dengan Gerindra.

Direktur Eksutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, mengatakan dengan bubarnya koalisi, ada kemungkinan Demokrat akan memperoleh kursi menteri lebih banyak di kabinet Jokowi periode kedua (2019-2024).

"Bisa juga ke arah sana, bahwa memang Demokrat punya hidden agenda saat berlabuh ke Jokowi. Itu bisa jadi strategi Demokrat untuk memperoleh kursi lebih," kata Karyono saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (11/6/2019) sore.

Jika posisi menteri ditentukan berdasakan banyaknya kursi yang diperoleh partai di parlemen dan bukan dari jerih payah mereka selama masa kampanye--sebagaimana yang dilakukan partai koalisi Jokowi--maka Demokrat akan lebih unggul dibanding beberapa partai koalisi petahana lain.

Dalam Keputusan KPU RI Nomor 987/PL.01.8-KPT/06/KPU/V/2019, Demokrat resmi memperoleh suara 7,77 persen (setara 10.876.507 pemilih). Angka ini lebih besar dari beberapa partai koalisi Jokowi lain seperti PPP (4,52 persen), Perindo (2,67 persen), PSI (1,89 persen), Hanura (1,54 persen), dan PKPI (0,22 persen).

"Kalau kemudian Demokrat punya agenda sendiri seperti itu, ya itu tidak salah. Dan jika Demokrat menepisnya, kan, itu bahasa politikus, bahasa panggung, normatif saja," tambah Karyono.

Rachland memang tidak bilang kalau Demokrat mengincar sesuatu dari usul pembubaran koalisi. Alasannya mengusulkan ini adalah karena mempertahankan koalisi sama saja seperti memelihara polarisasi di masyarakat karena pilpres, dan itu tidak baik.

Dia bahkan menegaskan bahwa "kenangan partai mana yang setia dan berguna bagi direksi politik presiden terpilih tak akan pupus karena koalisi bubar."

Pernyataan terakhir itu menegaskan kalau Demokrat tidak bermaksud menaikkan daya tawar di mata Jokowi.

Meski demikian, Sekjen PSI Raja Juli Antoni sempat menyinggung manuver Demokrat dengan menegaskan bahwa siapa saja yang mau bergabung ke koalisi mesti sadar bahwa partai-partai pendukung Jokowi tak akan mempraktikkan 'politik dagang sapi', tapi "benar-benar karena ingin Pak Jokowi meneruskan kepemimpinan di Indonesia."

"Ini mohon dimaklumi kawan-kawan yang ingin bergabung," katanya dalam pernyataan tertulis.

Tidak Konsisten?

Golkar, salah satu partai pengusung Jokowi yang memperoleh suara ketiga terbanyak di pileg (12,31 persen, di bawah PDIP dan Gerindra), menolak mentah-mentah usul Rachland. Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan usul Rachland adalah bentuk inkonsistensi Demokrat. Sebab kata Ace, waktu Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa saja, koalisi yang mengusungnya tak dibubarkan, bahkan diinstitusionalisasi dalam bentuk Sekretariat Gabungan (Setgab).

"Dulu waktu zaman SBY, koalisi pendukung SBY-Boediono juga tidak dibubarkan, bahkan terinstitusionalisasi dalam Setgab plus Golkar," katanya.

Inkonsistensi Demokrat juga dipertegas oleh pengajar ilmu politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubeidilah Badrun. Dia bahkan mengatakan "Demokrat adalah partai yang paling tidak konsisten dan tidak jelas sikap politiknya."

"Kesimpulan tersebut didapat dari data sikap politik mereka pada 2004-2009, periode 2009-2014, maupun periode 2014-2019," katanya kepada reporter Tirto.

Rachland lantas angkat bicara mengenai ragam kritikan yang ditujukan kepadanya. Ia mengatakan tak relevan jika apa yang dia usulkan disangkutpautkan dengan sikap politik Demokrat beberapa tahun lalu. Dia juga menegaskan bahwa ini bukan upaya membuat Demokrat punya derajat setara dengan partai koalisi Jokowi lain.

"Kenapa disangkutkan dengan era SBY? Memangnya zaman SBY ada polarisasi seruncing sekarang di akar rumput? Saya sudah jelaskan, anjuran saya itu adalah non-politically motivated political proposal. Motifnya meredakan polarisasi yang menyimpan potensi benturan sosial," kata Rachland kepada reporter Tirto.

"Jadi tidak relevan disangkutkan pada Setgab segala macam," tambahnya.

Ia mengatakan jika usulannya tak diterima oleh pihak mana pun, para pemimpin koalisi--Jokowi dan Prabowo--perlu mencari cara terbaik untuk meredakan konflik akibat politik. "Proposal saya boleh dibuang, tapi para pemimpin koalisi sebaiknya punya ide lebih baik untuk mengembalikan kedamaian dan menghentikan permusuhan di antara sesama warga," katanya.

Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Demokrat, Ferdinand Hutahaean, menegaskan kalau usulan Rachland bukan atas nama partai. Meski begitu dia bilang Demokrat mendukung. "Memang patut ditelaah secara dalam karena tujuannya baik, mencegah polarisasi dan mencegah potensi konflik terjadi di bawah," katanya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino