Menuju konten utama

USU: Perguruan Tinggi yang Fobia LGBT

Rektor USU Runtung Sitepu memakai kekuasaannya untuk membungkam kebebasan berekspresi di kampus.

USU: Perguruan Tinggi yang Fobia LGBT
Ilustrasi HL Indepth Universitas Sumatera Utara. tirto.id/Lugas

tirto.id - “Tuhan menciptakan Adam dan Hawa, bukan Adam dan Jaka!”

Kalimat itu tertulis dalam poster yang dibawa seorang mahasiswa dalam Aksi Anti LGBT di Universitas Sumatera Utara (USU), Jumat, 29 Maret 2019. Tepat di depannya, berdiri Rektor USU Runtung Sitepu. Di depan Gedung Biro Rektor USU, Runtung berfoto bersama para mahasiswa dalam aksi tersebut.

Demonstrasi itu diinisiasi oleh Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU—semacam organisasi badan eksekutif mahasiswa—dibarengi kampanye di media sosial dengan tagar #KamiBersamaRektorUSU.

Tagar itu adalah narasi tandingan terhadap #KamiBersamaSuaraUSU, tagar yang dipakai pelbagai kelompok mahasiswa dan organisasi sebagai bentuk solidaritas atas pemecatan seluruh anggota Pers Mahasiswa Suara USU. Pemecatan dilakukan Runtung karena cerpen tentang perempuan lesbian yang dirilis Suara USU dianggap "mempromosikan LGBT dan pornografi."

Sebuah video pernyataan sikap dari Presiden Mahasiswa USU Iqbal Harefa diunggah di akun Instagram Pema USU.

“Saya menolak adanya paham LGBT yang berkembang di kampus hijau Universitas Sumatera Utara dalam bentuk apa pun,” kata Iqbal dalam videonya.

Kepada media, Runtung berkata pekan lalu bahwa sikap kru Suara USU yang menolak menurunkan cerpen itu telah "mencoreng nama USU."

"Oleh karena itu, secepatnya kami pecat, kami bentuk panitia, dan merekrut anggota baru. Awalnya mau saya bubarkan, tapi saya berpikir dan sadar Suara USU memiliki banyak alumni yang bagus," kata Runtung, berdalih.

Tindakan Runtung didukung oleh sejumlah alumni senior Suara USU yang bekerja untuk kampus, termasuk Humas USU Elvi Sumanti.

Kepada sejumlah media, termasuk kepada Tirto, Elvi menegaskan USU tidak menolerir ada pornografi dan LGBT.

“Itu kan tidak sesuai dengan visi dan misi. Visi misi kami berketuhanan yang maha esa menjunjung tinggi norma dan etika. Jadi semua tindakan harus sesuai,” kata Elvi mengenai sikap USU terhadap LGBT.

Apa yang dikatakan Runtung, Iqbal, dan Elvi menggambarkan histeria anti-LGBT, minoritas seksual terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender, yang jadi sasaran kebencian, diskriminasi, persekusi, dan kekerasan yang meluas di Indonesia terutama sejak 2016.

Alasan kebencian terhadap LGBT bisa macam-macam tapi bisa disatukan dalam argumen kepanikan berbasis moral.

Mereka yang menyuarakan anti-LGBT termasuk para elite negara, salah satunya bahkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir, yang menyebut kelompok LGBT tidak seharusnya diizinkan berkegiatan di kampus yang menurutnya pilar “penjaga moral.”

Saat itu pernyataan Nasir merespons keberadaan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies di Universitas Indonesia, yang kerja-kerjanya menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.

Dikecam oleh kelompok hak asasi manusia, Nasir buru-buru mengklarifikasi dan berpendapat bahwa yang perlu dilarang dari kelompok LGBT di kampus adalah "tindakannya, bukan pemikiran maupun kegiatan diskusi." Ia menambahkan, “menjadi lesbian atau gay itu merupakan hak masing-masing individu,” asalkan “tidak mengganggu lingkungan akademik."

Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat bahkan pernah menolak calon mahasiswa LGBT. Kampus itu meminta calon mahasiswa membuat surat pernyataan tidak termasuk kelompok LGBT. Syarat ini didorong oleh fora diskusi yang digelar kampus pada Maret 2016 bertajuk "Membentengi Generasi Muda dari Bahaya LGBT".

Usai ramai penolakan di media sosial, Unand menghapus tautan contoh surat pernyataan itu. Unand tutup mulut. Tak jelas apakah setiap calon mahasiswa tetap wajib memenuhi syarat tersebut.

Di Padang pula pemerintahnya berencana menggandeng TNI untuk "menangani" kelompok LGBT yang dituding sebagai "penyakit."

Di Universitas Negeri Jakarta, penolakan terhadap LGBT dipelopori Badan Eksekutif Mahasiswa, yang berujar bahwa homoseksual bukan sesuatu yang ada sejak seseorang dilahirkan.

Dari Aceh yang menghukum cambuk individu LGBT hingga di Yogyakarta yang membubarkan sebuah pesantren waria, dari aksi polisi yang menggerebek tongkrongan individu-individu LGBT hingga kasus 'cerpen LGBT' di USU, menjelaskan apa yang disebut "kepanikan moral," menurut laporan Human Rights Watch, Juli 2018.

Dalam laporan pemantauan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (PDF) pada Mei 2018 mengenai “Bahaya Akut Persekusi LGBT”, tingginya sentimen publik terhadap kelompok LGBT berimbas timbulnya tindakan pelarangan seperti diskusi di ruang akademik, diskriminasi di tempat kerja dan pendidikan.

Infografik HL Indepth Universitas Sumatera Utara

Infografik Anti-LGBT di USU. tirto.id/Lugas

'Tidak Baik bagi Dunia Pendidikan'

Apa yang dilakukan Rektor USU Runtung Sitepu dengan memecat seluruh pengurus Suara USU, hanya karena sebuah 'cerpen LGBT', menaikkan level anti-LGBT di kampus itu.

Pengalaman sebelumnya media mahasiswa Suara USU pernah merilis laporan tentang LGBT tapi tidak direspons secara berlebihan.

Sembilan tahun lalu, Tabloid Suara USU merilis laporan khusus dua halaman tentang kehidupan transgender di Medan. Isinya tentang perundungan, persekusi, dan diskriminasi terhadap para transgender, dari keluarga, lingkungan, hingga sekolah, membuat mereka kesulitan mengakses pekerjaan hingga tak punya pilihan dan berakhir di pelacuran.

Menurut pemimpin redaksi Suara USU 2010 Khairil Hanan Lubis, setelah laporan itu dirilis, tidak ada protes atau masalah apa-apa, baik dari mahasiswa maupun dari rektorat.

Pada 2013, Suara USU juga menulis kisah mahasiswa-mahasiswa queer di USU. Dibandingkan kisah fiksi yang dirilis tahun ini, laporan berjudul “Agar Mereka Tak Lagi Beda” itu lebih tampak mengajak sivitas akademika di USU untuk tidak mendiskriminasi LGBT.

Dalam laporan itu, Suara USU menulis seorang mahasiswa FISIP yang berani melela di depan kelas, juga cerita dua mahasiswa lain yang mendapatkan perisakan oleh keluarga dan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Pandangan para psikolog dan orang-orang yang berbeda juga ditulis dalam laporan tersebut.

Setelah laporan itu terbit dan tabloid diedarkan, sempat ada beberapa mahasiswa datang ke kantor redaksi, salah satunya dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat itu HTI belum dilarang. Menurut pemimpin umum saat itu, Debora Blandina Sinambela, mahasiswa itu hanya ingin berdiskusi, menyampaikan pikirannya.

Tidak ada protes berlebihan atau pemanggilan dari pihak rektorat. Tidak ada tuduhan "mempromosikan LGBT" sebagaimana kini dipakai Rektor Runtung Sitepu buat membungkam Suara USU.

“Sebagai pimpinan umum waktu itu, aku enggak dapat teguran dari rektor, biasa aja kayak liputan lain,” kata Debora.

Pada 2010 dan 2013, Runtung belum menjabat Rektor USU; Elvi Sumanti pun belum menjadi Kepala Humas USU.

Kini situasinya berbeda. Menurut peneliti Human Right Watch Andreas Harsono, apa yang dilakukan Runtung menciptakan kesan bahwa lingkungan USU bersedia melakukan diskriminasi terhadap individu LGBT—sesuatu yang dilarang hukum Indonesia maupun internasional.

“Mungkin Runtung Sitepu mengira sikap intoleran ini biasa-biasa saja, tak akan ada dampaknya. Bagaimanapun komunitas LGBT adalah komunitas kecil, tak berdaya, bisa saja didiskriminasi macam ini,” kata Andreas.

Andreas bilang Runtung perlu belajar dari kesalahan Kay Cole James, presiden dari Heritage Foundation, yang transphobia. Kini James sulit diterima karyawan Google ketika ditunjuk dalam komite Google.

“Runtung masih ada waktu buat belajar dan memperbaiki diri. Dia perlu diskusi dan belajar soal prinsip non-diskriminasi terhadap siapa pun. Langkah tersebut akan memperbaiki nama día,” lanjut Andreas.

Jika karena cerpen yang dirilis Suara USU, Runtung lantas mendapatkan protes dan keluhan dari pelbagai pihak termasuk mahasiswa, Andreas menyarankan agar Runtung menganjurkan pemrotes itu memakai kebebasan berekspresi untuk menulis, menandingi cerita pendek dari Suara USU. Hal itu lazim dalam masyarakat akademik. Tulisan dilawan tulisan.

Dede Oetomo, doktor di bidang linguistik, aktivis LGBTIQ, dan akademisi di sejumlah kampus di Surabaya menilai yang dilakukan Runtung sebagai sikap homofobik.

“Dunia pendidikan itu tidak sepatutnya membenci suatu golongan hanya karena identitasnya. Saya dulu, sebagai yang antimiliterisme, tetap menerima dan menghormati perwira menengah dan tinggi yang kuliah dengan saya,” katanya.

Komnas HAM juga tidak setuju atas sikap homofobik USU. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai apa yang dilakukan petinggi USU tidak baik bagi dunia pendidikan. Taufan adalah alumnus dan sempat menjadi Dosen Ilmu Politik di USU. Menurutnya, harus ada jaminan institusi perguruan tinggi menerapkan prinsip non-diskriminasi bagi siapa pun.

“Tidak boleh ada kekerasan dan persekusi terhadap LGBT maupun kelompok minoritas lainnya,” kata Taufan.

======

Penyingkapan: Wan Ulfa Nur Zuhra, yang menulis laporan ini, adalah alumnus Suara USU. Fahri Salam, editor laporan ini, pernah mengisi pelatihan jurnalistik di Brastagi yang diinisiasi oleh Suara USU.

Baca juga artikel terkait SUARA USU atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Wan Ulfa Nur Zuhra