Menuju konten utama

Usaha Memupuk Tanah Surga

Tanpa pupuk, negeri kita hanya akan menjadi tanah yang dipenuhi keluhan, ratapan dan kertak gigi

Ilustrasi tanaman. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Makanan adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Maka, terpenuhi atau tidaknya akan menjadi pemantik urusan-urusan lain dalam berbagai skala. Di Vietnam, misalnya, ia pernah jadi pemicu perang. Seperti orang-orang Vietnam, mayoritas masyarakat Indonesia lekat dengan beras. Konsumsi beras kita pada 2017 saja mencapai 114,6 kg per kapita per tahun. Setiap orang Indonesia mengonsumsi 300 gram beras per hari.

Penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta jiwa pada 2010 (Badan Pusat Statistik). Pada 2013, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), seperti laporan Katadata, memproyeksikan jumlah penduduk pada 2018 mencapai 265 juta jiwa. Kebutuhan pangan jelas meningkat.

Mari mundur sejenak. Pada 2016, sekelompok petani di Madiun mengeluhkan kekurangan pasokan pupuk. Berselang setahun, sebuah laporan Tirto juga dibuka dengan keluhan Abdurrahman, seorang petani Aceh, tentang kesulitannya mendapatkan pupuk. Pada kasus Abdurrahman, ketidaktersediaan pupuk menyebabkan lahan yang dimilikinya gagal panen dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.

Penggunaan pupuk-pupuk anorganik seperti urea, SP-36, ZA, NPK, dan ZK memang secara tepat meningkatkan produktivitas pertanian. Maka keluhan para petani itu jelas mendesak. Pupuk telah jadi instrumen andalan untuk menjaga produksi hasil pertanian.

Infografik advertorial Pupuk Indonesia

Infografik advertorial Pupuk Indonesia

Sebagai pembanding, antara 1985 sampai 2016, anggaran dana pupuk yang digelontorkan Amerika Serikat, negara penghasil jagung nomor satu di dunia, meningkat dari 8,6 miliar menjadi 23,5 miliar dolar. Peningkatan penggunaan pupuk tersebut berbanding lurus dengan hasil produksi. Produksi jagung, yang pada 1945 hanya sebesar 1,649 ton per hektare meningkat menjadi 4,626 ton per hektare pada 2017.

Di Indonesia, sektor pertanian merupakan salah satu perhatian utama pemerintah, sebab ia menyangkut hajat hidup banyak orang. Salah satu pengejawantahan upaya ini adalah dengan menyediakan pupuk bersubsidi demi terjaganya produksi pertanian. Dengan memberi subsidi, pemerintah bisa menjaga agar harga pupuk selalu masuk jangkauan petani.

Pupuk bersubsidi dapat diakses oleh petani, baik petani tanaman maupun petani tambak, dengan lahan seluas maksimal 2 hektare. Petani dengan lahan garapan lebih luas harus membeli pupuk non-subsidi di kios-kios resmi. Selain persyaratan luas lahan, untuk bisa mengakses pupuk bersubsidi, petani juga harus tergabung dalam kelompok tani dan membuat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). RDKK ini merupakan acuan dasar penyusunan alokasi pupuk bersubsidi berdasarkan APBN.

Data Humas Pupuk Indonesia menunjukkan, pada 2018, realisasi volume penyaluran pupuk bersubsidi sebesar 9,34 juta ton. Produksi urea pada tahun yang sama mencapai 7,44 juta ton, sedangkan volume produksi non urea tahun 2018, SP-36, ZA, NPK, dan ZK, mencapai 4,21 juta ton. Volume produksi amoniak mencapai 5,8 juta ton, dan produksi non amoniak (Asam Sulfat, Asam Fosfat, dan lain-lain) mencapai 994 ribu ton. Untuk mengamankan musim tanam, Pupuk Indonesia saat ini menyiapkan stok pupuk bersubsidi untuk seluruh wilayah Indonesia sebesar 1,4 juta ton atau cukup untuk kebutuhan 3 bulan ke depan.

Lini pertama penyaluran pupuk bersubsidi adalah pabrik pupuk. Kemudian tingkat provinsi, lini ketiga untuk tingkat kabupaten, dan lini keempat untuk tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatanlah pupuk bersubsidi didistribusikan dengan harga lebih murah, melalui kios-kios pengecer resmi.

Menurut Menteri BUMN, Rini M Soemarno, Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk telah memastikan stok pupuk bersubsidi terjamin hingga tiga bulan ke depan khususnya untuk masa musim tanam Oktober – Maret “Dengan kebutuhan pupuk bersubsidi yang masih tinggi saya juga mendorong Produsen untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan kepada petani.”

Tanpa pupuk, negeri kita, yang secara metaforis digambarkan Koes Plus sebagai “tanah surga” di mana “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, hanya akan menjadi tanah yang dipenuhi keluhan, ratapan dan kertak gigi.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis