Menuju konten utama
31 Juli 2010

Usaha Melestarikan Jejak Iwan Tirta

Berlarik-larik.
Gores cinta berdesik
di helai batik.

Usaha Melestarikan Jejak Iwan Tirta
Ilustrasi Mozaik Iwan Tirta. tirto.id/Sabit

tirto.id - Saya melangkah ke dalam butik Iwan Tirta Private Collection sebagai kaum milenial yang membayangkan karya Iwan Tirta sebagai adibusana yang cocok dikenakan para sosialita semampai, anggun, dan elegan. Butik itu terasa tenang dengan cahaya kuning temaram, tak seperti gerai-gerai toko lain yang terang dan riuh dengan suara pengunjung.

Saya duduk di sebuah sofa yang menghadap ke deretan gaun karya Mel Ahyar. Di ranah mode, Mel masih masuk kategori desainer muda. Gaya rancangannya eksentrik dan tertuang dalam paduan beberapa material busana, desain lengan baju bervolume, dan detail tiga dimensi yang nampak sangat menonjol. Desainnya mematahkan kredo less is more yang sesungguhnya dianut oleh Iwan Tirta. Biasanya busana Mel diminati oleh kaum muda atau orang yang gemar eksperimen gaya. Di butik ini, karya Mel dibuat dari kain karya Iwan Tirta. Harapannya agar lini Iwan Tirta mampu menjangkau pasar yang lebih luas.

Di ruangan lain, ada kotak perhiasan transparan yang memuat karya Rinaldy A Yunardi, desainer aksesori yang karyanya kerap dikenakan para selebritas Hollywood seperti Beyonce, Lady Gaga, Katy Perry, dan Nicki Minaj. Rinaldy gemar menciptakan benda yang terkesan dramatis. Ia mengidolakan desainer Christian Lacroix, Thierry Mugler, dan Alexander McQueen. Gaya rancangnya pun nampak senapas dengan sosok idolanya.

Rindu Melati, Public Relation Mahakarya, perusahaan yang menaungi Iwan Tirta Private Collection, berkata bahwa Rinaldy tak selalu diharuskan membuat aksesori dengan motif karya Iwan Tirta. Ia dibebaskan untuk membuat rancangan yang sesuai dengan bayangannya terhadap sosok Iwan.

Satu-satunya hal yang membuat saya merasakan ‘Iwan Tirta yang sesungguhnya’ ialah gambar sketsa motif batik yang ada pada dinding-dinding ruang. Sketsa tersebut tertuang di kertas besar bagai lukisan dan dipenuhi catatan soal ukuran dan bahan. Tetapi gambar itupun replika karena katanya terlalu berisiko untuk memajang sketsa asli.

Membuat karya Iwan Tirta terus eksis dan bisa diterima masyarakat luas ialah tugas menantang untuk tim Mahakarya. Label Iwan Tirta Private Collection tercipta saat Iwan Tirta memasuki usia senja dan mulai memikirkan keberlangsungan bisnisnya. Salah satu cara yang terpikir olehnya ialah masuk ke ranah retail agar karyanya diterima lebih luas.

Perkaranya tidak sesederhana itu. Selama hidup, Iwan telah menciptakan ribuan motif batik. Perlu kurasi serius untuk menentukan motif mana yang direproduksi atau dimodifikasi menjadi produk tertentu. Dalam satu bulan, lini retail ini memproduksi seribuan motif batik untuk dijadikan kemeja pria atau busana wanita. Harganya ada di angka Rp8,5 juta ke atas.

Era Soekamto, desainer busana yang kini jadi Direktur Kreatif label Iwan Tirta Private Collection, bercerita bahwa dirinya pernah menolak tugas menjadi direktur kreatif lini ini. “Iwan Tirta ialah sosok yang sangat kompleks,” katanya.

Era menyadari bila ia menerima tugas sebagai direktur kreatif, ia harus bertindak serupa dengan Iwan Tirta. Melakukan penelitian tentang sejarah batik dan mendekatkan diri ke lingkungan kerajaan Jawa karena dari sanalah awal dari perintah pesanan motif kain untuk para perajin.

“Buat saya merawat karya Iwan Tirta butuh pembelajaran seumur hidup,” lanjutnya. Ia sempat tidak siap karena waktu itu punya keinginan untuk membesarkan lini busana karyanya yang desainnya berbeda dengan karakter Iwan Tirta.

Akhirnya ia bersedia. Hal yang dilakukannya ialah mempelajari sejarah batik dan berbincang dengan sejumlah orang di kesultanan Jawa yang dianggap punya pengetahuan tentang batik. Ia kemudian antusias bicara soal motif kain yang pernah dilukis kembali oleh Iwan Tirta. Sebagian besar berangkat dari budaya Jawa. Salah satunya bercerita tentang Modang, motif yang tercipta pada masa kekuasaan raja Mangkunegara I.

“Ini bicara tentang energi manusia. Motifnya mencerminkan Kundalini, poros energi yang memungkinkan manusia mencapai Suwung atau ultimate life. Karya-karya Iwan sebetulnya ialah wujud universal wisdom.”

Kini Era ingin mengembangkan batik halus agar nantinya bisa jadi bagian dari seribuan motif batik yang diproduksi dalam waktu sebulan. Ia harus melihat pasar sambil berupaya membuat orang mengerti makna motif tersebut. “Batik memuat pesan sublim dan membatik ialah meditasi."

Infografik Mozaik Iwan Tirta

Perkataan batik sebagai meditasi mungkin ia pelajari dari Iwan Tirta. Ia pernah menyatakan kalimat tersebut dalam Batik Sebuah Lakon (2009) Perkataan itu muncul pada tahun 1974, saat Iwan memutuskan untuk serius menjalani bisnis batik. Ia meninggalkan profesi sebagai dosen di Universitas Indonesia dan fokus untuk merancang batik dengan motif mikroskopik. Ini adalah motif yang melukiskan objek gambar dalam skala masif untuk menegaskan kesan elegan pada kain.

Atas saran ibunya, Iwan mempelajari teknik membatik di atas kain sutra. Hal ini dilakukan demi membuat batik mampu masuk kategori adibusana sesuai dengan impian Iwan. Iwan sempat berkecil hati saat mengetahui bahwa di Eropa batik dijadikan aksesori pelengkap bagi kaum hippies. Ia ingin mengubah kesan itu.

Dalam bab ‘Muse: Tokoh Penggugah Inspirasi’ Iwan berkata, “Saya ingin wanita tampil penuh percaya diri dan setara dengan laki laki dalam segala aspek kehidupan juga dalam berbusana. Perempuan Indonesia dalam benak saya ialah perempuan yang penuh percaya diri, asertif, cerdas, cantik, semampai. Muse saya ialah Gusti Putri Mangkunegoro VII,” tulisnya.

Rancangan adibusana batik untuk wanita ini sempat ia pamerkan di beberapa negara Asia, Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika. Jalan Iwan sebagai pembatik terbilang sudah dimudahkan akibat berbagai riset yang pernah ia lakukan tentang batik. Dalam Batik: A Play of Light and Shades (1996) Iwan menulis bahwa dirinya mempelajari batik ketika melakukan riset tentang tarian Bedaya Ketawang pada tahun 1964 sebagai salah satu bagian dari program studi di Yale University.

Dari sana ia punya koneksi dengan anggota keluarga kesultanan Solo. Ia lega karena bisa lebih banyak mengetahui tentang budaya di negaranya. Iwan pernah merasa tertohok saat British Council, lembaga yang memberinya beasiswa untuk sekolah di University Of London, memintanya mempresentasikan budaya Indonesia. Waktu itu Iwan hanya kebingungan. Saat itu yang ia tahu justru berbagai situs budaya di Inggris. Beruntung ia punya kesempatan untuk mengobati rasa bersalah dengan cara lebih besar dari yang pernah ia pikirkan.

Persahabatan Iwan dengan Joop Ave, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (1993-1998), membuat karya-karya Iwan dimiliki oleh para pejabat negara. Bab ‘Batik Dalam Diplomasi’ yang ada dalam buku Batik Sebuah Lakon mengisahkan bahwa Joop kerap meminta Iwan untuk mendesain batik sebagai suvenir bagi kepala negara yang datang ke Indonesia.

Salah satu momen ikonik terjadi saat pertemuan APEC tahun 1994. Iwan merancang batik untuk pejabat negara yang mengikuti konfrensi tersebut. Motif kemeja disesuaikan dengan negara asal. Contoh, motif maple untuk kepala negara Kanada dan motif Sakura untuk kepala negara Jepang. Di samping itu, Iwan pernah merancang pesanan khusus dari Nancy Reagan, yakni batik merah, warna kesukaan Nancy.

Bagi Iwan, menjual batik ialah pekerjaan yang sangat menyenangkan. Di samping itu, ia menganggap batik sebagai “perenungan, pengenalan jati diri, budaya, lakon kehidupan,” tulisnya dalam Batik Sebuah Lakon. Selain lewat motif, upaya pelestarian pernah ia lakukan dengan mereproduksi busana tari dan perhiasan kuno.

Menjaga karya Iwan dan menjalani ajakannya tentu bukan hal yang mudah. Meski demikian, Atilah Soeryadjaya, rekan dekat sekaligus kolektor karya Iwan hendak mewujudkan pesannya. “Sebelum meninggal, Iwan memberikan koleksi pribadinya kepada saya untuk dijaga. Saya bermimpi agar pemerintah memberi perhatian untuk mendirikan museum Iwan Tirta di kediaman beliau yang kondisinya kini sudah sangat memprihatinkan. Saya bersedia untuk menata kembali semua barang seperti semula. Karena 80% isi rumah Iwan yang berbentuk karya dan koleksi pribadi berupa furnitur, perhiasan, dan konstum tari dari berbagai suku di Indonesia ada pada saya,” katanya.

Hari ini delapan tahun lalu Iwan Tirta wafat dan menyisakan harapan serta pekerjaan rumah yang tak mudah.

Baca juga artikel terkait BATIK atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono