Menuju konten utama

Upaya Taylor Swift Mengurai Ketimpangan Gender dan Melek Politik

Taylor Swift menjadi duta bagi kampanye Phil Bredesden dan Jim Cooper, keduanya politikus Partai Demokrat dan sama-sama berasal dari Tennessee.

Upaya Taylor Swift Mengurai Ketimpangan Gender dan Melek Politik
Taylor Swift memainkan lagu "I Does Something Bad" dalam perhelatan American Music Awards pada Selasa, 9 Oktober 2018, di Microsoft Theater di Los Angeles. Matt Sayles / Invision / AP

tirto.id - Saat ini banyak musisi perempuan di Amerika Serikat yang turut memperjuangkan kesetaraan dalam industri musik. Taylor Swift, penyanyi dengan pendapatan tertinggi pada 2019 adalah salah satu di antaranya.

Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal tersebut. New York Times mengutip hasil penelitian Stacy L. Smith, Profesor Madya dari University of Southern California, yang menyebut bahwa dari 600 lagu yang ada di Billboard top 100 Chart sepanjang 2012-2017, hanya 22,4% yang dinyanyikan oleh penyanyi perempuan.

Sementara dari 2767 penulis lagu yang disebut dalam daftar tersebut, hanya 12,3% yang berjenis kelamin perempuan. Jumlah produser musik perempuan bahkan lebih rendah lagi yakni hanya 2%.

“Saya melihat para perempuan dihambat kariernya dalam industri musik,” katanya seperti yang dikutip NYT.

Dalam studi Smith, hanya ada tiga perempuan yang tercatat sebagai penulis lagu terpopuler: Nicki Minaj, RIhanna, dan Swift. Meski mereka dan penyanyi perempuan lain, misalnya Beyonce, kerap memenangkan Grammy, kesetaraan gender dalam industri musik masih jauh panggang dari api.

“Tujuan kami adalah mengakhiri ketimpangan ini,” demikian ucap Smith.

Girs I Rate dan Upaya Taylor Swift

Dominasi laki-laki di industri musik AS turut diungkapkan Carla Marie Williams, sosok penulis lagu yang kerap bekerjasama dengan Beyonce, Britney Spears, juga Craig David. Dalam wawancaranya dengan Guardian, ia mengatakan hal tersebut dengan gamblang.

“Tidak ada kesetaraan di dalamnya. Dominasi laki-laki masih terjadi dari tahun ke tahun,” kata orang yang salah satunya menulis lagu-lagu dalam Lemonade, album Beyonce yang pernah memenangkan penghargaan sebagai album terbaik Grammy Award tahun 2017.

Williams bukannya sekadar bicara. Ia pernah berusaha untuk menyuarakan soal ketimpangan di lingkungan kerjanya, tapi keluhan tersebut diabaikan para koleganya dan ia pun diminta untuk diam. Tentu saja Williams tidak mematuhi saran tersebut.

Pada 2016, Williams lantas membuat platform yang dinamakan Girs I Rate agar perempuan yang memiliki ketertarikan untuk berkarier di industri musik sebagai manajer, pengurus divisi hubungan masyarakat, hingga penulis lagu bisa mendapatkan kesempatan untuk berkarya.

Williams membuka lokakarya bisnis musik dengan sistem open submission alias pengajuan terbuka. Para calon musisi (tidak tertutup pula mereka yang tertarik dalam industri musik) bisa mengirimkan demo lagu. Nantinya demo tersebut akan ditanggapi oleh Williams beserta tim label rekaman yang bekerja sama dengannya.

Jika Williams bergerak menciptakan peluang bagi calon musisi perempuan melalui platform-nya, Taylor Swift mencoba menepis ketimpangan tersebut dengan memperjuangkan haknya sebagai penulis lagu dan penyanyi.

Awal Februari lalu, New York Times melaporkan bahwa Swift akan bekerjasama dengan Universal Music Publishing Group untuk menjamin hak cipta perannya sebagai penulis lagu. Sebelumnya, Swift diakui sekadar sebagai penulis lagu saja, sehingga ia tidak punya hak atas segala hal yang berhubungan di luar itu seperti penyebarluasan materi atau pembuatan ulang lagu-lagu lama.

Menurut laporan tadi, cara tersebut dinilai sebagai salah satu kerja sama penting dalam bisnis musik karena merangkum segala hal, mulai dari urusan hak cipta, lisensi penulisan lagu, hingga komposisi.

“Swift akan punya kontrol lebih besar terhadap karyanya,” tulis New York Times.

Kerja sama itu nantinya diharapkan akan menjauhkan Swift dari masalah yang terjadi dengan label rekaman lamanya. Pasalnya, di sana Swift tidak punya hak dan tidak bisa mengklaim apapun ketika lagu-lagunya dibeli oleh pihak lain karena ia hanya tercatat sebagai penyanyi.

Enam album pertama Swift diproduksi oleh label rekaman Big Machine. Tahun lalu perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan jasa konsultasi bisnis dan manajemen, Itacha Holdings, dengan nilai sekitar $300 juta. Swift tidak mendapat sepeser pun dari hasil penjualan tersebut.

Swift sempat menyebut bahwa Big Machine melarangnya menggunakan salah satu lagu miliknya untuk film dokumenternya yang tayang di Netflix, Miss Americana. Pernyataan itu kemudian disanggah oleh pihak label rekaman.

Swift yang merasa dibungkam haknya kemudian memilih untuk menjalin kerjasama dengan Universal Music Publishing Group (UMPG) yang dipimpin Jody Greyson. Dalam laman resmi UMPG, ia mengatakan:

“Ini adalah kali pertama perempuan memegang jabatan tinggi dari perusahaan musik besar. Greyson adalah bukti perempuan kuat di ranah musik dan salah satu sosok yang dihormati dalam industri ini.”

Keluhan Swift dan rencana-rencananya dalam industri musik ini ternyata mendapat dukungan dari dua politikus perempuan AS: Alexandria Ocasio Cortez dan Elizabeth Warren.

Melek Politik

Swift mengaku bahwa sekitar dua tahun belakangan ia mulai melek politik. Sang penyanyi tidak menjelaskan alasan persisnya. Sejauh ini ia hanya menyebut: beberapa kejadian penting dalam hidupnya membuat ia memutuskan untuk terlibat dalam ranah politik. Demikian yang ia ungkap kepada jurnalis TIME.

Keterlibatannya di dunia politik pertama kali ditunjukkan dengan menjadi duta bagi kampanye Phil Bredesden, kandidat Gubernur dari partai Demokrat.

Bredesden berasal dari Tennessee, kota kelahiran Swift. Ia menghabiskan masa kecil hingga remaja di kota tersebut, sebelum akhirnya pindah pada usia 14 untuk serius berkarier di bidang musik. Kota tersebut dikenal dengan kota yang konservatif, sehingga kandidat dari partai Demokrat--yang biasanya dikenal progresif--biasanya tidak memiliki banyak dukungan dari daerah ini.

Infografik Taylor Swift

Infografik Taylor Swift. tirto.id/Quita

Selain Bredesden, Swift juga mendukung politikus demokrat lain seperti Jim Cooper. Bahkan melalui akun Instagram resminya yang memiliki 127 juta pengikut, Swift turut “menyerang” senator dari Republikan, Marsha Blackburn, lawan politik dari Cooper.

Menurut Swift, Blackburn tidak memperjuangkan kesetaraan pendapatan antara laki-laki dan perempuan, tidak mendukung aksi dan aturan yang menolak kekerasan terhadap perempuan, tidak mendukung kaum LGBT, serta menganggap mereka tidak berhak menikah.

“Semua itu bukan nilai-nilai kita, warga Tennessee. Aku tidak bisa mendukung orang yang tidak memperjuangkan hak semua orang Amerika apapun warna kulit mereka, gender, atau siapa yang mereka cintai,” demikian ucap Swift seperti dilansir National Public Radio (NPR).

Bagi pihak Republik, kampanye Swift tidak akan berpengaruh pada suara publik. Hingga tulisan ini dibuat belum ada data soal peningkatan suara pasca ia direkrut untuk jadi pendukung kampanye sejumlah politikus. Belum ada pula jumlah uang yang ia dapat dari bentuk dukungan tersebut.

Bicara soal kekayaan, rasa-rasanya, sudah bukan lagi hal penting bagi Swift. Ia, misalnya, ditempatkan Forbes di urutan ke-9 sebagai selebriti berusia di bawah 30 tahun yang memiliki bayaran tertinggi. Sementara tur albumnya, Reputation, menjadi tur terlaris sejak Billboard Boxscore melakukan pencatatan data terkait pada tiga dekade lalu.

Jika kini Swift mulai melek politik dan makin peduli terhadap sesama perempuan--sekalipun sempat menjadi perdebatan ketika ia tampil di kaver TIME edisi “Silence Breaker”--maka dugaan demi mengeruk fulus semata semestinya telah batal sejak dari pikiran.

Baca juga artikel terkait TAYLOR SWIFT atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Mild report
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Eddward S Kennedy