Menuju konten utama

Upaya Serikat Pekerja dan Pilot Selamatkan Garuda

Garuda Indonesia rugi besar pada 2017. Para pilot dan pekerja khawatir Garuda bangkrut karena salah kelola.

Upaya Serikat Pekerja dan Pilot Selamatkan Garuda
Sejumlah pilot maskapai Garuda Indonesia memberikan penghormatan terakhir kepada pesawat Boeing 747-400 di hanggar 4 GMF, Tangerang, Banten, Senin (9/10/2017). ANTARA FOTO/Fajrin R

tirto.id - “Kami enggak minta naik gaji, kami minta ada pembenahan dalam Garuda,” kata Ahmad Irfan Nasution, Ketua Umum Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia (Sekarga). Ia menilai manajemen Garuda tidak melihat inti dari protes yang mereka ajukan. Bahkan niatan Serikat dan Asosiasi Pilot Garuda mogok kerja jika tidak ada pembenahan masih dianggap parsial atas bobroknya manajemen perusahaan milik negara itu.

Sejak muncul wacana mogok pada dua bulan terakhir, manajemen justru memikirkan bagaimana mencari pilot cadangan. Pada pertemuan terakhir Serikat dan Asosiasi, justru mereka diundang rapat di Kemenko Maritim, padahal urusan yang mereka suarakan justru berkaitan dengan kementerian BUMN.

Sejak tahun kemarin, seruan serupa sudah diungkapkan Irfan, tetapi sampai ada evaluasi dari Kementerian BUMN pada akhir tahun 2017, tidak ada juga perubahan. Orang-orang yang dianggap bermasalah oleh Serikat dan Asosiasi masih saja menduduki posisi direksi.

“Direktur pemasaran saja dipegang orang dari Pertamina yang biasa main di pasar monopoli. Tidur saja laku barangnya. Ini penerbangan, beda,” kata Irfan kepada Tirto, awal Juni lalu, merujuk nama Nina Sulistyowati.

Jalan terakhir agar suara mereka didengar dan dipahami oleh para direksi adalah mogok kerja. Pada konferensi pers 2 Mei 2018, Irfan sempat menyampaikan rencana mogok itu. Ia mengutarakan ultimatum kepada pemegang saham dan BUMN, jika dalam waktu 30 hari kerja tidak ada respons, mereka akan mogok.

Dampak Mogok

Kabar rencana mogok bikin panik perusahaan. Irfan beberapa kali dihubungi pihak manajemen untuk bertemu, tetapi ia menolak sebelum ada kepastian perubahan. Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan sampai turun tangan untuk isu tersebut.

“Mogok bagi kami bukan sepele. Mogok tiga jam saja, efeknya sudah merusak seluruh jadwal penerbangan,” kata Irfan.

Misalkan, para pilot Garuda yang berjumlah 1.300 orang dan karyawan mogok selama tiga jam pada penerbangan pertama pukul 05.30 pagi. Paling tidak akan ada dua penerbangan yang tertunda. Ini akan berakibat pada keterlambatan pada penerbangan-penerbangan selanjutnya.

Garuda sulit menerbangkan penumpang pada jadwal siang, sebelum para penumpang pada penerbangan pagi diberangkatkan. Begitu terus sampai penerbangan terakhir pukul 9 malam. Penumpang penerbangan terakhir bisa jadi dibatalkan. Dalam sehari, penumpang paling tidak akan terlantar selama tiga jam bahkan lebih.

Mogok juga tidak bisa diantisipasi dengan mengandalkan pilot cadangan, apalagi dari TNI AU. Usai muncul wacana mogok itu, Direktur Utama Garuda Pahala Mansury menjalin kerja sama dengan TNI AU untuk melibatkan pilot AURI dalam penerbangan Garuda, khususnya pada peak season.

“Bentuk kerja sama ini untuk mengoptimalkan jumlah pilot karena kalau kami lihat, terutama pada peak season, membutuhkan jumlah pilot cukup banyak," kata Pahala seperti dikutip dari Antara.

Selain itu, mogok berdampak pada saham Garuda di pasar modal. Setelah rencana mogok itu ramai, saham Garuda turun. Pada 30 Mei 2018, nilai saham garuda cuma Rp256 per lembar. Pada hari berikutnya turun menjadi Rp254 per lembar, dan turun terus sampai terendah pada Kamis kemarin, 28 Juni, senilai Rp240 per lembar. Jumlah ini jauh lebih rendah dari pertama kali Garuda melantai dengan nilai Rp750 per lembar saham pada 2011.

Saham mulai naik ketika sudah ada kesepakatan bahwa pilot dan karyawan tidak akan mogok. Pertemuan kesepakatan itu baru dilakukan pada 4 Juni dengan Menteri Luhut Panjaitan. Meski begitu, harga saham tetap sempoyongan dan tak pernah mencapai Rp300 per lembar seperti harga penutupan tahun 2017, atau melebihi angka tertinggi yang sempat mencapai Rp336 pada 15 Februari 2018 (Kuartal I).

Infografik HL Indepth Garuda Indonesia

Khawatir Bernasib Seperti Merpati

Meski ancaman mogok memang belum terealisasi sampai Lebaran selesai, tetapi bukan berarti kegelisahan pekerja dan pilot terhadap kondisi Garuda sudah sirna. Saat ini, serikat pekerja masih khawatir perusahaan pelat merah tersebut akan bernasib seperti Merpati.

Merpati merupakan perusahaan penerbangan pertama yang dimiliki Indonesia. Perusahaan ini sempat berjaya sebagai maskapai perintis sebelum akhirnya bangkrut karena terlilit utang. Merpati resmi menjadi perusahaan berbadan hukum pada 6 September 1975. Pada 1978, penguasaan modal negara di Merpati dipindahkan ke Garuda. Otomatis, Merpati menjadi anak perusahaan Garuda.

Pada 1998, Merpati dipisah dari Garuda dan menjadi perusahaan mandiri di bawah Kementerian Perhubungan. Sampai 2013, Merpati masih memiliki 17 pesawat. Akhir tahun 2013, dua pesawat ditarik leasing karena tidak mampu membayar cicilan. Merpati pun akhirnya bangkrut dengan mengantongi utang sebesar Rp7,29 triliun.

Akhir hidup Merpati ini yang dikhawatirkan serikat karyawan dan pilot terjadi pada Garuda. Pada Januari–September 2017, Garuda masih merugi hingga Rp3,7 triliun.

“Ini yang kami khawatirkan, kalau kinerjanya seperti itu terus, negara juga akan rugi, karyawan juga terancam,” kata Irfan.

Selain kerugian Garuda pada 2017, yang membikin Serikat resah adalah kinerja operasional yang makin buruk. Ini terlihat dari pelayanan Garuda yang makin tidak menunjukkan diri sebagai five star airlines.

“Dulu kami merugi tapi masih dicintai oleh konsumen karena pelayanan masih bagus. Sekarang operasionalnya porak-poranda,” tegas Irfan.

Catatan Serikat: ada cost cutting yang dilakukan manajemen untuk mengurangi beban kerugian. Namun, langkah penghematan ini justru merugikan konsumen.

Misalnya, ujar Irfan, dulu Garuda memiliki premium hall collect baggage di setiap bandara. Layanan ini ada di hall kedatangan tempat member Platinum dan Bisnis tinggal duduk santai, sementara bagasi mereka akan diantar. Pelayanan seperti ini tinggal ada di dua bandara, yakni Cengkareng dan Bali.

Selain itu, kata Irfan, pelayanan penerbangan biasa turut memprihatinkan. Dulu penumpang diberi hot meal, tetapi sekarang hanya diberi snack dalam boks. Bahkan ia pernah menemukan kotak snack dibagikan di gerbang keberangkatan. Menurutnya, pelayanan ini menjadi tidak jauh berbeda dari maskapai penerbangan lain.

“Ini dampaknya karena pakai minimum kru. Jangan samakan dong Garuda sama Batik. Ini, kan, five star, pelayanan juga harus five star,” katanya.

“Apa yang bisa kami banggakan lagi?” ujar Irfan.

Tomy Tampatty, Sekretaris Umum Sekretariat Bersama Serikat Karyawan dan Asosiasi Pilot Garuda, mengatakan mereka tengah bernegosiasi dengan Menteri Luhut Panjaitan dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Mereka sudah bertemu dan menyerahkan rekomendasi pembenahan internal Garuda.

Meski demikian, ia memastikan bahwa rekomendasi itu harus direspons sampai hari Jumat ini, 29 Juni 2018. Jika tidak, mereka sepakat akan melakukan aksi mogok kerja pada pertengahan Juli.

“Nanti akan kami beritahu tanggal pastinya,” ujarnya mengenai aksi mogok tersebut.

Bantahan Manajemen Garuda

Isu cost cutting dibantah oleh manajemen Garuda. Humas Garuda Ikhsan Rosan menjelaskan hilangnya fasilitas lounge di ruang kedatangan Garuda bukan karena upaya penghematan perusahaan. Menurutnya, penghilangan fasilitas itu karena sekarang bandara banyak berubah dan lebih nyaman untuk penumpang.

“Dulu untuk mengambil bagasi penumpang harus menunggu lama. Karena itu kami sediakan tempat dan minum untuk penumpang bisnis dan platinum, mereka tinggal menunggu dan barang diambilkan. Sekarang orang belum sampai bandara, bagasi sudah sampai duluan,” kata Ikhsan kepada Tirto, Kamis, 28 Juni 2018.

Meski demikian, tak semua layanan itu hilang di semua bandara. Saat ini layanan itu masih ada di bandara Soekarno-Hatta (Cengkareng), Ngurah Rai (Denpasar), dan Kualanamu (Deli Serdang).

“Menyesuaikan dengan bandara. Kami tidak mungkin menghilangkan begitu saja. Kan, kami penerbangan bintang lima," ujarnya. "Kalau pelayanan hilang, nanti penumpang lari ke yang lain."

Soal pembagian box snack sebelum masuk ke dalam pesawat, Ikhsan mengatakan hal itu biasanya jika ada kondisi tertentu. Terkadang memang ada kru yang sakit sehingga harus ada penyesuaian.

“Itu kasuistik saja. Mungkin ada kondisi yang memang tidak bisa dilayani seperti seharusnya. Kami tetap memberikan hot meal dan hot drink untuk penerbangan yang jauh,” katanya.

Baca juga artikel terkait GARUDA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo & Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam