Menuju konten utama

Upaya Merestorasi Klan Romanov yang Digilas Proletar Seabad Lalu

Banyak yang mencoba mengembalikan kejayaan Romanov yang digilas revolusi seabab lalu. Baru-baru ini mereka kembali menunjukkan diri lewat pernikahan mewah.

Upaya Merestorasi Klan Romanov yang Digilas Proletar Seabad Lalu
Ilustrasi royal wedding George Mikhailovich Romanov dan Rebecca Bettarini. tirto.id/fuad

tirto.id - Keturunan Keluarga Romanov, aristokrat penguasa Rusia yang bertekuk lutut di hadapan revolusi proletariat pada 1917, kembali menyelenggarakan royal wedding setelah satu abad lebih. Pada 1 Oktober kemarin, George Mikhailovich Romanov (40) menikahi seorang penulis Italia dari keluarga diplomat, Rebecca Bettarini (39), di Katedral Saint Isaac. Perayaan serupa terakhir kali berlangsung pada 1894 antara penguasa terakhir Kekaisaran Rusia Nicholas II dengan cucu kesayangan Ratu Victoria dari Inggris, Alexandra Feodorovna.

Upacara berlangsung selama dua jam. Kedua pengantin diberkati oleh pejabat tinggi Gereja Ortodoks, Metropolitan Varsonofy. Tamu undangan diperkirakan mencapai 1.500 orang, termasuk sekitar 50 bangsawan dari Eropa Barat. Mereka di antaranya Ratu Sofía dari Spanyol, Pangeran Rudolph dan Putri Tılsım Tanberk dari Liechtenstein, dan raja terakhir Bulgaria Simeon II.

Layaknya perhelatan khas putra-putri kerajaan, pernikahan ini bertabur kemewahan: cincin pernikahan buatan Fabergé, tiara dari Chaumet, gaun pengantin oleh desainer Reem Acra (perancang busana Beyoncé, Madonna, Angelina Jolie, Melania Trump), sampai perjamuan elegan yang dirancang oleh Yevgeny Prigozhin, pengusaha restoran dan industri katering di balik kesuksesan acara jamuan makan malam Presiden Putin dan tamu-tamu internasionalnya selama ini.

Pernikahan diselenggarakan di kota tua Saint Petersburg. Kepada media Rusia Fontanka, sang mempelai laki-laki menjelaskan bahwa St. Petersburg dipilih karena itu adalah bagian dari “sejarah Rusia” sekaligus “sejarah Klan Romanov.” St. Petersburg adalah ibu kota Kekaisaran Rusia selama 200 tahun sebelum monarki runtuh dan digantikan Uni Soviet yang memindahkan pusat pemerintahan ke Moskow. Selain itu, ini adalah kota pertama di Rusia yang Mikhailovich dan keluarganya kunjungi setelah kejatuhan Uni Soviet pada 1991.

Mikhailovich lahir di Spanyol dan besar di Prancis. Ia menempuh pendidikan di Oxford, Inggris, dan sempat bekerja untuk Parlemen Eropa di Brussels, Belgia. Meski lahir dan besar tidak di Rusia, dia mengaku tetap punya ikatan yang kuat dengan negara ini. “Bahasa pertama saya adalah Rusia,” katanya. “Kakek-nenek saya membesarkan saya dengan sejarah, budaya, dan puisi Rusia. Itu selalu berada di jiwa saya,” tambahnya.

Ibu Mikhailovich bernama Maria Vladimirovna (67). Ia adalah cucu Kirill Vladimirovich, sepupu pertama dari Nicholas II, penguasa terakhir Kekaisaran Rusia. Atas dasar hubungan darah itu Mikhailovich mengklaim sebagai pemimpin sah dari Keluarga Romanov saat ini dan karenanya Mikhailovich juga merasa sebagai putra mahkota.

Meski Nicholas II tewas dibantai bersama anak-istrinya oleh Bolsheviks pada 1918, segelintir anggota Romanov yang lain berhasil menyelamatkan diri dan beranak pinak. Kirill Vladimirovich sendiri berhasil kabur ke Finlandia sebelum akhirnya menetap di Eropa Barat.

Keturunan lain di antaranya Andrew Andreevich (98) dan Nikolai Kirillovich (69) atau dikenal sebagai Karl Emich dari Leiningen. Mereka juga mengaku berhak menjadi kepala keluarga sebab berasal dari garis keturunan raja-raja yang sama. Hanya saja, sengotot apa pun saling berebut status penerus kerajaan, institusi yang mereka banggakan tak lagi eksis di mata hukum negara Rusia modern.

Presiden Vladimir Putin bahkan dikabarkan tidak berminat mengucapkan selamat. Disampaikan juru bicara Putin, Dmitry Peskov, “pernikahan ini tidak ada urusannya dalam agenda kami.”

Usaha-Usaha Merestorasi Monarki

Meski Kremlin terkesan tidak acuh, acara ini tetap penting bagi Romanov. Valerie Hopkins menulis di The New York Times bahwa pernikahan ini “merepresentasikan puncak dari usaha-usaha [keturunan Romanov] untuk membangun diri mereka dalam kehidupan publik negara sejak kejatuhan komunisme 30 tahun silam, dan mungkin untuk mengembalikan kesan tentang kejayaan kerajaan ke Rusia.”

Selama rezim Soviet berkuasa, dinasti Romanov adalah kambing hitam atas segala karut-marut situasi sosio-ekonomi. Akan tetapi, tak lama setelah Soviet runtuh, mulai terdengar gemuruh yang mengglorifikasi kembali sistem monarki. Hal ini terutama disokong oleh orang-orang di lingkaran Gereja Ortodoks, institusi yang dipersekusi rezim Soviet.

Usaha untuk merestorasi Kekaisaran Romanov pernah berlangsung di Lapangan Merah Moskow pada Oktober 1994. Pertemuan yang diselenggarakan oleh Majelis Monarkis Seluruh Rusia ini dihadiri oleh 1.000 peserta, mulai dari kalangan nasionalis Kristen Ortodoks sampai barisan bangsawan yang mengaku sebagai keturunan langsung Keluarga Romanov. LA Times melukiskan kegiatan ini layaknya konvensi politik sekaligus pesta kostum: laki-laki berpakaian elegan dengan dasi kupu-kupu, perempuan dengan riasan wajah tebal, kalangan neofasis membalut diri dengan jaket kulit hitam, sampai bapak-bapak berkostum ala Tentara Putih.

Salah satu hadirin dan orator adalah Dmitri Dmitriyevich Vasilyev, yang menyerukan bahwa monarki harus diterapkan lagi untuk melindungi Rusia dari “intervensi Zionis-Masonik” dunia Barat yang jahat. Kaum Yahudi memang kerap disangkutpautkan dengan kejatuhan Dinasti Romanov. Konspirasi yang menuding umat Yahudi di balik pembunuhan Nicholas II bahkan sudah jadi topik bahasan sejak awal abad ke-20 di kalangan diaspora Romanov di Eropa.

Tahun 2000, para petinggi Gereja Ortodoks di Moskow mengangkat Nicholas II, istrinya Alexandra, dan lima anak mereka sebagai figur yang disucikan. Kanonisasi ini didasari atas “kerendahan hati, kesabaran dan kelembutan” mereka dalam menerima kematian di ujung bedil tentara Bolshevik. Upacara dilakukan bersama dengan kanonisasi terhadap 860 pendeta dan biarawan yang dibantai Bolsheviks.

Meskipun alasan kanonisasi Nicholas II sekeluarga terkesan mengada-ada, pengangkatan tersebut menggambarkan betapa kuatnya faksi-faksi nasionalis dan promonarki di kalangan Gereja Ortodoks.

Semenjak Putin berkuasa pada 2000, popularitas Gereja Ortodoks Rusia semakin meroket. Hal ini disebabkan oleh sikap sang presiden yang terang-terangan menunjukkan sisi religiusnya—meski bukan berarti Putin ikut mendambakan kehadiran keturunan Romanov di panggung politik Rusia hari ini. Bersamaan dengan itu, dikutip dari Radio Free Europe, mulai bermunculan organisasi-organisasi promonarki dan ratusan film serta buku tentang monarki.

Pandangan yang mendukung monarki juga datang dari kalangan politikus, seperti Boris Nemtsov (Union of Rightist Forces), Vladimir Zhirinovsky (Liberal Democratic Party of Russia), sampai Gubernur St. Petersburg Valentina Matvienko.

Pada 2008, Mahkamah Agung Rusia mengeluarkan putusan untuk merehabilitasi atau memulihkan nama baik Nicholas II dan keluarganya. Romanov resmi dinyatakan sebagai korban represi Soviet meski di era merekalah-lah jutaan orang mati karena peperangan, kelaparan, bahkan ketika memprotes itu justru dibantai—dikenal sebagai tragedi Minggu Berdarah.

Dari Diskusi Akademik sampai Partai

Ingar bingar upaya merestorasi monarki masih terdengar dalam 10 tahun terakhir, bahkan ada yang dibingkai dalam format diskusi akademik. Pada 2011 silam, think tank Carnegie Endowment for International Peace cabang Moskow menyelenggarakan acara bincang-bincang dengan Vladimir Karpets dari Sekolah Tinggi Ekonomi dan Andrey Zubov dari Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow dan Universitas Ortodoks Rusia St. John.

Zubov menilai bahwa perpecahan masyarakat Rusia sekarang merupakan warisan dari revolusi dan rezim komunis. Sementara Karpets menganggap revolusi sudah merusak keberlanjutan institusi legal negara, padahal solidaritas sosial dan stabilitas hanya bisa tercapai apabila tradisi-tradisi nasional diteruskan. Maka dari itulah baik Zubov dan Karpets menekankan pentingnya restorasi monarki untuk membawa Rusia menuju “kesejahteraan dan pertumbuhan.”

Kebangkitan monarki Rusia juga berusaha diwujudkan oleh Partai Monarki Rusia. Partai yang didirikan pada 2012 oleh politikus-pebisnis Anton Bakov ini menjadi satu-satunya partai—dan pertama sejak 1917—yang hendak mengalihkan kekuasaan secara damai kepada Romanov.

Di situs web resmi Romanov, terlampir pengumuman bahwa Bakov sudah menggelontorkan dana sampai 6 juta dolar atau sekitar Rp85 miliar untuk membangun Kerajaan Romanov di Afrika. Pada penghujung 2017, Bakov meresmikan kerja sama dengan pemerintah Gambia untuk menciptakan pulau buatan sebagai pusat pemerintahan Romanov. Bakov mengangkat dirinya sendiri sebagai perdana menteri, sementara rajanya adalah Karl Emich dari Leiningen, keturunan Romanov yang diberikan gelar oleh Partai Monarki sebagai Nicholas III.

Selain golongan elite berduit, ada pula kelompok kecil lain yang meyakini Rusia harus dipimpin oleh monarki. Melansir Reuters, grup ini bernama Union of Orthodox Banner Bearers. Anggotanya terdiri dari nasionalis Ortodoks yang menyebarluaskan pandangan mereka melalui demonstrasi, upacara atau prosesi keagamaan, sampai pembakaran buku-buku.

“Kami ingin restorasi monarki otokratis seperti yang dulu pernah berjalan di bawah kaisar-kaisar kita,” ujar pemimpin grup, Leonid Simonovich-Nikshich. Pria berjenggot putih ini yakin bahwa restorasi monarki hanya bisa dilakukan lewat gereja. “Tidak mungkin dilakukan lewat cara politik sekuler karena itu bakal berujung jadi diktator.”

Namun demikian, kelompok yang punya slogan “ortodoksi atau kematian” jelas tidak memiliki daya tawar politik. Mereka tidak punya preferensi jelas terhadap partai politik yang mapan di parlemen, di samping tidak memiliki gambaran bagaimana monarki bisa terwujud—bahkan beberapa mengaku hanya terpikir untuk berdoa.

Infografik Royal Wedding Dinasti Romanov

Infografik Royal Wedding Dinasti Romanov. tirto.id/Quita

Selalu Ada Pendukung Monarki

Hasil survei menunjukkan selalu saja ada sejumlah warga yang mendambakan kembalinya sistem monarki. Melansir France24, pada 2017 All-Russia Center for the Study of Public Opinion (VTsIOM) mengungkap 28 persen responden setuju untuk merestorasi monarki. Angkanya meningkat dari 22 persen pada 2006.

Menariknya, minat terhadap monarki tergolong cukup besar di kalangan anak muda, persisnya mereka yang berusia 18-34 tahun. Menurut sosiolog Stepan Lvov, anak muda Rusia cenderung meromantisasi monarki sebagai sistem pemerintahan alternatif yang menawarkan “keteraturan dan kemampuan untuk bisa diprediksi,” khususnya saat situasi dunia sedang tidak stabil.

Namun demikian, Lvov menegaskan bahwa berbagai gerakan atau seruan untuk merestorasi monarki di Rusia tetaplah “tidak populer dan mustahil.”

Terlepas dari itu, usaha untuk merayakan atau mempopulerkan budaya monarki tampaknya akan tetap ada, seperti ditunjukkan melalui pernikahan mewah Mikhailovich di kota kerajaan masa lalu.

Faktanya memang acara-cara seperti ini penting bagi mereka. Ahli sejarah Russell Martin—yang juga penasihat acara pernikahan George Romanov—dalam buku The Tsar's Happy Occasion: Ritual and Dynasty in the Weddings of Russia's Rulers, 1495–1745 (2021), mengatakan pernikahan anggota kerajaan berikut segala tetek bengeknya merupakan cara untuk mengukuhkan klaim terhadap takhta kekuasaan trah Romanov.

Barangkali memang sulit membayangkan Rusia kembali ke sistem monarki dan Keluarga Romanov kembali menjadi penguasa sebab itu artinya perubahan besar-besaran dan fundamental. Tapi, bagaimana jika Mikhailovich sekadar menjadi orang berpengaruh setelah berbagai usaha restorasi dilakukan bertahun-tahun?

Filsuf nasionalis Alexander Dugin, salah satu tamu undangan sekaligus teman Mikhailovich, menjawab, “kecil kemungkinannya George Romanov bakal memainkan peran politik di masa depan Rusia. Tapi, siapa tahu?”

Baca juga artikel terkait ROYAL WEDDING atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino