Menuju konten utama

Upaya Mengatasi Mangkirnya Pasien Kanker Rutin Berobat - Selesai

Bersama patient navigator membantu pasien mendapatkan informasi, edukasi, sekaligus sahabat selama pengobatan.

Upaya Mengatasi Mangkirnya Pasien Kanker Rutin Berobat - Selesai
Patient navigator saat mendampingi pasien kanker di Instalasi Pelayanan Terpadu Onkologi Radiasi (IPTOR) Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta . FOTO/Yuniarti Tanjung

tirto.id -

Proses panjang pengobatan kanker membuat beberapa pasien menyerah. Bukan hanya terkait finansial, faktor-faktor kecil, seperti tidak adanya biaya transportasi, dapat membuat pasien memutuskan untuk berhenti melakukan pengobatan.

Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat risiko yang akan ditanggung pasien bila tidak dapat mengakses pengobatan dan terapi yang diperlukan.

Patient navigator menjadi titik cerah bagi para pasien kanker yang membutuhkan tidak hanya informasi yang tepat, namun juga dukungan untuk tetap semangat dalam proses pengobatan yang panjang.

Patient navigator merupakan program baru di Indonesia. Namun, di beberapa negara lain, program ini sudah sejak lama diadakan.

Booklet Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), What are patient navigators and how can they improve integration of care? menyebutkan, program ini sudah dijalankan di Amerika Serika (AS), beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman, Austria serta negara Kanada dan Australia. Pasien yang dinavigasi bukan hanya pasien kanker, melainkan juga pasien penyakit kronis lainnya.

Namun, cikal bakal Program Patient Navigator ini memang terkait penyakit kanker. Bermula dari deklarasi perang melawan kanker yang dicanangkan Presiden Richard Nixon pada tahun 1971.

Sebagai komitmennya, ia menandatangi National Cancer Act yang membawa kemajuan luar biasa ke arah pemahaman yang lebih mendalam tentang ilmu dan terapi kanker serta peningkatan tindakan pencegahan, skrining, deteksi kanker serta penerapan perawatan kanker yang lebih efektif dan lebih bertarget di AS.

Sayangnya, bila kanker ini menimpa bagi warga AS yang tergolong miskin, tidak memiliki asuransi atau asuransinya hanya pertanggungan minimal, ternyata mereka seolah-olah tidak tersentuh oleh kebijakan medis tersebut. Mereka akhirnya memiliki tingkat kematian lebih tinggi dan survival rate atau kelangsungan bertahan hidup dengan kanker hingga 5 tahun itu lebih rendah.

Kesenjangan kesehatan ini muncul dari interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Kemiskinan misalnya membuat mereka berada dalam kondisi hidup di bawah standar, tidak mendapat dukungan sosial yang memadai, memiliki gaya hidup yang berisiko lebih tinggi terkena kanker, dan berkurangnya akses ke perawatan kesehatan untuk pengobatan kanker.

Akhirnya di tahun 1989 dilakukan hearing atau dengar pendapat di 7 kota di Amerika. Hearing ini mendengarkan suara masyarakat AS yang tergolong miskin dari semua ras dan kelompok etnis yang telah didiagnosis menderita kanker. Berdasarkan dengar pendapar tersebut, American Cancer Society mengeluarkan Report to the Nation on Cancer in the Poor (1989).

Terkait dengan temuan ini, program navigasi pasien pertama pun digagas dan dimulai pada tahun 1990 di Harlem, New York, oleh Dr. Harold Freeman. Dari studi Harlem memperlihatkan hambatan yang sering terjadi dalam perawatan kanker tepat waktu adalah hambatan keuangan, seperti tidak adanya asuransi kesehatan, hambatan komunikasi dan informasi, hambatan sistem medis, ketakutan, ketidakpercayaan, dan hambatan emosional.

Untuk mengatasi hambatan itu diluncurkan penyediaan pemeriksaan/mammografi gratis dan murah sesuai dengan pedoman yang direkomendasikan. Selain itu dibuat program patient navigator untuk memastikan semua pasien menerima diagnosis dan pengobatan tepat waktu. Ternyata program tersebut memberikan hasil signifikan.

Patient Navigator 2

Patient Navigator 2. Foto/Yuniarti Tanjung

Jumlah pasien kanker yang berobat dengan stadium lanjut berkurang jauh, dan tingkat survival rate pun lebih tinggi. Berdasarkan model navigasi pasien di Harlem itu The Patient Navigator and Chronic Disease Prevention Act atau Undang-Undang Navigator Pasien dan Pencegahan Penyakit Kronis disahkan oleh Kongres dan ditandatangani oleh Presiden Bush pada tahun 2005.

Program Patient Navigator berasal dari AS ini sebagian besar berfokus pada perawatan kanker, tetapi kini dimanfaatkan juga untuk mendukung perawatan terkoordinasi yang lebih baik bagi pasien dengan berbagai kondisi kronis.

Program ini juga telah berguna untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan sosial bagi kelompok rentan dan kelompok yang kurang beruntung.

Di Jerman dan Austria menunjukkan program patient navigator tak hanya membantu pasien untuk mengatasi hambatan untuk perawatan, ternyata juga meningkatkan pencegahan dan promosi kesehatan di masyarakat.

Jalan Panjang Pasien Kanker

Restu, sebut demikian nama seorang pasien kanker payudara asal Garut. Ibu dua anak ini nyaris tidak tuntas pengobatannya, karena kurangnya pemahaman medis tentang kanker. Ia dan keluarganya mengira pengobatan kanker sudah selesai setelah dioperasi dan kemoterapi.

“Luka kanker payudara yang berair sudah kering setelah dikemoterapi dan operasi. Berarti saya sudah sehat atuh. Bingung ini disuruh radiasi. Buat apa? Siyeun geuring deui.. (takut sakit lagi),” katanya khawatir dalam bahasa Sunda. Ini lantaran sewaktu kemoterapi, ia sempat beberapa rawat inap di rumah sakit.

“Ini radiasi juga katanya harus tiap hari ke rumah sakit, kumaha ongkosnya. Rumah bibi saya, tempat menumpang tinggal di Bekasi, itu jauh dari stasiun,” ujarnya mengungkapkan keraguan dan kebingungan untuk melanjutkan pengobatan kanker.

Masalah finansial dan akomodasi selama pengobatan memang menjadi kendala paling sering untuk pengobatan kanker yang butuh waktu cukup panjang dan kontinuitas, seperti radioterapi. Apalagi, jika pemahaman medis dan kesadaran untuk pengobatan kanker hingga tuntas masih minim.

Radioterapi, dr. Angela Giselvania menjelaskan, merupakan salah satu rangkaian penting bagi pasien dengan kanker maupun tumor jinak. Radioterapi atau terapi radiasi menggunakan alat medis yang memakai radias pengion dengan energi tinggi untuk mengobati pasien yang umumnya mengalami pertumbuhan sel abnormal tidak terkendali dan ganas atau kanker.

Para pasien, lanjut dokter yang kerap dipanggil dr. Gisel ini akan mendapatkan terapi radiasi antara 20 – 35 kali tergantung kasusnya masing-masing. Terapi radiasi dilakukan tiap hari, kecuali hari Sabtu dan Minggu atau hari libur nasional. Untuk mencapai hasil maksimal, beberapa pasien ada pula yang menjalankan kemoradiasi, yakni terapi radiasi dikombinasikan dengan kemoterapi.

Sebelum menjalankan terapi radiasi, dr. Gisel menerangkan, pasien ada yang perlu menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, pelengkap imaging atau pencitraan (MRI, CT Scan atau USG). Bila kondisi pasien terlihat lemah dan mengalami penurunan berat badan signifikan, ia pun perlu dikonsultasikan kepada ahli gizi.

Ada juga pasien yang dikonsultasikan dulu ke poli gigi untuk menambal gigi yang berlubang atau mencabut gigi yang rusak. Bila semua pemeriksaan lengkap dan kondisi umum pasien baik, barulah proses radioterapi dimulai. Untuk itu pasien wajib melakukan swab PCR/antigen untuk memastikan bebas dari COVID-19, sehingga tidak menginfeksi pasien atau tenaga medis lain.

Selanjutnya pasien melakukan simulator dan CT simulator atau awam mengenalnya ‘bagian tubuh digambar’ atau diberi tanda area untuk radiasi. Baru sekitar seminggu atau dua minggu kemudian terapi radiasi dimulai.

“Semua rangkaian ini cukup panjang dan tak jarang dirasa melelahkan. Karena membuat pasien kanker itu harus bolak balik ke rumah sakit. Itu sebabnya ada pasien yang akhirnya mundur dari terapi atau putus di tengah pengobatan, terutama jika sudah merasa sehat dengan operasi dan kemoterapi yang dijalani sebelumnya. Padahal, radiasi atau kemoradiasi yang dilakukan secara kontinyu ini penting untuk memastikan anak sebar kanker itu mati, sehingga kekambuhan kanker tidak terjadi,” ujarnya, menyayangkan.

Dokter Gisel mengungkapkan, pernah suatu hari dari 200-an pasien yang terdaftar menjalani radioterapi dalam sehari itu ada yang mangkir hingga 30-an orang.

“Kendala tidak datang terapi bisa bermacam-macam. Bila karena kondisi umum pasien kurang sehat atau dia terinfeksi COVID, kami bisa memaklumi. Tapi, jika ternyata hambatannya karena soal finansial terkait biaya transportasi dan akomodasi, kurangnya dukungan keluarga, seperti tidak ada yang mengantar, tidak ada yang menjaga anak, atau tidak menganggap radioterapi penting untuk pengobatan kanker.

"Itu yang terkadang membuat kami sebagai tenaga medis yang menanganinya merasa sedih. Kami ingin pasien kami mendapatkan pengobatan tuntas, berkualitas dan tepat waktu agar bisa sehat kembali,” ujarnya.

Bagi dokter Gisel, keberadaan patient navigator diharapkan dapat membantu mengatasi berbagai kendala semacam itu. Pendekatan oleh para patient navigator, terlebih yang merupakan para penyintas kanker, diharapkan memberikan dukungan emosi, psikologi, serta edukasi dan informasi untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

“Anjuran dokter atau perawat terkadang diabaikan oleh pasien dan keluarganya, karena dianggap tidak mengalami sakit dan derita yang dia rasakan. Nah, berbeda jika saran atau informasi dari patient navigator yang memang sudah mengalami hidup dengan kanker. Perkataan atau anjuran mereka bisa ‘membujuk’ pasien untuk semangat jalani pengobatan,” ujarnya.

Prof. Dr. dr Soehartati A. Gondhowiardjo, Sp.Rad (K) Onk.Rad yang sudah puluhan tahun menangani pasien kanker berharap, “Informasi dan edukasi dari patient navigator ini dapat menjadi snow ball bagi pasien kanker itu untuk membaginya kepada pasien lainnya, sehingga pengobatan kanker yang tepat waktu dan tuntas tercapai."

"Ini pada akhirnya pun mengurangi beban pembiayaan negara untuk kesehatan. Karena membuat menurunnya kesakitan pasien, menurunnya angka kekambuhan dan pasien memiliki survival rate lebih tinggi.”

Infografik Patient Navigator

Infografik Patient Navigator. tirto.id/Fuad

Restu adalah salah seorang pasien kanker yang sempat ‘kabur’ dari pengobatan hingga sebulan lebih. Dokter Gisel mengungkapkan di IPTOR RSCM sebetulnya sudah punya sistem untuk mengingatkan pasien untuk pengobatannya. Tapi, jika harus membujuk satu persatu, memang, cukup sulit.

Karena IPTOR sebagai bagian dari RSCM yang merupakan rumah sakit rujukan nasional itu menerima pasien dari seluruh penjuru nusantara dengan berbagai jenis kanker. Tenaga dan waktu tim medis dan admisi terbatas untuk berkomunikasi panjang lebar. Di sini butuh bantuan komunikasi dan empati dari patient navigator untuk menjembatani kendala yang dirasakan pasien.

Untuk kasus Restu yang khawatir dengan efek samping radioterapi, Sri membujuk dengan membeberkan pengalaman dan penyintas kanker payudara lainnya sewaktu radioterapi. Efek samping radioterapi itu tidak seberat sewaktu kemoterapi bagi pasien kanker payudara.

“Memang tetap ada efek samping, seperti kulit di area radiasi terasa gatal, mengering dan menghitam. Tubuh pun terasa lelah. Tapi itu hanya sementara, dan ada obatnya. Jadi, jangan khawatir.”

Untuk masalah biaya transportasi dan akomodasi bolak balik ke rumah sakit, seperti dialami Restu pun ada solusinya. Kedua biaya itu memang paling dikeluhkan pasien kanker. Beban biaya tersebut tetap dirasakan berat, meski pembiayaan pengobatan kanker hampir semuanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Sebagai solusi, ada beberapa rumah singgah yang letakya tidak berjauhan di RSCM.

“Seperti Rumah Singgah Kawi-kawi yang dimiliki oleh IPTOR RSCM dan Rumah Singgah CISC Pramuka yang dikelola CISC bisa menjadi tempat tinggal selama terapi dengan tanpa biaya alias gratis. Jika penuh, masih ada beberapa pilihan rumah singgah lainnya,” ujar Sri, yang membantu pasien hingga prosedur dan syarat masuk rumah singgah.

Mitos seputar makanan, termasuk ramuan herbal, juga banyak membingungkan penderita kanker. Begitu terkena kanker, Bulan bercerita, banyak pasien kanker mengaku menjadi takut makan karena khawatir memicu kankernya berkembang. Ada juga yang dilarang konsumsi makanan tertentu oleh kerabat atau tetangganya, seperti makan yang manis dan daging mereka. Bulan pun pernah mengalami ini.

Belakangan dari pengetahuan yang didapat melalui berbagi pengalaman di WA grup kanker, mengikuti seminar dan pelatihan tentang kanker itu ternyata mitos. Tak ada pantangan makanan bagi pasien kanker, apalagi di masa pengobatan. Makanan justru menjadi energi untuk kuat dan sehat selama pengobatan.

Hanya pasien kanker sebaiknya tidak mengonsumsi makanan yang diolah dengan cara dibakar atau memakai tambahan penguat rasa, pemanis buatan, pengawet dan pewarna buatan. Pengetahuan ini ia bagikan sewaktu menavigasi pasien. Terkadang Bulan membagi resep atau cara mengolah makanan yang praktis dan sehat agar pasien dan keluarganya.

Kerja patient navigator pun layaknya perpanjangan pusat informasi rumah sakit. Informasi ini beragam. Dari informasi posisi laboratorium, apotik, pilihan kantin, pilihan transportasi ke rumah sakit hingga mengajarkan pasien untuk melakukan perjanjian online.

Malah ada yang harus diajarkan secara step by step, mengingat pasien atau keluarganya tidak memahami teknologi online. Ini mulai dari menyiapkan e-mail, download aplikasi rumah sakit di playstore hingga pengisian data.

Pekerjaan yang mungkin receh, tapi sangat berarti bagi para pasien dalam pengobatan. Bagi Sri dan Bulan, merupakan kebahagiaan bagi mereka jika berhasil membantu pasien mengatasi kesulitan-kesulitannya selama masa panjang pengobatan kanker.

Baca juga artikel terkait OBAT KANKER atau tulisan lainnya dari Yuniarti Tanjung

tirto.id - Mild report
Kontributor: Yuniarti Tanjung
Penulis: Yuniarti Tanjung
Editor: Lilin Rosa Santi