Menuju konten utama

Upaya Facebook Membaca Pikiran Manusia

Siap-siap, sebentar lagi tangan Anda akan beristirahat dari pekerjaannya paling mulia: menulis, atau mengetik di atas layar sentuh ponsel atau tuts-tuts papan ketik.

Upaya Facebook Membaca Pikiran Manusia
Ilustrasi. Usaha Facebook menghapus revenge porn. Foto/Bloomberg via Getty Images/David Paul Morris

tirto.id - Rabu, 19 April kemarin, warga DKI Jakarta, ibukota Indonesia, sedang melaksanakan pemilu gubernur dan wakil gubernurnya yang sudah masuk putaran kedua. Sebelumnya, pemilu yang dianggap sebagai perseteruan politik paling sengit setelah pemilu presiden 2014 ini, dihiasi kampanye-kampanye isu agama. Media di Indonesia setiap hari memberitakannya. Maka tak heran, debat kusir tentang layak atau tidak memilih pemimpin daerah yang beda agama tak hanya hadir di Jakarta, tapi juga di seluruh Indonesia.

Saat banyak pemilik akun media sosial sibuk menyatakan ekspresi kebahagiaan, kekecewaan, dan sindiran, Facebook sedang menggelar konferensi yang membahas teknologi di masa depan manusia. Konferensi itu bertajuk F8, dan adalah kali kedua acara tahunan tersebut digelar. Di sana, Marck Zuckerberg, sang pendiri, memaparkan dobrakan apa saja yang segera diluncurkan perusahaannya. Mulai dari bagaimana Facebook akan terus mengadaptasi SnapChat ke dalam jaringannya sendiri, Messenger yang akan dibuat lebih mirip WeChat, hingga bahasa-bahasa pemasaran lainnya yang ia gunakan untuk menjelaskan bagaimana Facebook akan terus meraup pundi-pundi uang.

Namun, ada satu hal paling menarik yang sedang serius digarap Facebook, yaitu: teknologi membaca gelombang otak, brain-computer interface (BCI). Atau bahasa lebih kerennya: teknologi membaca pikiran.

Kabar itu langsung datang dari Regina Dugan, Kepala Divisi Building8 Facebook, bagian yang khusus memikirkan inovasi-inovasi yang akan dibuat perusahaan itu. Dalam ceramahnya, Regina mengumumkan bahwa Facebook sedang mengembangkan teknologi baru yang dapat membaca gelombang otak, sehingga manusia tak perlu lagi menatap layar ponselnya untuk mengetik email. “Cukup dengan memikirkannya saja,” kata Dugan.

Upaya ini digarap serius oleh Facebook. Menurut Dugan, perusahaannya telah membentuk sebuah tim berisikan 60 orang, termasuk mesin mesin pembelajar dan ahli saraf buatan untuk menciptakan sebuah sistem khusus. Saat ini bahkan Facebook sedang membuka lowongan pekerjaan sebagai teknisi brain-computer interface dan teknisi neural imaging (teknologi untuk melihat gambaran kerja otak). Tujuannya untuk menciptakan sistem mumpuni yang bisa mengetik 100 kata per menit—lima kali lebih cepat daripada ketikan tangan pada ponsel pintar—langsung dari otak manusia.

“Kedengaran mustahil, tetapi (teknologi) ini sudah lebih dekat dari yang kau bayangkan,” ungkap Dugan seperti dikutip The Guardian.

Selain membutuhkan ahli-ahli saraf dan kerja otak seperti di atas, Facebook juga berencana mengembangkan teknologi sensor non-invasi yang bisa mengukur ratusan kegiatan otak dalan satu detik dengan resolusi yang tinggi, agar dapat membaca sandi yang dikirimkan sinyal otak terkait bahasa yang digunakan pada saat itu. “Tak ada teknologi semacam itu hari ini; kami masih perlu mengembangkannya,” tambah Dugan.

Ia membungai mimpi tersebut dengan kemudahan-kemudahan yang akan dibawanya. Misalnya, seorang wanita yang mengidap ALS, penyakit saraf yang bisa membawa kelumpuhan, tidak lagi kepayahan berkomunikasi karena alat kecil sebesar kacang polong yang bisa membaca pikirannya. Facebook rencananya memang akan mengembangkan alat pembaca pikiran tersebut menjadi ukuran tertentu, yang tak perlu ditanam ke dalam tubuh manusia lewat operasi.

Regina sendiri membayangkan manusia di masa depan—yang tak jauh lagi itu—mengenakan kacamata Virtual Reality dalam sehari-harinya.

Alat tersebut kelak juga bisa menerjemahkan bahasa-bahasa dengan kecepatan super, sehingga orang-orang berbeda bahasa dapat saling bercakap dan mengerti. Di masa depan, kata Dugan, “akan sangat mungkin aku berpikir dalam bahasa Mandarin, dan kalian memahaminya langsung dalam bahasa Spanyol.”

Bahkan, alat tersebut akan punya fitur “mute”, yang akan membungkam suara yang tak ingin kita dengarkan. Teringat salah satu episode Black Mirror? Sinetron thriller dari Netflix yang menceritakan hal-hal seram dari perkembangan teknologi.

Infografik Perubahan Facebook

Debat tentang Hak Privasi

Apa yang sebenarnya mengilhami Facebook mengembangkan teknologi ini?

Dugan membuka ceramahnya dengan mengumbar masalah-masalah yang datang bersama teknologi ponsel pintar. Ia sadar kalau alat itu adalah salah satu temuan paling mengubah hidup manusia, tapi tak mengingkari “konsekuensi tak disengaja” yang turut hadir.

“[Ponsel pintar]pasti membuat kita rugi akan sesuatu. Ia mempermudah kita berkoneksi dengan orang yang jauh dari kita sekaligus menjauhkanorang yang duduk di sebelah kita,” ungkapnya.

Tapi, menurut Dugan, menganggap ponsel pintar sebagai ancaman dan harus menjauhinya adalah pilihan keliru. Meski ketagihan pada ponsel bisa berdampak depresi, kehilangan kawan, sakit di tengkuk leher yang haram disepelekan, dan macam-macam ihwal lain yang mengganggu hajat hidup manusia zaman ini, bagi Regina, orang-orang tetap membutuhkan ponsel pintarnya. Menghindarinya untuk detoks digital? “Itu pilihan keliru. Alat (ponsel pintar) ini penting!”

Dan bagi Regina serta Facebook, teknologi membaca gelombang otak ini adalah salah satu solusi agar manusia berhenti menunduk dan ketagihan menyentuh ponsel pintarnya.

Gambaran dari Dugan cukup jelas: manusia tak lagi terikat dengan ponselnya, melainkan kacamata VR yang bisa membaca pikirannya untuk mempermudah hidup.

Mungkin betul kalau tujuannya mempermudah, tapi apakah itu jalan paling aman?

Tamara Bonaci dan Howard Jay Chizeck dari Universitas Washington, mengungkapkan dalam makalah mereka bahwa teknologi BCI bisa memberi akses pada orang lain untuk mencampuri memori, niat, kesadaran dan tindakan tak sadar seseorang. Dengan kata lain, mengontrol pikiran akan jadi perkara gampang bagi sejumlah orang berkepentingan buruk. Bukan cuma batas privasi yang semakin tak jelas, hidup seseorang bahkan bisa dikontrol dengan teknologi tersebut.

Rela?

Bukan visioner namanya kalau tidak berpikir tentang logika sederhana begini. Dugan sudah punya jawabannya. Ia bilang, Facebook hanya akan fokus pada teknologi yang mengurai kata-kata yang ingin Anda ucapkan. “Ia tak akan menguraikan pikiran-pikiran acak,” kata Regina. “Kita bicara tentang penguraian kata-kata yang sudah diputuskan untuk dibagikan.”

Ia menambahkan, “Kalian bisa mengirim pesan pada seorang teman tanpa perlu mengambil ponsel, atau bisa mengirim surel pendek tanpa harus kehilangan pesta. Tak ada lagi pilihan keliru.”

Tapi ungkapan Dugan masih bisa diperdebatkan. Ketagihan pada ponsel pintar juga bisa terulang pada alat yang kelak diciptakannya, sebut saja kacamata VR. Kemungkinan manusia untuk tidak keluar rumah karena memilih berfantasi dengan VR-nya jauh lebih besar, ketimbang mengikuti pesta. Belum lagi kemungkinan otak manusia dapat dikontrol dengan teknologi serupa.

Menurut Bonaci dan Chizeck, perdebatan tersebut akan meningkat dalam waktu ke depan, sampai teknologi itu benar-benar dipakai manusia. Meski melihat akan ada debat kusir tentang hak privasi dan kemajuan teknologi BCI ini, para peneliti tersebut menunjukkan sikap terbuka pada perkembangan isu tersebut.

Ya, setidaknya debat kusir ini benar-benar mencoba menerawang masa depan manusia dengan teknologi—sesuatu yang belum pernah dilalui manusia-manusia sebelum kita. Bukannya debat kusir tentang politik identitas manusia yang tidak ada habisnya. Padahal, sejarah bilang kalau nenek moyang manusia adalah kaum imigran.

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Teknologi
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani