Menuju konten utama

Upaya E-Book Mengais Popularitas di Indonesia

Buku elektronik (e-book) merupakan salah satu komoditas baru yang muncul seiring perkembangan teknologi di era milenial. Namun, popularitasnya ternyata masih kalah dari buku tradisional. Meskipun lebih praktis, tetapi membaca lewat gawai ternyata tidak menimbulkan sensasi seperti buku biasa.

Upaya E-Book Mengais Popularitas di Indonesia
Ilustrasi belanja e-book. TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Buku adalah sesuatu yang sangat dekat dengan keseharian Agi Ekasaputro. Pegawai pos yang sekarang bertugas di Ambon ini sudah rajin membaca sejak umur 5 tahun. Kecintaan Agi terhadap buku muncul dari kegemarannya membaca dan mengoleksi komik.

“Buku di rumah ada 5 kontainer jumbo ukuran 110 liter. Kalau dihitung mungkin jumlahnya 200an,” paparnya kepada Tirto.id.

Namun, pria yang akrab disapa Ka Agi ini memilih untuk meninggalkan buku-bukunya di rumahnya saat harus merantau ke Ambon. Alasannya sederhana: karena berat dan mahal. Selain itu, ia juga berniat kembali membeli buku sesampainya di Ambon. “Hitung-hitung mulai dari awal lagi,” ucapnya.

Meskipun meninggalkan buku-buku fisik, Ka Agi tetap membawa koleksi buku elektronik (e-book)-nya. Saat Tirto.id menanyakan jumlah e-book yang dimilikinya, ia menyodorkan sebuah screenshot. Ternyata, total e-book yang disimpan mencapai 90.2 gigabit yang terbagi dalam 2.682 files dan 257 folders.

Tirto.id selanjutnya berusaha mengorek asal-usul e-book miliknya tersebut. Saat ditanyakan jumlah e-book yang diperoleh dengan cara membeli, muncul jawaban berikut :

“Kagak ada. Maaf ya, bro. Semua bukuku, misalnya dipukul rata satu buku harganya $100, bisa habis ratusan juta. Aku nggak sekaya itu,” akunya.

Namun, ia mengaku tidak semua buku itu ilegal. Beberapa koleksi e-book miliknya, khususnya dari genre sastra klasik, diunduh secara legal karena masa berlaku hak ciptanya sudah habis.

“Tapi nggak banyak sih. Mungkin cuma 12 buku. Saking banyaknya yang ilegal, aku pilih ingat-ingat yang legal aja hehehe,” seloroh Ka Agi.

Minimnya popularitas e-book

E-book boleh saja menjadi tren baru dalam mengonsumsi karya-karya literasi di dunia. Format ini juga unggul dalam banyak hal, mulai dari sifatnya yang ramah lingkungan karena tak memakai kertas, praktis dibawa, serta relatif lebih tahan lama dibandingkan buku fisik.

Namun, e-book bukannya tanpa kekurangan. Setidaknya ada beberapa hal yang membuat pasar e-book, khususnya di Indonesia, relatif kurang berkembang. Salah satunya adalah kecenderungan konsumen Indonesia yang masih memilih buku fisik dibandingkan e-book.

Hal ini terungkap dari data yang dikumpulkan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Dalam publikasi berjudul “Industri Penerbitan Buku Indonesia: Dalam Data dan Fakta” (2015), terungkap bahwa penjualan e-book di Indonesia baru mencapai 2 persen dari total transaksi di pasar buku lokal.

Di sisi lain, pasar untuk e-book di Indonesia sebenarnya sudah mulai menggeliat. Hal ini nampak dari kemunculan toko buku-toko buku berformat digital seperti Qbaca, Bookmate Indonesia, Wayang Force, Scoop, Aksara Maya, dan Buqu.

Beberapa penerbit di Indonesia pun telah merintis pembentukan toko buku digital mereka, seperti Gramediana (milik penerbit Gramedia), Lumoz (Mizan), UI Press, eRosda (Rosdakarya), IPB Press, Unair Press, dan Penerbit UI. IKAPI mencatat bahwa sekitar 20 persen penerbit di Indonesia sudah beralih ke format e-book.

Banyaknya penerbit yang masuk ke ranah digital tak serta-merta membuat jumlah e-book yang masuk ke pasar buku bertambah. Dari 20 persen penerbit yang masuk format e-book, tercatat baru 5 persen yang sudah menyediakan versi e-book dari judul-judul buku yang diterbitkannya.

Penerbit-penerbit tersebut masih memprioritaskan penjualan buku-buku fisik alih-alih menggenjot jumlah e-book yang dijualnya. Di sisi lain, permintaan dari konsumen buku pun masih minim. Alhasil, masih menurut IKAPI, penjualan e-book di Indonesia baru menyentuh angka 2 persen dari keseluruhan penjualan buku.

INFOGRAFIK HARBOLNAS Nasib si buku Tanpa Kertas

Widya Mahardika Putra, penerjemah lepas dan salah satu pendiri penerbit independen Oak, juga mengaku lebih memilih buku fisik dibandingkan e-book.

“Mungkin karena terbiasa dan pengalamannya berbeda. Tetap lebih enak pegang buku fisik di tangan ketimbang e-book [karena harus memakai gawai],” paparnya kepada Tirto.id.

Sehari-harinya pria yang akrab disapa Widi ini memang bergelut dengan berbagai buku sastra dan bahasa. Ia mengakui bahwa pekerjaannya menuntutnya untuk mencari buku-buku yang tidak bisa ditemukan di Indonesia. Saat itulah e-book hadir sebagai solusi.

Widi menyimpan hingga 202 gigabit e-book dalam komputernya. Itu belum termasuk yang ada di dalam tablet dan gawai Kindle-nya. Kindle adalah gawai khusus untuk membaca e-book yang diproduksi oleh Amazon.

Tidak semua e-book milik Widi berstatus bajakan. Beberapa dibelinya dari Google Books atau Wayang Force. Wayang Force adalah aplikasi asli Indonesia yang menjual beragam e-book, khususnya majalah-majalah atau novel lawas lokal.

“Sebenarnya kalau aplikasinya cukup baik dan cara pembayarannya gampang, enak juga beli e-book. Intinya masalah kenyamanan saja, sih,” papar Widi. “Tapi kalau belanja e-book biasanya memang agak ribet. Misalnya kalau lewat Amazon, selain bayarnya agak susah, pengiriman barangnya juga, karena Amazon nggak jual barang digital keluar Amerika Serikat secara resmi,” imbuhnya.

Awas pembajakan!

Pembajakan adalah salah satu kendala utama yang menggerus pasar e-book dunia. Berdasarkan data dari Ofcom pada 2013, dari 71 juta e-book yang terjual, sekitar 10 persen di antaranya adalah bajakan. Sementara itu, The Guardian mencatat bahwa dua situs pembajak e-book terbesar, library.nu dan ifile.it, sukses meraup keuntungan hingga $10 juta sampai akhirnya ditutup pada 2012 lalu.

Widi dan Ka Agi sama-sama mengaku memperoleh sebagian besar e-book mereka dari situs-situs penyedia e-book bajakan, torrent, atau Piratebay.

“Sekitar 80% e-book kuambil dari almarhum Gigapedia sebelum ditutup pas aturan SOPA [Stop Online Piracy Act] diberlakukan, 10 persen dari Libgen, 9 persen dari torrent, 1 persen dari sumber lain: minta temen, scan buku sendiri, atau dari situs Oapen,” papar Ka Agi.

Sementara itu, Widi mengaku juga memperoleh e-book dari laman berlisensi legal.

“Sebagian besar [e-book] juga bajakan, tapi ada juga yang legal dari Gutenberg Project [laman penyedia buku-buku yang sudah habis masa berlaku hak ciptanya],” ujar Widi.

Berdasarkan pantauan laman Trademarks and Brand Online, peredaran e-book bajakan didominasi oleh hubungan antara file-sharing atau one-click hosting platforms dengan laman-laman yang menghubungkan keduanya dengan konsumen. File yang sudah ditempatkan dalam server dari one-click platform melalui link tertentu yang dipublikasikan oleh para penghubung lewat laman-laman khusus.

E-book sebenarnya sudah cukup populer sebagai salah satu alternatif metode literasi di Indonesia. Namun, sebagai sebuah komoditas bisnis, tampaknya jalan e-book masih cukup terjal.

Baca juga artikel terkait HARBOLNAS atau tulisan lainnya dari Putu Agung Nara Indra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Putu Agung Nara Indra
Penulis: Putu Agung Nara Indra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti