Menuju konten utama
Bisnis Astra

Upaya Astra Mencari Cuan dari Operator Jalan Tol

Pendapatan Astra dari tol pada 2018 tumbuh 20 persen menjadi Rp2,92 triliun dari tahun sebelumnya Rp2,43 triliun.

Upaya Astra Mencari Cuan dari Operator Jalan Tol
Foto udara Jalan Tol Cikopo-Palimanan KM 146 di Majalengka, Jawa Barat, Minggu (19/5/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Saat Michael D. Ruslim menjabat CEO PT Astra Internasional Tbk. periode 2005-2010, ia memutuskan agar Astra berkecimpung di bisnis infrastruktur. Namun, tak semua eksekutif Astra menganggukkan kepala terhadap setiap proposal bisnis yang diajukan.

Dalam buku berjudul Michael D. Ruslim: Lead By Heart (2011:hlm. 96) karya Wiwiek D Santoso, dkk., disebutkan bahwa salah satu bisnis yang diragukan para eksekutif Astra kala itu adalah bisnis air. Alasannya sederhana, Astra tidak punya pengalaman di bidang itu.

Namun, Michael keukeuh untuk masuk ke bisnis tersebut. "Kalau kita tidak mencobanya, bagaimana kita bisa tahu kita bisa atau tidak," kata Michael.

Situasinya kurang lebih sama ketika perusahaan itu mulai masuk ke jalan tol. Astra belum memiliki pengalaman mengoperasikan jalan bebas hambatan. Namun, Astra akhirnya membeli 34 persen saham PT Marga Mandala Sakti pada 2005. Perusahaan itu merupakan pemegang konsesi tol Tangerang-Merak hingga 2048.

Kendati Michael telah lepas jabatan pada 2010, fokus Astra mengembangkan bisnis infrastruktur tidak luntur, khususnya pada bisnis jalan bebas hambatan. Hingga 2018, jumlah tol yang dikuasai Astra tumbuh menjadi enam ruas tol.

Baru-baru ini bahkan jumlah ruas tol yang dikuasai Astra bertambah satu ruas tol lagi. Ruas tol itu adalah Tol Surabaya-Mojokerto. Di ruas tol itu, Astra — melalui PT Astra Tol Nusantara — memegang 44,5 persen saham PT Jasamarga Surabaya Mojokerto, selaku pemegang konsesi.

Nilai investasi yang digelontorkan Astra untuk mengakuisisi saham tol Surabaya-Mojokerto mencapai Rp1,7 triliun. Adapun, ruas tol sepanjang 36,3 km ini juga baru beroperasi sejak Desember 2017 silam.

"Akuisisi saham tol Surabaya-Mojokerto ini menambah kontribusi Astra di Tol Trans Jawa menjadi sepanjang 338,6 km atau 30 persen dari total panjang Tol Trans Jawa," tutur Group CEO Astra Infra Djap Tet Fa dikutip dari Antara.

Membidik Tol Trans Jawa

Beberapa tahun terakhir ini, perusahaan yang juga pemain otomotif terbesar di Indonesia itu memang banyak terlibat dengan proyek Tol Trans Jawa. Dari tujuh ruas tol yang dipegang Astra, enam ruas tol di antaranya masuk dalam bagian Tol Trans Jawa.

Enam ruas tol itu antara lain Tol Tangerang-Merak sepanjang 72,5 km dengan kepemilikan saham 79,3 persen, Tol Jombang-Mojokerto sepanjang 40,5 km yang sudah sepenuhnya dimiliki oleh Astra, dan Tol Cikopo-Palimanan sepanjang 116,8 km dengan kepemilikan saham 45 persen.

Lebih lanjut, Tol Semarang-Solo sepanjang 72,6 km dengan saham 40 persen, Tol Serpong-Balaraja sepanjang 39,8 km dengan saham 25 persen, dan, yang terakhir, Tol Surabaya-Mojokerto dengan kepemilikan saham 44,5 persen. Adapun, ruas tol Astra di luar Trans Jawa hanya Tol Kunciran-Serpong sepanjang 11,2 km dengan saham 40 persen.

Dari tujuh ruas tol tersebut, hanya empat ruas tol yang sudah menyumbang pendapatan dari jasa operator jalan tol, yakni tol Merak-Tangerang, Cikopo-Palimanan, Semarang-Solo, dan Jombang-Mojokerto. Lantas, seberapa besar kontribusi jasa operator jalan tol tersebut terhadap pendapatan Astra ?

Sebagai catatan, pendapatan Astra disumbang dari tujuh pilar bisnis utama: Otomotif; Jasa keuangan; Alat berat dan Pertambangan; Konstruksi dan energi; Agribisnis; Infrastruktur dan logistik; serta Properti.

Otomotif masih menjadi penyumbang pendapatan Astra terbesar saat ini. Pada 2018, otomotif menyumbang pendapatan sebesar Rp107 triliun. Sementara untuk infrastruktur dan logistik, kontribusinya berada di posisi kelima.

Bisnis infrastruktur dan logistik menyumbang pendapatan sebesar Rp7,41 triliun sepanjang 2018. Angka tersebut melonjak hampir dua kali lipat ketimbang 2010 yang 'hanya' sebesar Rp3,95 triliun.

Dari pendapatan Rp7,41 triliun tersebut, sekitar 40 persen atau Rp2,92 triliun (PDF; hlm. 211) berasal dari jasa operator jalan tol. Sisanya tersebar dari sub-bisnis lainnya seperti infrastruktur umum, logistik, dan penyediaan fasilitas pelabuhan laut.

Apabila dihitung secara keseluruhan pendapatan Astra, pendapatan dari jasa operator jalan tol terbilang sangat kecil lantaran hanya menyumbang 1,25 persen dari total pendapatan Astra 2018 sebesar Rp239 triliun. "Tingkat payback period dari bisnis jalan bebas hambatan ini memang sangat panjang," tutur Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan kepada Tirto.

Prospek Bisnis Jalan Tol

Kendati demikian, Alfred mengatakan bahwa masuknya Astra ke jalan tol adalah langkah yang tepat. Terdapat sejumlah alasan yang mendasarinya. Pertama, bisnis jalan tol berpotensi menggeliatkan kembali bisnis utama Astra di bidang otomotif.

Dalam lima tahun terakhir ini, penjualan kendaraan roda empat terpantau stagnan. Mengutip Katadata, penjualan kendaraan relatif berhenti di kisaran 1 juta unit. Lesunya penjualan kendaraan ini juga diprediksi masih berlanjut pada tahun ini.

Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi dengan kinerja Astra di sektor otomotif. Sepanjang 2013-2018, pendapatan Astra dari otomotif cenderung stagnan dengan tren menurun. Rata-rata, pendapatan otomotif minus 0,09 persen.

Infografik Uang Astra di trans tol jawa

Infografik Uang Astra di trans tol jawa. tirto.id/Quita

Menurut Alfred, melambatnya penjualan kendaraan roda empat ini salah satunya dikarenakan tingginya kepadatan jalan terhadap kendaraan bermotor. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan di Jawa yang tinggi kerap membuat lalu lintas macet.

DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kepadatan kendaraan bermotor tertinggi. Dilansir Katadata, setiap 1 km jalan melayani lebih dari 2.000 kendaraan bermotor. Rasio itu lebih tinggi ketimbang jalan di belahan lain pulau Jawa yang setiap 1 km-nya melayani 500 kendaraan.

"Keputusan Astra berpartisipasi menambah jalan justru sebenarnya bisa memberikan dampak positif bagi bisnis existing, terutama otomotif. Jadi, bukan hanya sekadar menjadi operator saja. Ini langkah yang bagus," tutur Alfred.

Alasan lainnya adalah bisnis operator jalan tol menawarkan pertumbuhan yang cukup bagus. Salah satu contohnya adalah kinerja positif PT Jasa Marga Tbk yang merupakan salah satu operator jalan tol terbesar di Indonesia.

Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan pendapatan tol Jasa Marga mencapai 9 persen. Pada 2013, pendapatan tol tercatat Rp5,8 triliun. Tahun lalu, pendapatan tol melonjak menjadi Rp9,03 triliun disumbang dari sekitar 19 ruas tol yang beroperasi.

Untuk Astra, pendapatan tol pada 2018 tumbuh 20 persen menjadi Rp2,92 triliun dari tahun sebelumnya Rp2,43 triliun. Pendapatan itu tentu akan semakin besar seiring dengan bertambahnya pengguna jalan tol dan bertambahnya jumlah tol yang dikelola.

"Saya pikir jalan tol ini justru punya dampak yang signifikan bagi kelangsungan bisnis Astra ke depan. Apalagi, mereka juga punya kas yang besar untuk mengembangkan bisnis long term ini," jelas Alfred.

Baca juga artikel terkait TOL TRANS JAWA atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara