Menuju konten utama

Untung Tentara dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda

Nasionalisasi perusahaan Belanda pada 1957 membuka lebar-labar jalan tentara berbisnis.

Untung Tentara dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda
Ilustrasi Nasionalisasi Perusahaan Belanda 1957. tirto.id/Lugas

tirto.id - Setelah dua pekan aksi spontanitas kaum buruh mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada akhir tahun 1957, pemerintah setuju Angkatan Darat terlibat membereskannya.

Mayor Jenderal A.H. Nasution, saat itu Kepala Staf Angkatan Darat, menerbitkan surat perintah pada 10 Desember 1957. Isinya imbauan agar aksi-aksi pengambilalihan perusahaan oleh para buruh wajib ditempatkan di bawah bimbingan dan pengawasan KASAD.

“Seluruh transfer dan supervisi [perusahaan Belanda] yang dilakukan oleh kelompok selain TNI wajib ditertibkan oleh pemegang otoritas militer setempat sesuai dengan instruksi yang berlaku,” tulis Nasution.

Wujudnya terlihat. Misalnya, setelah Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) menduduki bank-bank Belanda di Jakarta seperti Nederlandse Handel Mij (NHM), Nationale Handelsbank (NHB), Escomptobank, penguasa militer Jakarta menempatkan bank-bank Belanda itu di bawah Badan Pengawas Bank, yang keanggotaannya didominasi oleh tentara-tentara dari Angkatan Darat (Pikiran Rakyat, 9/12/1957).

Peran militer dalam nasionalisasi aset-aset Belanda semakin dalam lewat pembentukan Badan Kerjasama Buruh dan Militer pada 12 Desember 1957.

Dipimpin oleh Nasution serta disaksikan oleh Menteri Perburuhan Samjono, utusan Kementerian Pertahanan, dan sejumlah panglima militer, kekuatan tangsi berhasil mengikat sedikitnya 14 organisasi buruh agar tidak melakukan aksi pengambilalihan secara independen.

Sikap siaga kelompok militer itu menguatkan dugaan bahwa keterlibatan dalam nasionalisasi perusahaan Belanda dilandasi keinginan untuk mengamankan sumber-sumber ekonomi agar tidak jatuh ke tangan serikat-serikat buruh yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Sejak Badan itu diresmikan, operasi militer memonopoli sumber daya ekonomi sepanjang sisa tahun 1957 seringkali diwarnai unsur pemaksaan.

Dalam satu kasus pengambilalihan perusahaan Jacobson van Den Berg di Cirebon, penguasa militer setempat mendesak agar direksi perusahaan segera meneken surat serah terima. Padahal, pihak direksi dan para buruh bersepakat menangguhkan proses pengoperan perusahaan agar tidak terjadi kekacauan.

Kendati para pembesar dalam perusahaan Belanda merasa tertekan dengan operasi militer itu, kenyataannya, banyak di antara mereka yang senantiasa meminta pendampingan angkatan bersenjata. Hingga medio Desember 1957, tidak sedikit orang-orang Belanda yang mengadu kepada penguasa militer atas tindakan-tindakan para buruh dan diskriminasi yang dilakukan para hakim pengadilan negeri (Pikiran Rakyat, 11/12/1957).

Di samping bank, pabrik, dan perusahaan dagang Belanda, nasionalisasi perusahaan oleh militer merambah ke bidang perkebunan. Komando-komando militer di daerah dijadikan instrumen oleh Nasution untuk menguasai perusahaan dan perkebunan Belanda yang telah diambilalih oleh para buruh.

Menurut Bambang Purwanto dalam Indonesian Economic Decolonization in Regional and International Perspective (2009), Divisi Diponegoro yang digawangi Soeharto bahkan sudah berhasil merebut tidak kurang dari 31 perkebunan dan 13 pabrik gula di Jawa Tengah pada 26 Desember 1957.

Infografik HL Indepth Nasionalisasi
Infografik Untung Tentara Dalam Nasionalisasi. tirto.id/Lugas

Peran Ganda Tentara

Nasionalisasi perusahaan Belanda pada akhirnya berdampak buruk terhadap kondisi internal perusahaan. Pengoperan jabatan dari orang Belanda kepada orang Indonesia yang kurang cakap mengakibatkan penurunan produktivitas perusahaan hingga menimbulkan kerugian besar dan menyengsarakan para buruh.

Menunjuk tenaga ahli dan berpengalaman nyatanya tidak semudah itu. Di sisi lain, pemerintah Indonesia sebagai pemilik baru dari sebagian besar perusahaan yang ditinggalkan orang-orang Belanda mengalami kekurangan tenaga ahli.

Situasi itu kemudian berubah menjadi momentum bagi para tentara untuk terjun lebih dalam ke pusaran ekonomi melalui perusahaan negara. Atas restu Perdana Menteri Djuanda yang merangkap Menteri Pertahanan, secara sistematis dan bertahap tentara mulai membantu mengelola bisnis dalam perusahaan Belanda yang sudah dinasionalisasi.

Indria Sagemo dalam Bila ABRI Berbisnis (1998) menulis pengujung 1957 menandai intensitas keterlibatan angkatan bersenjata mengelola perusahaan nasionalisasi. Kondisi itu menimbulkan peran ganda militer yang pertama dalam sejarah Indonesia, sebagai tentara dan pelaku bisnis.

Sepak terjang tentara dalam perusahaan negara dapat dilihat dalam peranan mereka mengelola Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Sejak 22 Juli 1957, pemerintah memang sengaja membebankan urusan perminyakan di Sumatera Utara kepada staf finansial dan ekonomi Angkatan Darat untuk menghindari percekcokan dengan para penguasa di daerah.

Campur tangan militer semakin menonjol tatkala Nasution berkeras agar perusahaan itu dipimpin oleh perwira militer. Alasannya, tentara dianggap memiliki kedisiplinan untuk mengelola ladang-ladang minyak yang tinggal puing-puing. Pada akhirnya, pilihan Nasution jatuh kepada Kolonel Ibnu Sutowo, Panglima Divisi Sriwijaya.

Sutowo lantas menarik beberapa koleganya, seperti Mayor Harjono, Mayor Gendong, dan Kapten Affan dari dinas militer Sumatera Selatan untuk turut mengelola perusahaan dari markas tentara. (Ramadhan K.H. dalam Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita (2008: 168).

Situasi politik juga menguntungkan militer berkat pemberlakuan maklumat Staat van Oorlog en Beleg (SOB) atau Keadaan Darurat Perang sebagai dampak antisipasi perlawanan Permesta pada 2 Maret 1957. Dari sana perwira-perwira militer, terutama Angkatan Darat, memiliki banyak kesempatan untuk memperluas pengaruh di luar bidang militer. Kesempatan ini tumbuh berkat pengaruh sosial-politik para komandan teritorial di daerah-daerah pedalaman.

Pada akhirnya, keikutsertaan tentara dalam mengatur perusahaan ini menjadi tradisi tersendiri dalam angkatan bersenjata.

Menurut Bondan Kanumoyoso dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (2001), perwira-perwira yang ikut serta dalam usaha pengelolaan ekonomi dipercaya telah melaksanakan tugas menyalurkan dana ke dalam tubuh tentara dan mengurangi ketergantungan militer pada anggaran belanja pemerintah pusat.

Saat pemerintahan Orde Baru, bisnis tentara itu semakin meluas. Rezim Soeharto yang ditopang oleh tangsi dan partai penguasa alias Golkar menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, tak terkecuali di tubuh Pertamina.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Politik
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Fahri Salam