Menuju konten utama

Untung Rugi Pertamina Impor LNG dari Mozambik

Ekonom dari Indef, Berly Martawardaya menilai impor LNG dari Mozambik yang dilakukan Pertamina akan menutupi kebutuhan domestik.

Sarana fasilitas Liquid Natural Gas (LNG) milik PT Nusantara Regas yaitu Floating Storage Regasification Unit (FSRU) berada di Perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Kamis (19/10/2017). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - PT Pertamina (Persero) akan melakukan impor 1 juta ton (MTPA) gas per tahun dalam jangka waktu 20 tahun. Hal itu menyusul penandatanganan perjanjian jual beli (SPA) antara Anadarko Petroleum Corporation dengan Pertamina untuk membeli gas alam cair (LNG) dari Mozambik LNG1 Company Pte Ltd.

Manajer Komunikasi Eksternal Pertamina, Arya Dwi Paramita mengatakan pembelian LNG dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP). Menurut Arya hadirnya RDMP dipastikan akan meningkatkan kebutuhan LNG Pertamina pada 2025.

Selain itu, kata Arya, saat ini harga LNG di pasar internasional tergolong kompetitif sehingga hasil perjanjian jual beli itu diperkirakan akan mendatangkan keuntungan bagai perusahaan pelat merah ini. Terutama dalam jangka panjang selama proyek RDMP dikerjakan.

“Transaksi ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan LNG mulai 2025. Kepastian suplai LNG jangka panjang diperlukan sebelum RDMP berjalan,” kata Arya saat dihubungi reporter Tirto, pada Jumat (22/2/2019).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services and Reform (IESR), Fabby Tumiwa menilai impor LNG yang dilakukan Pertamina ini sebagai langkah positif. Sebab, kata Fabby, porsi konsumsi dari total gas yang diproduksi hanya mencapai 60 persen. Sedangkan sisanya digunakan sebagai komoditas ekspor yang sifatnya tidak dapat diganggu untuk kebutuhan lain.

Padahal, kata Fabby, di saat yang sama kebutuhan gas Indonesia masih tergolong tinggi. Sebab, sejumlah ladang gas yang selama ini menjadi andalan, seperti di Blok Mahakam juga tengah mengalami penurunan.

Hal itu terkonfirmasi dengan data BP Global Company pada 2017 yang menunjukkan sepanjang 2014-2016, produksi dan konsumsi gas alam Indonesia memang surplus, tetapi trennya terus menurun. Pada 2014, produksi terus menurun dari angka 67,7 juta ton menjadi 62,7 juta ton di 2016.

“Sebetulnya kondisi gas kita enggak surplus. Kebutuhan domestik kita memang tinggi, tapi ada juga persoalan committed export. Itu sisa 40 persen dari konsumsi enggak bisa dipakai dalam negeri,” kata Fabby kepada reporter Tirto.

Karena itu, kata Fabby, untuk memenuhi kebutuhan gas, maka pemerintah perlu melakukan peningkatan produksi untuk mengimbangi kekurangan pasokan.

Saat ini, menurut catatan Fabby, dua ladang gas di Jimbaran dan Tiung Biru dapat menunjang peningkatan produksi meskipun baru mulai pada 2022.

Dalam kondisi kekurangan pasokan ini, Fabby menilai pembelian gas dengan harga internasional yang terus menurun memang dapat dimanfaatkan hingga 5 tahun ke depan lantaran stoknya melimpah.

Fabby pun menilai dampaknya terhadap defisit neraca perdagangan belum menjadi hal yang harus dikhawatirkan.

“Kalau kita liat impor lebih murah, ya enggak apa-apa. Asal impor kita tidak lebih banyak dari ekspor dan nilai ekspor jangan sampai banyak menurun,” kata Fabby.

Pendapat serupa diungkapkan ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya. Ia menilai impor yang dilakukan Pertamina memang tak masalah karena terdapat kebutuhan domestik yang harus dipenuhi.

Menurut Berly, jika produksi gas dalam negeri tidak mencukupi, maka impor memang wajar dilakukan. Terlebih ketika pemerintah, kata Berly, juga berperan menjaga keberlanjutan industri dan PLTU.

“Kalau tidak dipenuhi, ya cost benefit buat pabrik dan PLTU jadi hilang. Kalau produksi enggak cukup, impor no problem,” kata Berly saat dihubungi reporter Tirto.

Berly mengatakan, sekalipun saat ini nilai neraca migas Indonesia sempat memburuk dari 8,6 miliar dolar AS pada 2017 menjadi 12,4 miliar dolar AS di 2018, tapi impor ini tak bisa dihindari.

Sebab, kata Berly, pemerintah bertanggung jawab menjaga iklim usaha tetap berjalan. Salah satunya adalah menjaga pasokan gas ke industri dan PLTU.

“Kalau impor ini, kan, buat listrik. Kalau enggak ada bahan bakunya, nanti PLTU berhenti listrik mati. Jadi jangan dilihat impornya saja,” kata Berly.

Sementara itu, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Djoko Siswanto mengaku belum tahu-menahu mengenai pembelian gas yang dilakukan Pertamina. Sebab, kata dia, perusahaan pelat merah itu baru merampungkan perjanjian jual-beli, tetapi belum memutuskan untuk membelinya.

Djoko juga tak mau bicara banyak ketika ditanya mengenai dampak impor LNG ini terhadap neraca dagang Indonesia yang pada 2018 mengalami defisit terbesar sejak 1975.

“Belum terjadi [impor] ya. Mana kami tau [dampaknya]. Baru perjanjian, mulainya kapan kami belum tau kan,” kata Djoko saat dikonfirmasi reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz