Menuju konten utama

Untung Rugi Kenaikan Harga Batu Bara bagi Indonesia

Kenaikan harga batu bara dunia jangan sampai membuat para pengusaha justru abai soal kebijakan DMO yang jadi tanggung jawabnya.

Untung Rugi Kenaikan Harga Batu Bara bagi Indonesia
Pekerja mengoperasikan alat berat saat bongkar muat batu bara ke dalam truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Priok, Kamis (3/2/2022). . ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/foc.

tirto.id - Konflik antara Rusia dan Ukraina rupanya menjadi berkah bagi produsen batu bara dalam negeri. Ketegangan tersebut, memicu terjadinya peningkatan harga-harga komoditas pertambangan, termasuk mineral dan batu bara atau minerba.

Data perdagangan ICE Newcastle menunjukkan, harga emas hitam meroket hingga 418 dolar AS per metrik ton pada Senin (7/3/2022). Sementara Harga Batubara Acuan (HBA) dalam negeri ditetapkan pada Maret ini, sebesar 203,69 dolar AS per ton. Angka ini naik 15,31 dolar AS per ton dari Februari yang sebesar 188,38 dolar AS per ton.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM, Agung Pribadi mengatakan, kenaikan ini terjadi akibat meningkatnya eskalasi ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian pada pasokan gas di Eropa.

Rusia sendiri, merupakan salah satu produsen gas terbesar di dunia. Pada semester I-2021, Uni Eropa mengimpor produk gas alam senilai 36,2 miliar Euro, dan sebanyak 46,8 persennya berasal dari Rusia.

Ketidakpastian itu, membuat negara-negara Eropa kini mulai beralih ke penggunaan batu bara sebagai sumber energi mereka, dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Hal ini secara otomatis membuat permintaan batu bara meningkat, termasuk di Indonesia. Permintaan itu pun mendongkrak tingginya HBA pada bulan ni.

“Permasalahannya ketika pasokan (gas) terganggu mau tidak mau paling memungkinkan penggunaan kembali PLTU mereka. Ini menurut saya menyebabkan harga acuan batu bara (HBA) mengalami kenaikan signifikan," kata Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, saat dihubungi Tirto.

HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.

Nantinya, harga ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batu bara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel).

Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.

Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.

Keuntungan Bagi Indonesia

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia mengatakan, kenaikan harga batu bara yang tidak wajar ini menjadi keuntungan bagi para eksportir. Para produsen, kini dapat berlomba-lomba memacu kapasitas produksi mereka guna memenuhi permintaan pasokan batu bara.

“Iya, tentu exportir diuntungkan dan juga negara diuntungkan dengan kenaikan yang tidak wajar ini," kata Hendra saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (8/3/2022).

Kenaikan harga ini juga menjadi momentum untuk memperluas pangsa pasar ekspor Indonesia ke Eropa. Selama ini, pasar Indonesia untuk komoditas batu bara kebanyakan berasal dari Asia, yakni Cina, India, dan Jepang. Sehingga ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memenuhi permintaan Eropa.

Dari sisi negara, pemerintah juga diuntungkan dari segi pendapatan. Komoditas ini akan membuat penerimaan negara baik dalam bentuk pajak, bea keluar, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ikut terkerek. Sementara pada tahun lalu, penerimaan negara dari sektor minerba menjadi tertinggi dalam lima tahun terakhir. Ini juga akibat kenaikan harga batu bara terjadi pada 2021.

“Pada tahun 2021 penerimaan negara yang berasal dari sektor minerba ini baik dalam bentuk pajak, bea keluar, dan PNBP mencapai Rp124,4 triliun. Ini adalah penerimaan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir," kata kata Sri Mulyani dalam Launching SIMBARA, disiarkan di Youtube Kemenkeu RI, Selasa (8/3/2022).

Khusus PNBP saja, pada 2021 penerimaan dari sektor minerba mencapai Rp75,16 triliun, atau 192,2 persen dari target semula sebesar Rp39.1 triliun. Sementara di 2022, target penerimaan PNBP minerba diturunkan menjadi Rp42,36 triliun, jauh dibandingkan penerimaan 2021. Ini karena rencana 2022 dibuat berdasarkan asumsi produksi batu bara sebesar 550 juta ton dengan nilai Harga Batubara Acuan (HBA) 67,3 dolar per ton.

Di sisi lain, peningkatan penerimaan dari sektor minerba ini juga memberikan tantangan karena kemungkinan terjadinya pelanggaran tata kelola baik dalam bentuk penyelundupan, under invoicing, tax evasion juga meningkat. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi yang semakin baik antara seluruh pemangku kepentingan.

“Ini juga memberikan signal bahwa pemerintah pusat dan daerah, dan antara kementerian/lembaga harus semakin rapi berkoordinasi, karena semakin tinggi harga minerba, maka ancaman terhadap tata kelola yang baik menjadi sangat tinggi," jelas Sri Mulyani.

Produksi Dalam Negeri dan Komitmen DMO

Presiden Asosiasi Pengusaha dan Wiraswasta Nasional Kalimantan Timur (Aspentan Kaltim), Igun Wicaksono mengingatkan, di tengah permintaan batu baru cukup tinggi, kapasitas produksi dalam negeri perlu diperhatikan. Jangan sampai para pengusaha justru abai terhadap domestic market obligation (DMO) atau pemenuhan kebutuhan batu bara dan gas alam cair (LNG) dalam negeri.

“Pastinya ini akan berdampak kembali pelaku usaha batu bara aktif untuk menggenjot produksinya semaksimal mungkin untuk pemenuhan pasar DMO maupun ekspor," kata Igun saat dihubungi Tirto.

Igun menekankan, pemenuhan DMO sebesar 25 persen menjadi komitmen dan tanggungjawab produsen batu bara. Jika ini diabaikan, maka bisa berbuntut kepada larangan ekspor batu bara yang sempat dilakukan pada awal tahun lalu.

Tepat pada 1 Januari 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan surat Menteri ESDM Nomor B- 1605/MB.05/DJB.B/2021 tanggal 31 Desember 2021 yang pada intinya berisi perintah tegas pemerintah Indonesia melarang ekspor batu bara dari 1 Januari hingga 31 Januari 2022 demi Pemenuhan Kebutuhan Batubara untuk Kelistrikan Umum.

Langkah ini diambil dengan penuh kesadaran bahwa bila kebutuhan batu bara untuk pembangkit-pembangkit listrik yang dikelola PLN gagal dipenuhi, maka ada risiko aliran listrik untuk 10 juta pelanggan PLN terancam padam.

Kala itu, persediaan batu bara yang aman di PLTU PLN adalah di atas 20 hari operasi. Tapi dari 5,1 juta metrik ton (MT) penugasan dari pemerintah, hingga 1 Januari 2022 hanya dipenuhi sebesar 35 ribu MT atau kurang dari 1 persen.

Di sisi lain, Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan melihat, kebutuhan hingga produksi batu bara dalam negeri sejauh ini masih cukup aman. Ini dipastikan setelah PLN mendapatkan tambahan komitmen pasokan batu bara pada Januari 2022 sebesar 3,2 juta ton dari total rencana 5,1 juta ton.

"Saya kira cukup sekali produksi. Tahun lalu kita ada penambahan peningkatan produksi. Tapi tidak terserap semua. Ini peluang besar sekali untuk terus kita eksplorasi produksi di tengah memang kondisi harga batu bara bagus," kata Mamit.

Berdasarkan Minerba One Data Indonesia, realisasi produksi batu bara Indonesia sepanjang 2021 mencapai 606,47 juta ton. Dari angka tersebut realisasi untuk kebutuhan domestik yaitu sebesar 213,92 juta ton, realisasi ekspor sebanyak 306,89 juta ton. Kemudian kewajiban DMO yang khusus dijual kepada PLN yaitu sebesar 63,47 juta ton.

“Saya kira pemerintah menjaga cukup keras agar tidak terjadi kekurangan pasokan PLTU terutama seperti di awal tahun. Ini perlu disiapkan pemerintah agar PLTU aman, dan pengusaha komitmen penuhi 25 persen dipatok pemerintah," tutupnya.

Saham Emiten Batu Bara Justru Melempem

Di tengah berbagai keuntungan kenaikan harga batu bara, sejumlah saham-saham emiten di sektor emas hitam itu justru melempem. Pada penutupan perdagangan IHSG, Rabu (9/3/2022), PT Adaro Energy Indonesia Tbk atau ADRO berada di zona merah.

ADRO ditutup melemah berada di level 3.080, atau turun 1,28 persen dibanding penutupan sebelumnya. Pada pembukaan ADRO sempat berada di level 3.120 dan berada di level tertinggi di posisi 3.150.

Selanjutnya, saham PT Harum Energy Tbk dengan kode emiten HRUM juga menunjukkan pelemahan berada di level 11.925 atau terkoreksi 6,84 persen. HRUM dibuka di 11.925 dan sempat berada di level tertinggi 12.000.

Kemudian, saham PT Mitrabara Adiperdana Tbk dengan kode saham MBAP mengalami nasib yang sama. MBAP ditutup melemah di level 3.830 atau turun 2,05 persen. Posisi ini merosot jika dibandingkan pembukaan tadi pagi yang berada di 3.920.

Mamit melihat penurunan serempak terjadi pada saham-saham emiten batu bara ini bukan karena faktor fundamental. Ini terjadi lebih ke arah profit taking atau aksi ambil untung dengan menjual saham.

“Para investor sudah mulai ambil keuntungan. Jadi mereka lebih banyak menjual sehingga menyebabkan harga saham mengalami penurunan, meskipun harga batu bara sedang mengalami kenaikan," kata Mamit saat dihubungi Tirto, Rabu (9/3/2022).

Dia memperkirakan, pelemahan saham-saham batu bara juga masih akan berlanjut sampai dengan minggu ini. "Sambil kita lihat pasokan harga batu bara apakah naik atau koreksi turun kembali ini jadi perhatian pasar," kata dia.

Baca juga artikel terkait BATU BARA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz