Menuju konten utama

Untung Rugi Bagi Jokowi dan Prabowo Jika Mereka Sepakat Berkoalisi

Rencana Luhut --utusan Jokowi-- bertemu Prabowo dinilai akan bicara soal tawar-menawar politik. Apa untung ruginya bila keduanya sepakat berkoalisi?

Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Ketua KPU Arief Budiman (kedua kiri) sebelum mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Calon presiden petahana Joko Widodo mengutus Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman untuk bertemu capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Informasi ini dikonfirmasi Direktur Media dan Komunikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Hashim Djojohadikusumo.

Hashim menyebut pertemuan keduanya akan digelar di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (21/4/2019). Namun, hingga kini rencana pertemuan antara Luhut dan Prabowo belum terealisasi.

Meski belum ada kesepakatan bertemu, tapi pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menebak ada bargaining politik yang akan ditawarkan oleh Luhut kepada Prabowo. Ujang menilai, bisa saja Luhut mengajak Gerindra masuk sebagai partai koalisi pemerintah.

“Tawaran itu, kan, pasti ada, untuk menambah kekuatan koalisi di Jokowi,” kata Ujang kepada reporter Tirto, pada Minggu (21/4/2019).

Namun, Ujang menilai, ada sejumlah kerugian bagi Prabowo dan Gerindra bila menerima pinangan Jokowi. Sebab, kata Ujang, posisi Gerindra sebagai partai oposisi merupakan investasi politik yang mumpuni untuk modal menghadapi Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini mencontohkan PDIP yang berhasil menjadi kekuatan oposisi selama dua periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hasilnya, kata Ujang, PDIP berhasil menjadi pemenang Pemilu 2014, bahkan berpeluang besar memenangi kontestasi Pemilu 2019 ini.

“Selama ini masyakat berharap Gerindra adalah partai yang memperjuangkan aspirasi-aspirasi yang ketika pemerintah berbuat kebijakan yang salah, lalu Gerindra lah yang muncul membela dan mengkritik pemerintah,” kata Ujang.

Ujang pun menilai, jika Gerindra bergabung dengan pemerintah, maka partai besutan Prabowo itu akan mendapat jatah jabatan yang relatif sedikit. Alasannya, kata Ujang, koalisi Jokowi saat ini pun sudah sesak dengan sembilan partai.

Namun demikian, kata Ujang, konstelasi politik ke depan diprediksi akan cair. Sebab, baik partai koalisi pemerintah maupun koalisi oposisi di Indonesia hanya berbasis kepentingan, bukan ideologi.

“Karenanya oposisi Indonesia tidak pernah langgeng,” kata Ujang.

Hal senada disampaikan pengajar ilmu politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno. Namun, ia menilai Gerindra juga harus realistis melihat Pemilu 2024 membutuhkan modal politik, sumber daya manusia, dan logistik yang lebih besar.

Adi pun menilai, akan sulit bagi Gerindra untuk bertahan jadi oposisi selama 10 tahun seperti yang dilakukan PDIP. Sebab, berbeda dengan Gerindra, kata Adi, PDIP adalah partai besar yang sudah mapan dari sisi logistik, basis pemilih, dan banyaknya kader yang menjadi kepala daerah.

“Saya enggak yakin dengan posisi Gerindra. Selain partai baru, kan, kepala daerahnya tidak sebanyak yang dimiliki PDIP," kata Adi kepada reporter Tirto.

Karena itu, Adi menilai Gerindra atau partai oposisi lainnya berpotensi pindah haluan. Namun, hal itu tidak akan terjadi pada waktu dekat, tapi di pertengahan periode kepemimpinan Joko Widodo.

Sebab, kata Adi, kemungkinan besar koalisi Jokowi tidak akan lagi solid di saat-saat itu. Alasannya, partai-partai sudah mulai mencari simpati rakyat menjelang Pemilu 2024. Akibatnya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak populer, partai koalisi ini justru berpotensi menentang.

Hal ini, kata Adi, yang dilakukan oleh Golkar dan PKS di periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Tentu sebagai presiden, Jokowi enggak mau dong ada oposisi dari dalam. Nah, di situlah ada kesempatan bagi Gerindra, PKS dan PAN ini lompat pagar. Minimal untuk menjaga keseimbangan di dalam pemerintahan,” kata Adi.

Akan tetapi, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding enggan membicarakan kemungkinan lompat pagar tersebut. “Wah kalau itu saya belum tahu,” kata Karding saat ditemui di The Pallas, SCBD, Jakarta Selatan, Minggu (21/4/2019).

Sementara politikus Gerindra Nizar Zahro mengatakan, Prabowo belum bisa menemui Luhut lantaran masih fokus mengawal hasil C1 yang berasal dari tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia.

Menurut Nizar, jika utusan Jokowi ingin bertemu, maka ia menyarankan supaya menunggu sampai hasil rekapitulasi dari KPU selesai, yakni 22 Mei nanti.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz