Menuju konten utama

Untung Besar Menitip Merek ke James Bond

Product placement adalah teknik periklanan sebuah perusahaan untuk secara halus mempromosikan produk mereka dengan cara dimunculkan di berbagai media, salah satunya film layar lebar. Contoh paling berhasil adalah product placement di film-film James Bond. Kira-kira berapa nilai kontrak dan keuntungan penjualan yang diperoleh perusahaan penitip merek?

Untung Besar Menitip Merek ke James Bond
James Bond dan Astonmartin. [Foto/astonmartin.com]

tirto.id - James Bond (Daniel Craig) dan Vesper Lynd (Eva Green) sedang dalam perjalanan ke Montenegro. Keduanya duduk berhadap-hadapan di sebuah kereta dan menghabiskan waktu dengan menebak identitas masing-masing. Bond terhibur saat Vesper menilai dirinya sebagai anggota M16 yang tipikal: terlalu cinta tanah air dan bernafsu melindungi nyawa ratu Inggris dengan modal senyum kecil dan jam tangan mahal.

“Rolex?” Vesper melirik pergelangan tangan Bond.

“Omega,” jawab sang agen rahasia 007.

“Oh, bagus.” ujar Vesper.

Adegan di atas hanyalah sepenggal product placement yang sebenarnya banyak diselipkan di blockbuster laris Casino Royale (2006). “Product placement” dalam definisi Bussiness Dictionary adalah teknik periklanan yang digunakan oleh perusahaan untuk secara halus mempromosikan produk mereka dengan cara dimunculkan dalam film layar lebar, acara televisi, maupun media lainnya.

Di film-film Bond sebelumnya, segala produk yang dikonsumsi sang aktor merupakan jalan yang baik bagi perusahaan dengan tawaran kontrak tertinggi untuk meningkatkan keuntungan. Sebab, siapa yang tak terkesan dengan pakaian yang dikenakan hingga minuman yang dipesan oleh karakter paling elegan dalam industri perfilman itu?

Bond selalu memesan martini, sebagaimana Ian Fleming narasikan di novel, “dikocok, bukan diaduk”. Bond hampir tak pernah meminum bir. Namun di Skyfall (2012) ada pengecualian: ia memesan Heineken. Mengapa? Sebab Heineken telah meneken kontrak selama 15 tahun untuk film-film James Bond dan menjadi salah satu peneken kontrak product placement termahal dalam sejarah perfilman. Konon mencapai $45 juta untuk Skyfall, termasuk iklan 30 detik yang dibintangi Craig dan karakter game online yang dibintangi Craig dan pemeran pendampingnya Bérénice Marlohe.

Product placement tak bisa dilepaskan dari film-film James Bond yang sudah merentang selama selama 50 tahun. Mulai dari merek pakaian, sepeda motor, mobil, jam tangan, hingga laptop. Film James Bond bak surga katalog belanja bagi orang-orang berduit di berbagai belahan negara.

Di The World is Not Enough (1999), studio film MGM memecah rekor product placement termahal senilai $100 juta. Perusahaan yang menitipkan produknya antara lain BMW, Bollinger, Turnbull & Asser, Smirnoff, Omega, Motorola, Electronnic Arts, Microsoft, Caterpillar, dan tentu saja Heineken. Kontrak dengan nilai yang sama terulang di film Quantum of Solace (2008) dengan beberapa tambahan merek kenamaan seperti Ford, Virgin Atlantic, dan Sony.

Contoh lain, butuh kontrak senilai $3 juta untuk menempatkan BMW Z3 Roadster di film James Bond Golden Eye (1995). Penjualan di muka atas mobil yang dikendarai Pierce Brosnan itu mencapai $240 juta setelah film rilis. Sebulan setelahnya ada pesanan 9.000 Z3 yang harus ditangani BMW. Ini juga berlaku untuk larisnya laptop Sony merek Vaio dengan piranti lunak Windows XP yang muncul di Quantum of Solace. Meski kalah elegan, untuk urusan nilai kontrak, Microsoft berhasil mengalahkan Apple dan MacBooks-nya.

Infografik Titip Merek di Layar Lebar

Brand, James Brand

Film-film James Bond mampu menarik product placement dengan nilai kontrak yang melebihi blockbuster pendobrak box office lain seperti The Avenger, Star Wars, atau Transformers. Studio mesti berterima kasih kepada sang novelis, Ian Fleming, yang telah membentuk karakter si agen rahasia Inggris dengan begitu detail, termasuk segala peralatan yang ia gunakan selama menjalankan operasi.

“Entah itu anggur yang ia minum, menu makanan yang ia santap, mobil yang ia kendarai, atau pakaian yang melekat di tubuhnya, dengan cara itu Bond menjadi identik dengan kualitas sebuah barang. Semuanya berawal dari novel, bahwa jika dengan menjalani pekerjaan yang berbahaya kau mungkin akan mati besok, maka kau perlu menikmati segalanya yang terbaik hari ini,” kata sang produser Barbara Brocolli kepada BBC.

Saking lekatnya, Brocolli tak khawatir jika jam tangan Omega yang dipakai Craig di Casino Royale tak sesuai dengan Bond di novel yang setia memakai Rolex. Semua selesai dalam hitung-hitungan bisnis: siapapun yang mampu menawarkan harga tertinggi, ia yang akan tampil di film.

Kritikan para penggemar Bond garis keras hanyalah riak kecil sebab Bond memiliki waktu tampil yang banyak ke depannya lewat film-film baru. Artinya, selalu ada pendekatan klasik yang khas, namun pelekatan barang baru juga mesti ada. Ini adalah kompromi marketing yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan pelaku industri perfilman Hollywood.

Meski demikian, franchise James Bond bukanlah satu-satunya yang mampu menggenjot keuntungan perusahaan. CNBC mencatat bahwa ada sejumlah product placement di industri perfilman Hollywood ang patut dikenang sebab mampu menjadi alat jualan yang sukses.

Cemilan Reese's Pieces di E.T. The Extra-Terrestrial (1982), misalnya, mampu menaikkan profit perusahaan Hersey sebesar 65 persen sejak film yang disutradarai Steven Spielberg itu rilis di bioskop. Demikian juga kemunculan Mini Cooper di The Italian Job (2003) meningkatkan penjualan mobil yang ditunggangi Mark Whalberg dkk itu sebesar 22 persen hingga akhir tahun film tersebut rilis.

Keuntungan yang lebih menakjubkan lagi diraih oleh produsen mainan Etch-A-Sketch. Gara-gara film Toy Story (1995), penjualan produk mainan yang diciptakan oleh André Cassagnes itu naik hingga 4.500 persen. Sedangkan penjualan Mr. Potato Head, karakter lain di film animasi laris itu, baik hingga 800 persen.

Tom Cruise adalah aktor kesayangan Ray Band. Kacamata jenis Wayfarers di Risky Bussines (1983) yang dipakai Cruise sukses mendongkrak laba Ray Ban. Hingga masa akhir penjualan di tahun 1983, Ray Ban mampu menjual 360.000 buah kacamata dengan merek yang sama. Kacamata jenis The Aviator di Top Gun (1986) berhasil menaikkan profit Ray Ban hingga 40 persen setelah film yang juga dibintangi Cruise itu rilis di bioskop. Cruise juga pernah mendongkrak penjualan bir Red Stripe yang ia minum di film The Firm (1993) sebesar 50 persen di AS saja.

Di dunia perfilman Indonesia, penggunaan teknik product placement di sebuah film bukan hal yang asing. Ian (Igor Saykoji) di film 5cm (2012) mengisi bensin mobilnya dengan Pertamax. Dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010) yang disutradarai dan dibintangi oleh Deddy Mizwar, banyak ditemui adegan yang menampilkan para pemerannya memakan sosis merek Sonice. Tak mengherankan sebab Deddy Mizwar adalah wajah ikonik Sonice di iklan televisi.

Merek kerudung kenamaan sering menjadi sponsor film-film bertemakan Islami. Misal, film Assalamualaikum Beijing (2014) yang dibintangi oleh Revalina S. Temat dan Laudya Cynthia Bella mendapat sokongan product placement dari Zoya, sebuah perusahaan kerudung dan baju muslim kenamaan di Indonesia. Merek kenamaan lain, Elzatta, telah mensponsori sejumlah film Islami, salah satunya Cinta Suci Zahrana (2012).

Risiko Gagal

Product placement adalah simbiosis mutualisme antara pemilik perusahaan dengan produsen film. Meski mampu mendatangkan untung banyak dan sangat membantu dalam menambal biaya produksi, namun strategi product placement yang keliru akan menampilkan hasil sebaliknya.

Menurut Jon Nathanson, kontributor Price Economic, ada sejumlah prinsip dalam teknik marketing product placement. Pertama, Reach atau ukuran seberapa banyak orang yang akan terpapar iklan tersembunyi itu. Secara kasar tentu saja julah penonton film di bioskop. Kemudian ada Frequency alias jumlah rata-rata penonton akan menerima paparan iklan produk yang bersangkutan. Jangan sampai terlalu sering atau terlalu cepat. Saat bisa mencapai titik seimbang namanya Effective Frequency.

Kemudian ada dua syarat lain yang harus dipenuhi dengan baik, yakni Awareness untuk mengukur pengetahuan penonton tentang produk yang diiklankan, dan Recall yakni untuk mengukur seberapa baik penonton mengingat pesan dalam iklan tersebut. Jika prinsip-prinsip tersebut dilanggar, penonton awam pun bisa menilai bahwa iklan tersebut merusak cerita film. Penonton kekinian, menurut Jon, lebih kritis daripada penonton era 1980 atau 1990-an. Mereka bisa membedakan antara product placement yang wajar dan yang norak.

Contoh atas kegagalan product placement, misalnya, tergambar dalam film Di Bawah Lindungan Ka'bah (2011) yang dibintangi oleh Herjunot Ali dan Laudya Cynthia Bella. Film garapan sutradara Hanny R. Saputra itu dikritik keras karena memaksakan diri untuk menampilkan produk Kacang Garuda dan wafer Gery Chocolatos, padahal latar belakangnya di Sumatera Barat tahun 1920-an. Begitupun film Habibie & Ainun (2012) yang menampilkan kartu transaksi jalan tol otomatis e-Toll, produk kosmetik Wardah, dan lagi-lagi wafer Gery Chocolatos.

Jon menekankan bahwa keberhasilan product placement terletak pada sineas film yang bersangkutan. Sineas yang baik tak akan mengorbankan kualitas karyanya hanya demi iklan. Sejumlah studi membuktikan jika product placement yang gagal justru menjauhkan penonton dari produknya. Tantangannya adalah bagaimana memasukkan produk ke layar kaca dengan elegan dan hati-hati namun membekas di pikiran penonton. Bukan yang norak, apalagi “maksa”.

Baca juga artikel terkait PRODUCT PLACEMENT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Marketing
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti