Menuju konten utama

Union Berlin: Musuh Rezim Komunis Jerman, Pendatang Baru Bundesliga

Union Berlin adalah musuh rezim komunis. Saat Tembok Berlin runtuh, mereka hanya identik dengan nasib buruk. Kini, mereka berkompetisi di Bundesliga.

Union Berlin: Musuh Rezim Komunis Jerman, Pendatang Baru Bundesliga
Penggemar Berlin menunjukkan dukungan mereka sebelum pertandingan sepak bola Bundesliga ke-2 antara FC Union Berlin dan FC'Nuremberg di Stadion An der Alten Foersterei di Berlin, Jerman, Senin 20 Maret 2017. Soeren Stache / AP

tirto.id - Stadion An der Alten Forsterei, markas Union Berlin, memang hanya berkapasitas 22.012 tempat duduk. Namun, saat Union Berlin menjamu RB Leipzig, Ahad (18/8/2019) lalu, tiket pertandingan debut Union Berlin di Bundesliga itu terjual sebanyak 22.467 lembar, lebih 455 lembar dari kapasitas bangku stadion.

Penyebabnya unik: fans Union Berlin sengaja membeli tiket tambahan untuk para penggemar yang sudah meninggal sebelum klub kesayangan mereka promosi ke Bundesliga.

Kehadiran penggemar yang sudah meninggal diwakili poster-poster berukuran 70x70 sentimeter yang menampilkan wajah mendiang saat tersenyum. Poster itu membentang dari berbagai sudut tribun Alten Fosterei beberapa saat sebelum pertandingan.

Pada bagian bawah poster, tertulis endlich dabei. Dalam bahasa Indonesia, tulisan itu kurang lebih memiliki arti "akhirnya (kita) di sini."

Tingkah unik para penggemar ini memang mampu menunjukkan Union Berlin (selanjutnya ditulus Union) berbeda dari klub lainnya. Namun, aksi unik itu bukan akhir dari perkenalan Union Berlin kepada publik sepakbola dunia.

Pada hari bersejarah itu, saat mereka seharusnya menyambut pertandingan debut di Bundesliga dengan gegap gempita, para penggemar Union justru bikin geleng-geleng kepala. Mereka diam di sepanjang 15 menit pertama laga.

Saat itu, mereka memprotes eksistensi RB Leipzig, lawan Union, karena dianggap bukan wujud ideal dari sebuah klub sepakbola. Menurut mereka, Leipzig--yang baru berdiri pada 2009--bisa jadi salah satu kekuatan di Bundesliga karena dimiliki Red Bull, perusahaan minuman berenergi asal Amerika Serikat. Sementara itu, seperti klub Jerman kebanyakan, Union ialah milik para penggemar.

"Itu akan menyakitkan," tulis Uhlesyndikat, kelompok ultras tertua Union, soal aksi diam itu. "Tetapi, karena kami siap untuk memperjuangkan nilai-nilai kami, budaya klub kami, dan melakukan pengorbanan, kami punya peluang besar untuk membuktikan bahwa kami adalah sebuah kemenangan di Bundesliga."

Musuh Stasi

Gerald Kappa, ahli sejarah Union Berlin, boleh tak sepakat atas dua hal soal Union dengan kebanyakan publik sepakbola Jerman. Ia tak mau Union disebut bagian dari mitologi sepakbola Jerman dan juga tak setuju saat Union disebut sebagai "klub pembangkang komunisme atau benteng komersialis dalam kapatalisme."

Namun, soal alasan mengapa Union jadi salah satu klub favorit di Jerman Timur pada masanya, Kappa tak akan mendebat. Union adalah rival utama BFC Dynamo, tim milik Stasi, Kementerian Keamanan Negara di komunis Jerman Timur.

Berdiri tahun 1966, Union langsung berhasil menyabet gelar Piala Jerman Timur pada 1968. Dalam laga final, klub yang mendapatkan julukan Schlosserjungs atau Sekumpulan Pandai Besi itu mengalahkan Carls Zeiss Jena dengan skor 2-1.

Pada satu sisi, keberhasilan itu bikin Union menjadi pusat perhatian. Setiap kali tim asal Berlin itu bertanding, Stadion An der Alten Forsterei, pun hampir selalu dipenuhi penonton: kelas pekerja, anak punk, anak skinhead, para pelajar, hingga para pembangkang pemerintah.

Namun pada sisi lain, keberhasilan Union meresahkan Stasi. Bagaimana pun, menurut Stasi, para pembangkang tak boleh menguasai ibu kota. Alhasil, mereka lantas melakukan segala cara untuk bikin BFC Dynamo, tim bentukan Stasi asal Berlin, menjadi penguasa Oberliga--kompetisi tertinggi di Jerman Timur--.

Pertama-tama, mereka mulai mempereteli skuat Dynamo Dresden, tim paling jagoan di Oberliga. Karena Dresden disokong oleh kepolisian, Dresden tak bisa mengelak, dan BFC Dynamo pun seketika dihuni pemain-pemain bintang.

Setelah Dresden, giliran penyelenggara liga dan peserta Oberliga lainnya mereka hajar. Charlie Lawrie, dalam The Story of FC Union Berlin, The Cult Club You All Wish You Supported menuliskan, "Stasi seringkali menyuap wasit agar Dynamo meraih kemenangan. Selain itu, lawan-lawan Dynamo juga sering bermain ogah-ogahan karena takut dikekang."

Cara culas itu memang bikin Dynamo menguasai Oberliga. Dari tahun 1979 hingga 1988, Dynamo berhasil merengkuh 10 kali gelar liga. Namun, Stasi masih tetap geram karena BFC Dynamo Berlin ternyata tak becus mengalahkan popularitas Union di Ibu Kota Berlin.

Situasi ini diperparah dengan jumlah penggemar Union yang terus bertambah karena petinggi klub tersebut merupakan orang partai yang tak bisa disetir Stasi. Sebagian dari penggemar ini adalah orang-orang yang muak dengan rezim otoriter komunis Jerman Timur.

Rivalitas antara Dynamo dan Union pun semakin memanas. Union boleh jadi terus menjadi bulan-bulanan Dynamo di atas lapangan, tetapi mereka selalu menang telak di luar lapangan.

"Aku terpesona dengan keliaran dan kebebasan. Saat itu, aku tidak pernah melihat orang dewasa bernyanyi dan mengumpat di depan umum. Namun, ketika kami mendapatkan tendangan bebas, kami selalu berteriak: "Tembok itu harus dihancurkan (merujuk Tembok Berlin yang jadi perbatasan antara Jerman Barat dan Jerman Timur)". Sebagai anak kecil, aku lantas berpikir: "Mengapa tidak ada polisi yang mendatangi kami?"," kata Ralf Zimmermann, fans Union Berlin, saat mengingat masa-masa itu.

Untuk semua itu, Eulenspeigel, salah satu media lawas asal Jerman, pun pernah memberikan gambaran menarik tentang para penggemar Union: "Tidak semua penggemar Union Berlin adalah musuh pemerintah, tetapi setiap musuh pemerintah adalah penggemar Union Berlin."

Cara Union Bertahan Hidup

Jerman Timur dan Jerman Barat akhirnya kembali bersatu pada 3 Oktober 1990. Sekitar satu tahun setelahnya, harapan para penggemar Union pun jadi nyata: Tembok Berlin sama rata dengan tanah. Sayangnya, daripada membawa harapan baru, runtuhnya tembok itu justru sempat mengubur Union secara perlahan.

Saat memulai kompetisi di liga Jerman, Union hanya identik dengan hal-hal buruk: degradasi hingga ke divisi empat, utang, perjuangan untuk bertahan hidup, hingga menghindar dari kebangkrutan.

Situasi buruk yang dialami Union tak lepas dari jomplangnya ekonomi antara Jerman bagian barat dan bagian timur. Bahkan, menurut Uli Hesse, salah satu penulis sepakbola asal Jerman, ketimpangan ekonomi ini masih terasa hingga 2014.

Kala itu, tulis Hesse, "Tidak ada sponsor besar di bagian timur. Berdasarkan data dari Sport Inside, ada 13 ribu perusahaan besar di Jerman, tetapi hanya sekitar 1.400 yang berada di timur. Akibatnya, sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa kekuatan ekonomi di timur masih 30 persen berada di bawah barat."

Pada akhirnya Union dan klub-klub asal Jerman Timur sulit bersaing dengan tim-tim asal Jerman Barat. Hanya beberapa klub yang mampu menembus Bundeliga. Sisanya, seperti Union, mereka pun hanya berkutat di divisi bawah liga.

Lantas, bagaimana Union Berlin bisa keluar dari situasi sulit tersebut hingga bisa sampai ke Bundesliga? Jawabannya sederhana: melalui dukungan penggemar.

Pada 2004, Union Berlin butuh dana segar sebesar 1,5 juta paun untuk menghindari kebangkrutan. Dirk Zingler, seorang pebisnis sekaligus penggemar yang saat ini menjabat presiden klub, dan para penggemar Union lainnya pun langsung pasang badan. Zingler mengeluarkan sebagian besar dana talangan dan para fans berkampanye Bleed for Union.

Dalam kampanye itu, para penggemar Union mendonorkan darah mereka dan hasil penjualan darahnya digunakan untuk keperluan klub.

Empat tahun berselang, para penggemar kembali melakukan sesuatu yang sulit yang dibayangkan penggemar sepakbola kebanyakan. Mereka dengan sukarela ikut merenovasi Stadion An der Alten Forsterei yang mulai menua.

"Ini adalah pengalaman yang paling unik di sepanjang karierku," kata Sylvia Weisheit, kepala proyek renovasi tersebut. "Para penggemar menghabiskan waktu luang dan liburan mereka untuk bekerja di stadion. Mereka sangat berkomitmen, dan perusahaan mana pun akan senang memiliki pekerja seperti mereka."

Menurut DW, salah satu media asal Jerman, renovasi stadion itu hanya mempekerjakan 10 tenaga profesional. Sisanya, sekitar 60 hingga 80 penggemar Union akan datang pukul 7 pagi untuk membantu renovasi. Jika ditotal, ada 1.600 penggemar yang menghabiskan waktu 90 ribu jam untuk membantu renovasi yang rampung pada pertengahan 2009.

Alhasil, Union bisa mengurangi anggaran: dari estimasi proyek yang seharusnya menghabiskan dana 15 juta euro, mereka bisa menyimpan dana sebesar 2 juta euro.

Namun bukan cuma itu saja yang dilakukan penggemar. Mereka mempunyai cara unik lainnya buat saling menguatkan. Mulai 2003, sehari menjelang malam natal, para penggemar Union akan berkumpul di stadion untuk menyanyikan lagu-lagu natal. Seperti saat mendukung timnya, mereka akan bernyanyi selama 90 menit.

Ide itu muncul dari Torsten Eisenbeiser, salah seorang penggemar. "Setelah beberapa pertandingan yang buruk, di mana kami selalu berdiri bersama-sama di sepanjang pertandingan, kami langsung pulang ke rumah tanpa saling mengucapkan selamat natal," kata Eisenbeiser.

"Aku lantas memberikan ide kepada seorang teman bahwa kami seharusnya datang bersama-sama ke stadion sehari sebelum malam natal untuk menyanyikan lagu-lagu natal," imbunya.

Saat itu, hanya 89 orang yang hadir. Namun kini, acara itu sudah jadi tradisi rutin yang tak hanya diikuti puluhan ribu para penggemar, tapi juga diikuti pemain dan staf klub.

Dari sana, Union Berlin lantas menjadi sebuah kekuatan yang amat solid. Jarak antara para penggemar, pelatih, staf, hingga pemain hampir tak berbatas. Mereka saling percaya hingga akhirnya keajaiban berhasil mengantarkan mereka ke Bundesliga.

Soal kedekatan itu, Christian Arbeit, petugas pers Union Berlin, pernah berkata, "Pesan kami kepada para penggemar sangat jelas: Jika Anda tidak berubah, kami juga tak akan berubah. Jika Anda percaya kami, kami akan percaya kepada Anda."

Baca juga artikel terkait BUNDESLIGA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Mufti Sholih