Menuju konten utama

#UninstallBukalapak & Blunder CEO Bukalapak, Lalu Selanjutnya Apa?

Blunder CEO Bukalapak Achmad Zaky justru bisa jadi hikmah bahwa persoalan riset di Indonesia masih jadi pekerjaan rumah.

#UninstallBukalapak & Blunder CEO Bukalapak, Lalu Selanjutnya Apa?
CEO Bukalapak Achmad Zaky dalam temu media perayaan ke-9 Bukalapak di Jakarta, Rabu (10/1/2019). ANTARA News/Arindra Meodia

tirto.id - “Omong kosong industri 4.0 kalau budget R&D negara kita kaya gini“

Kicauan Achmad Zaky, pendiri marketplace Bukalapak melalui akun Twitter resminya, sempat viral di jagat internet. Ia juga menampilkan tabel perbandingan nilai alokasi belanja riset dan pengembangan negara-negara dunia.

Namun, yang cukup banyak mengundang reaksi warganet adalah soal pernyataan yang diunggah pada 13 Februari 2019 lalu itu adalah frasa "presiden baru". Cuitan itu direspons sebagian netizen, telah dianggap memojokkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sekaligus seolah Zaky mendukung Prabowo Subianto.

“Mudah2an presiden baru bisa naikin,” tutup Zaky dalam twit yang kini telah dihapus.

Data Drone Emprit, mesin analisis media sosial, hingga Jumat, 15 Februari, pukul 10.10 WIB, tersiar 52.471 kicauan bertagar #UninstallBukalapak.

Zaky buru-buru memberi klarifikasi sekaligus permintaan maaf. Dalam siaran pers yang diterima, pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut secara tersirat hanya berharap adanya peningkatan dana riset guna mendorong kemajuan Indonesia.

“Menyatakan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas pernyataan yang saya sampaikan di media sosial. Saya sangat menyesali kekhilafan tindakan saya yang tidak bijaksana tersebut dan kiranya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.”

Kasus Zaky bukanlah hal baru di Indonesia, saat petinggi sebuah korporasi mendapat serangan warganet. Pada Oktober 2018 tagar #UninstallGojek menggema di dunia maya. Penyebabnya, Brata Santoso, Wakil Presiden Pengembangan Bisnis dan Operasi Go-Jek, melalui akun media sosial pribadinya mendukung keberadaan LGBT. Setelah itu, tagar hasutan menghapus aplikasi Go-Jek dari ponsel beredar.

Traveloka juga pernah mengalami kisah serupa. Pangkal kisahnya, Ananda Sukarlan, seorang pianis, melakukan aksi walk-out saat Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, hadir dalam acara 90 tahun berdirinya Kolase Kanisius, almamater Ananda. Ananda beranggapan, aksinya dilakukan karena ada beda nilai yang dikandung sekolahannya dengan Anies. Kebetulan, Derianto Kusuma, pendiri Traveloka, merupakan lulusan Kolase Kanisius. Sebagian warganet menganggap Derianto mendukung aksi Ananda meski tak berkaitan. Tagar #UninstallTraveloka pun sempat bertebaran di internet.

Bukalapak, Traveloka, hingga Go-Jek merupakan tiga dari empat startup utama Indonesia bergelar unicorn. Dari pengalaman Traveloka dan Go-Jek, tidak ada efek terlalu berarti dari aksi sebagian warganet yang meluncurkan aksi #Uninstall. Traveloka, misalnya, sebulan selepas tagar negatif malah membeli tiga startup pesaingnya sendiri, yakni Pegipegi, Travel Book, dan MyTour. Go-Jek beberapa bulan selepas tagar negatif yang sempat beredar, juga justru memperoleh dana segar $920 juta dan $1,5 miliar.

Namun, apa yang diucapkan Zaky bisa jadi adalah keresahan para pelaku industri digital saat ini. Kala negara-negara lain cukup serius membangun dan mengelola industri digital dengan dukungan anggaran riset atau penelitian yang lebih besar.

Infografik tutuplapak

Infografik tutuplapak

Nasib Anggaran Riset di Indonesia

Industri 4.0 atau industri yang ditopang sepenuhnya oleh teknologi digital, memang sukar terpenuhi bila dana risetnya terbatas. Riset merupakan penopang kemajuan teknologi dan riset memang tidaklah murah.

Pada 2018, Indonesia hanya membelanjakan uang senilai $2,1 miliar sebagai modal riset dan pengembangan (R&D). Nilai itu, setara dengan 0,1 persen PDB Indonesia. Ini berdasarkan data UNESCO Institute for Statistics (UIS) yang menghitung total pengeluaran riset pemerintah, swasta, dan kampus. Yang menarik, anggaran riset sektor bisnis atau swasta lebih kecil dari pemerintah.

Pengeluaran R&D keseluruhan Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Cina. Amerika Serikat, di tahun yang sama, membelanjakan uang senilai $476,5 atau setara dengan 2,7 persen PDB mereka untuk riset. Sementara Cina membelanjakan uang senilai $370,6 miliar.

Berkat belanja riset yang besar, Amerika Serikat menduduki peringkat ke-4 soal kualitas riset mereka dalam Global Inovation Index. Cina, duduk di posisi ke-17. Sementara Indonesia, harus puas berada di posisi ke-60.

Pengeluaran riset Indonesia juga kalah jauh bila dibandingkan dengan belanja riset korporasi multinasional, khususnya perusahaan teknologi dunia. Amazon, e-commerce yang didirikan oleh konglomerat Jeff Bezos, membelanjakan uang senilai $22,6 miliar untuk R&D pada 2017. Alphabet, induk Google, mengucurkan dana senilai $16,2 miliar untuk riset. Samsung menggelontorkan kas mereka senilai $15,3 miliar untuk hal yang sama.

Apa untungnya bila negara atau perusahaan yang didukung dana riset yang besar?

Jawabannya adalah melahirkan inovasi dengan indikator berupa paten.

Manny Schecter, Penasihat Kepala Urusan Paten IBM, mengatakan “paten adalah mata uang bagi inovasi.” Sementara itu, Mark Lemley, Profesor pada Stanford University, mengungkap “paten merupakan wakil inovasi, bukan perkara tentang hukum.” Paten, merupakan bentuk pengukuhan atau pengakuan atas lahirnya inovasi. Di dunia teknologi, hampir tidak ada produk teknologi yang lahir tanpa paten.

Dengan duit yang jumbo, perusahaan-perusahaan IT dunia melahirkan ribuan paten saban tahunnya. Amazon, memperoleh 1.963 paten pada 2017. Alphabet memperoleh 2.709 paten di 2017.

Dengan paten-paten yang dimiliki, tak terlalu sukar bagi Amazon atau Google atau perusahaan IT lainnya melahirkan produk yang bisa merevolusi dunia. Apple pada 2007 misalnya, saat merilis iPhone mengungkap bahwa perangkat tersebut tercipta atas lebih dari 200 paten, mulai dari soal user interface hingga “slide-to-unlock.”

Kicauan Zaky justru adalah autokritik bagi dunia korporasi, pemerintah, kampus, bahwa masih ada masalah yang menganga soal nasib dunia riset di Indonesia. Tak perlu dikaitkan dengan politik apalagi dibawa perasaan.

Baca juga artikel terkait BUKALAPAK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra