Menuju konten utama
16 Januari 1946

Umur Pendek Persatuan Perjuangan, Oposisi Pertama di Indonesia

Mendongkel meja.
Lidah berganti dengan
pucuk senjata.

Umur Pendek Persatuan Perjuangan, Oposisi Pertama di Indonesia
Ilustrasi Tan Malaka. tirto.id/Gery

tirto.id - Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, di tengah gejolak revolusi yang mendidih, Republik Indonesia pimpinan Sukarno-Hatta yang masih sangat muda memilih jalan diplomasi dalam menghadapi Belanda. Bekas penjajah itu ingin kembali berkuasa di negeri koloni kesayangannya.

“Dalam sidang pelantikan KNIP (Komite nasional Indonesia Pusat) tanggal 29 Agustus 1945, Bung Karno selaku presiden telah menggariskan bahwa jalan yang ditempuh untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mencari pengakuan internasional bagi Republik Indonesia ialah jalan diplomasi,” tulis Achmad Januar Amroni mengutip Dokumenta Historica (1953) karya Osman Rabily dalam Jurnal Avatara (Vol. 2, No. 3, Oktober 2014).

Garis diplomasi ini kemudian diwujudkan lewat berbagai kebijakan Kabinet Sjahrir I yang terbentuk pada 14 November 1945. Selain melakukan beberapa pertemuan dengan pihak Belanda dan Sekutu untuk berunding, kabinet ini juga menyusun program kerja yang isinya sebagai berikut:

Pertama, menyempurnakan susunan pemerintahan daerah berdasarkan kedaulatan rakyat. Kedua, mencapai koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha untuk membangun negara republik Indonesia dan pembangunan masyarakat yang didasarkan atas keadilan dan kemanusiaan. Ketiga, mengusahakan perbaikan kesejahteraan ekonomi rakyat, antara lain dengan distribusi bahan makanan. Dan keempat, mengusahakan dipercepatnya pemecahan yang memuaskan atas persoalan pengedaran mata uang nasional (Dokumenta Historica, hlm. 104).

Langkah yang diambil pemerintah tersebut, oleh sebagian kalangan, terutama kaum revolusioner, dianggap terlampau lembek kepada Belanda. Pemerintah juga dianggap tidak serius dalam upaya menegakkan kedaulatan Republik Indonesia.

Baca juga laporan in-depth Tirto tentang dekolonisasi Belanda di Indonesia:

Tan Malaka dan Soedirman Menggagas Oposisi

Merespon hal ini, Tan Malaka—sosok yang amat berpengaruh di kalangan kaum revolusioner—kemudian menjawabnya dengan membentuk kelompok oposisi. Pada 3 sampai 5 Januari 1946, di Gedung Serba Guna Purwokerto, diadakan kongres pertama para pejuang revolusioner yang dihadiri 132 organisasi sipil, partai, laskar, dan ketentaraan.

Partai Komunis Indonesia, Serikat Buruh Indonesia, Partai Masyumi, Partai Buruh Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia, Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Angkatan Muda Republik Indonesia, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan organisasi lainnya turut hadir pada kongres pertama tersebut. Tampil sebagai pembicara utama adalah Tan Malaka dan Jenderal Soedirman.

Baca juga:

“Lebih baik diatom sama sekali daripada tak merdeka 100%,” ujar Soedirman dalam pidatonya seperti dikutip Roeslan Abdulgani dari Kedaulatan Rakjat (6/1/1946) di buku Soedirman-Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan (2004).

Pada pertemuan pertama ini, Tan Malaka menjelaskan tentang rencana pembentukan Volksfront (Front Rakyat) dan Minimum Program. Keduanya diperlukan agar tujuan rakyat Indonesia tercapai dalam melawan Belanda dan sekutunya, yang pada akhirnya nanti akan mengakui kemerdekaan Indonesia 100%.