Menuju konten utama

UMP 2023: Di Bawah Bayang-Bayang Resesi & Hajatan Politik

Di tengah meningkatnya risiko resesi tahun depan, kenaikan UMP sebesar 10% ini memicu polemik.

UMP 2023: Di Bawah Bayang-Bayang Resesi & Hajatan Politik
Sejumlah pencari kerja membaca lowongan pekerjaan pada acara bursa kerja di BBPVP (Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas) Cevest , Bekasi, Jawa Barat Rabu (7/9/2022). ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/foc.

tirto.id - Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2023 naik maksimal 10%. Di tengah risiko resesi tahun depan, kebijakan ini pun memicu polemik terutama di kalangan pengusaha.

Keputusan mengenai besaran UMP itu dituangkan dalam Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Periode penetapan dan pengumuman UMP 2023 yang sebelumnya ditetapkan paling lambat pada 21 November 2022, kini diperpanjang menjadi paling lambat 28 November 2022.

Di sisi lain, Upah Minimim Kabupaten/Kota (UMK) yang sebelumnya ditetapkan paling lambat 30 November 2022 kini diubah menjadi paling lambat 7 Desember 2022. Ini mengindikasikan bahwa pembahasan derivasi UMP tersebut terhitung alot.

Seperti diketahui, UMP merupakan instrumen untuk menjamin kesejahteraan buruh. Hasil studi empiris menunjukkan bahwa kebijakannya tidak selalu sejalan dengan tujuan utama kesejahteraan nasional.

Berkaca dari penelitian Latri Wihastuti dan Henny Rahmatullah berjudul Upah Minimum Provinsi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Pulau Jawa yang terbit di Jurnal Gama Societa pada 2018, UMP dan pertumbuhan ekonomi berimbas pada penyerapan tenaga kerja.

Oleh karena itu, peneliti menyarankan pemerintah daerah berhati-hati dalam menentukan kebijakan besaran UMP, agar hasilnya tidak kontraproduktif dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan nasional.

"Penentuan UMP yang bersifat politis memberikan tantangan tersendiri bagi keberpihakan pemerintah terhadap tenaga kerja," demikian petikan isi penelitian tersebut.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 135 juta penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2022. Meski turun sekitar 300 ribu dari Februari 2022, angka itu terhitung naik 4 juta orang dibandingkan tahun lalu ketika pandemi Covid-19 lagi gawat-gawatnya.

PENYALURAN BANTUAN SOSIAL PEKERJA PABRIK ROKOK

Sejumlah pekerja pabrik rokok antre menerima bantuan sosial di salah satu pabrik rokok di Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (27/10/2022). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/nym.

Sebagian besar di antara para pekerja tersebut berstatus sebagai buruh, baik di sektor formal maupun informal, yang berserikat ataupun tidak. Dengan kata lain, jumlahnya nyaris setengah dari total penduduk kita.

Di negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, suara sebanyak itu tentu segmen potensial dan daya tarik yang menggoda. Gelagat ini sudah awam terlihat sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia.

"Di lain pihak, Pemerintah Republik selalu memandang gerakan serikat buruh secara politik diperlukan dan diinginkan," ujar Iskandar Tedjasukmana pada penelitian berjudul Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia (2008).

Bicara buruh, berarti bicara upah. Opsi kenaikan UMP pun menjadi strategi terbaik untuk merebut hati dan suara mereka. Apalagi, periode 2023 juga merupakan tahun strategis, jelang suksesi kepemimpinan di tingkat nasional.

Tak hanya akan menghadapi ajang pemilihan presiden (pilpres), negeri ini pada 2024 akan menjalankan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Dus, suara buruh pun semakin seksi.

Sarana Tarik Simpati Buruh?

Kenaikan UMP sebesar 10% pada 2023 itu diperoleh berdasarkan rumus baru yakni UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)). Variabel yang dihitung adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Aturan baru ini menjadi semacam anomali, yang menurut sebagian kalangan justru menunjukkan upaya pemerintah “memihak buruh” demi menarik simpati mereka jelang perhelatan akbar pilpres dan pilkada 2024.

Berbeda dari biasanya, di mana penetapan UMP cenderung ditolak buruh dan didukung pengusaha, kali ini posisi berubah 180 derajat. Bagi kalangan buruh, kenaikan maksimal 10% tahun depan bisa diterima meski beberapa masih berharap pemerintah daerah melakukan diskresi.

Sumatera Utara contohnya. Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumatera Utara Willy Agus Utomo berharap gubernur, bupati dan wali kota menaikkan UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 13%.

"Kalau kenaikannya hanya 10%, buruh Sumatera Utara masih tetap belum naik gaji, hanya mengejar ketertinggalan upah," kata Willy melalui keterangan resminya, Senin (21/11/22).

Tidak tanggung-tanggung, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengapresiasi Presiden Joko Widodo dan Menteri Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Hal ini diucapkannya [ada konferensi pers daring Minggu (20/11/2022) lalu.

Apresiasi ini terbilang langka diucapkan kalangan buruh terutama sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. "Terima kasih Presiden Joko Widodo dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah," ujarnya.

Said berterima kasih kepada pemerintah karena tidak lagi menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan—yang merupakan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang ditentang buruh.

Infografik Ada yang panik kalau UMP naik

Infografik Ada yang panik kalau UMP naik. tirto.id/Mojo

Kalangan pemberi upah, alias pengusaha, yang biasanya cenderung seirama dengan arah kebijakan pemerintah, kini menolak lebih keras sebagaimana disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani.

Dia menyindir pemerintah karena memilih formula baru ketimbang menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Padahal, kata dia, peraturan itu merupakan produk turunan Undang-undang Cipta Kerja yang dimotori pemerintah.

Dus, ketika pemerintah menerapkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, menurut pengendali jaringan Hotal Sahid ini, sama artinya pemerintah menjilat kebijakannya sendiri.

Jika kenaikan UMP mencapai 10% pada tahun depan, Haryadi memperkirakan sektor padat karya akan tertekan dan pelaku usaha kesulitan memenuhinya. Ujungnya, penciptaan lapangan kerja berkurang.

Tak ketinggalan, Haryadi juga menyinggung perekonomian global yang sedang lesu. Menurutnya, industri padat karya sudah merasakan dampaknya sejak Semester II/2022.

"Jika ketentuan dalam PP 36/2021 tentang Pengupahan tersebut diabaikan, akan semakin menekan aktivitas dunia usaha bersamaan dengan kelesuan ekonomi global pada tahun 2023," ujar Haryadi melalui keterangan resmi, Senin (21/11/2022).

Penolakan turut dinyatakan Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Jakarta Sarman Simanjorang. Dia bersikukuh pelaku usaha akan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021, dan tak mengacu aturan baru.

Dia mengingatkan dinamika perekonomian global yang tengah guncang. Meski pertumbuhan ekonomi dalam negeri menyentuh 5,72% secara tahunan (year-on-year/yoy) di kuartal III/2022, faktanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) marak.

"Jangan sampai istilahnya: siapa yang menetapkan, siapa yang menggaji. Yang mengetahui kemampuan dunia usaha itu ya pelaku usaha masing-masing," kata Sarman kepada Tirto, Rabu (23/11/2022).

Sitir Resesi, Pemerintah Bela Kenaikan UMP

Menanggapi keluhan pengusaha, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengklaim Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tetap selaras dengan PP 36/2021 dan Undang-Undang Cipta Kerja—yang menjadi primadona bagi pengusaha.

"Permenaker ini sebenarnya menjalankan perintah PP 36, di mana Kementerian Ketenagakerjaan memberi kewenangan untuk memberikan pedoman penetapan upah minimum dan gubernur memiliki kewenangan menetapkannya. Sebenarnya Permenaker 18 2022 ini sesuai dengan PP 36/2021," kata Ida dikutip CNN Indonesia Selasa (22/11/2022).

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pun ikut bicara. Dia mengklaim kenaikan UMP 2023 berpotensi mendongkrak daya beli rakyat. Peningkatan daya beli tentu berdampak positif pada geliat dunia usaha mengingat ancaman resesi global menanti tahun depan.

Rasa percaya diri Teten bangkit demi pertumbuhan ekonomi nasional disumbang konsumsi rumah tangga. Porsinya mencapai 54%.

"Artinya kalau nanti UMP naik, ini akan memperkuat daya beli (masyarakat) sebenarnya dan meningkatkan optimisme untuk pertumbuhan ekonomi," kata Teten dikutip Jawa Pos, Selasa (22/11/2022).

Bicara soal resesi, Teten mengacu pada proyeksi lain bahwa ada ancaman resesi dan multikrisis pada 2023. Seperti ulasan Tirto sebelumnya, ancaman ini kelewat nyata, mulai dari pasokan pupuk hingga potensi cuaca ekstrem.

Fakta lainnya, resesi tidak hanya dibahas di dalam negeri. Bank Dunia (World Bank) mengupasnya dalam laporan khusus September 2022. Bayang-bayang resesi ini muncul di tengah gejolak geopolitik dunia yang melibatkan beberapa negara.

Kans terjadinya resesi diprediksi meningkat. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI belum lama ini, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa perlambatan ekonomi global sudah terasa.

Pertumbuhan yang awalnya diperkirakan sampai 3% (yoy) berpotensi turun menjadi 2,6% (yoy) dan bahkan berisiko anjlok 2,0% (yoy). Resesi kemungkinan melanda Amerika Serikat (AS) dan Eropa dengan probabilitas mendekati 60%.

Untuk menghindari dampak buruk tekanan global, Indonesia disarankan mempererat sinergi lintas sektor. "Sinergi, sinergi, sinergi. Koordinasi, koordinasi, koordinasi. Koordinasi harus erat," ujar Perry dikutip CNBC Indonesia.

Mengutip pesan Perry, ada baiknya buruh dan pengusaha bersinergi dan berkoordinasi, untuk menentukan UMP yang saling memenangkan (win-win solution) di tengah situasi yang kian sulit. Bukan hanya mengejar kepentingan politik saja.

Baca juga artikel terkait BURUH atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono