Menuju konten utama
Hikayat Ramadan

Ulama Mestinya Menebarkan Kasih Sayang, Bukan Kebencian

Dakwah dan semangat beragama merupakan bagian dari syiar Islam. Namun kiwari semangat tersebut justru banyak menebar kebencian dan ketakutan.

Ulama Mestinya Menebarkan Kasih Sayang, Bukan Kebencian
Ilustrasi dua ulama. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ibnu Hazim sekali waktu pernah mewanti-wanti, “Kalaulah kelak engkau sampai pada zaman ketika semangat orang mendengarkan ceramah lebih besar dibandingkan gairah untuk mengaji dan diskusi, maka ketahuilah sesungguhnya kau sedang berada di paling hina-hinanya zaman.”

Peringatan Ibnu Hazim ini didasarkan pada rasa gundahnya akan fenomena cara beragama umat manusia di akhir zaman. Semangat belajar agama jauh lebih rendah dibandingkan semangat untuk mengamalkannya. Akibatnya, manusia dengan semangat beragama tinggi namun bermodal pengetahuan agama cupet, cenderung mudah jatuh pada proses penghakiman terhadap orang lain.

"Pandai menjadi pengacara atas kesalahan diri sendiri, dan lihai menjadi hakim bagi kesalahan orang lain," kata Habib Ali Zainal Abidin bin Segaf Assegaf meringkas watak manusia seperti itu.

Dalam Al-Mawa’idz fi al-Ahadits al-Qudsiyyah, terdapat sebuah hadis Qudsi bahwa Allah menegur sikap manusia yang cenderung tidak toleran terhadap perbedaan. Allah berfirman, "Jangan pernah kau melaknat manusia. Sebab laknat yang kau keluarkan itu akan kembali kepadamu. Tidakkah kau lihat bahwa langit bisa tegak tanpa tiang hanya dengan satu nama-Ku, tapi kenapa hatimu sulit tegak sekalipun dengan seribu nasihat yg ada di dalam kitab-Ku?"

Sekali waktu, Nabi Ibrahim mendapat teguran langsung dari Allah karena sikapnya yang cenderung memaksakan keyakinan kepada seorang Majusi yang meminta makan kepadanya.

“Kau akan kuberi makan, tapi syaratnya masuk agamaku dulu,” ucap Ibrahim.

Seperti ditulis Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam Risalah Qusyairiyyah, Allah kemudian menegur Nabi Ibrahim, “Aku (Allah) telah memberi Majusi ini makan tidak kurang dari lima puluh tahun, dan selama itu Aku tak pernah mempersoalkan statusnya sebagai orang kafir. Giliran dirimu yang baru akan memberinya makan satu piring saja kau persoalkan keyakinannya."

Cerita yang menimpa Ibrahim sejalan dengan pendapat Abu Sa’id Ibnu Khair dalam Asrāru Tauhid fi Maqāmi Abu Sa’id. Sekali waktu, Abu Sa’id ditanya seseorang, “Seberapa banyak sesungguhnya jalan menuju Tuhan? Jika memang ada, seberapa macam jalan dan pintu-pintu menuju Tuhan?”

Abu Sa’id menjawab, “Sungguh jalan menuju Tuhan sangat banyak. Tak berbilang jumlahnya. Namun menurutku, jalan yang paling dekat, baik, dan cepat menuju-Nya adalah dengan cara memberikan pelayanan dan rasa nyaman kepada orang lain. Dan inilah jalan yang aku tempuh. Sujud tertinggi seorang hamba adalah dengan jalan membahagiakan sesama.”

Infografik Hikayat Ulama ulama pengembara Ilmu

Infografik Hikayat Ulama ulama pengembara Ilmu. tirto.id/Nadya

Ulama Menebarkan Kasih Sayang

Keluasan cara pandang dan kedalaman pemahaman Abu Sa’id Ibnu Khair tentu didasari ilmu agama yang mendalam, sehingga ia menjadi pribadi yang mampu memandang apapun yang ada di sekitarnya dengan penuh kasih sayang.

"Alladzīna yanzuru ilal ummah biaini rahmah (ulama adalah mereka yang memandang umat dengan tatapan yang penuh dengan kasih sayang)," ucap K.H. A Mustofa Bisri.

Kiwari, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak pandakwah yang lebih kerap bersikap menakut-nakuti umat. Isi ceramah dan pengajiannya lebih banyak menampilkan wajah agama yang penuh dengan larangan, seperti tentang dosa dan neraka.

Semakin sulit mencari penceramah yang memberikan kesejukan di tengah kerontangnya pemahaman umat. Jauh hari, lal ini pernah disinggung oleh Syamsuddin Tibriz dalam Qawāidul Isyq Arbain.

“Juru dakwah dan penceramah palsu yang ada di dunia ini jumlahnya tidak sebanyak bintang gemintang di langit. Kau mesti mengerti mana juru dakwah yang haus kekuasaan, serta mana juru dakwah sungguhan. Juru dakwah sejati tidak akan pernah memintamu untuk mematuhinya secara total. Ia tidak narsis, gila hormat dan berharap pujian."

Dalam pandangan Al-Ghazāli, juru dakwah palsu termasuk salah satu kategori hamba yang tertipu dan terperdaya oleh dirinya sendiri. Dan persoalan semakin rumit ketika kondisi tersebut menemukan ladang persemaiannya, yakni ketika definisi dakwah digeser dan dimaknai bukan semata menyampaikan ajaran agama, namun sebagai ajang hiburan.

Dalam kondisi seperti inilah kegundahan Ibnu Hazim menemukan relevansinya, yakni lahirnya juru dakwah palsu yang tidak kompeten di era industri dakwah.

==========

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.

Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan lainnya dari Fariz Alniezar

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fariz Alniezar
Editor: Irfan Teguh