Menuju konten utama

Ujung Nasib Minhati Madrais, Perempuan Bekasi, Istri Panglima Maute

Minhati diklaim otoritas Filipina sebagai pengatur logistik dan keuangan Grup Maute, kelompok paling sengit bertempur di bawah bendera ISIS di Marawi.

Ujung Nasib Minhati Madrais, Perempuan Bekasi, Istri Panglima Maute
Ilustrasi Minhati Madrais, janda Omarkhayam, panglima Maute. tirto.id/Gery Paulandhika

tirto.id - Rumah sederhana bercat putih itu dikelilingi tembok setinggi dua meter. Gerbang besi berwarna cokelat memagari rumah tersebut. Penutup pagar dari polikarbonat menyembunyikan aktivitas di dalam rumah dari pandangan orang luar.

Namun, Minggu pagi, 5 Oktober lalu, ada sedikit kegaduhan di rumah itu—yang berlokasi di 8017 Steele Makers Village, Tubod, Kota Iligan, Filipina. Semula terlihat 5 mobil polisi terparkir di perempatan jalan di dekat rumah tersebut. Beberapa menit kemudian, derap sepatu laras terdengar. Belasan polisi menyerbu masuk rumah.

Tidak ada baku tembak. Semua berjalan senyap; sesekali tangisan anak kecil terdengar. Seorang perempuan dan enam anak kecil kemudian digiring oleh polisi ke dalam minibus Elf. Saat proses penangkapan, anak-anak kecil ini menantang polisi dengan mengangkat jari telunjuk, menunjukkan simbol tauhid. Meski begitu, operasi penangkapan Minhati Madrais berjalan lancar.

Minhati adalah istri dari Omarkhayam Maute, salah seorang pemimpin kelompok ISIS yang membuat kekacauan di Marawi dalam enam bulan terakhir. Omar sudah dinyatakan tewas oleh otoritas Filipina pada 17 Oktober lalu. Kepalanya pecah tertembak sniper pasukan Filipina.

Baca juga: Selamat Datang di Marawi, 'Kota Hantu' Penuh Peluru

Minhati, atau akrab disapa Mien, berasal dari Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Ayahnya adalah KH Madrais Hajar, seorang ulama terkemuka sekaligus pemilik Pondok Pesantren Darul Amal di Bekasi.

Pada 2012, Mien dan Omar—yang sempat tinggal di Indonesia selama 2 tahun—memutuskan pergi ke Filipina.

Setahun setelah Omar kembali ke Filipina, Grup Maute mulai populer. Keonaran pertama yang diciptakan adalah menyerang pos pemeriksaan militer di Madalum, Lanao del Sur.

Sejak konflik meletus akhir Mei lalu, Minhati dan anak-anaknya langsung diungsikan jauh-jauh dari Marawi oleh Omarkhayam.

Evakuasi serupa dilakukan Omarkhayam kepada mertua Minhati, Cayamora Maute dan Farhana Maute, ke Kota Davao dan Kota Masiu. Beda dengan Mien, pelarian Farhana dan Cayamora hanya bertahan dua minggu; keduanya ditangkap oleh pasukan Filipina pada pertengahan Juni lalu.

Baca juga soal profil Grup Maute: 'Anak Muda Tak Tahu Diri' dalam Perang Marawi

Iligan, tempat pelarian Minhati, adalah kota besar sebagai pusat bisnis dan logistik yang bergairah di bagian utara Mindanao. Jaraknya hanya 45 menit dari Marawi.

Ibukota Provinsi Lanao del Norte ini jadi pusat komando operasi tempur di Marawi. Atas dasar itulah banyak pos penjagaan dan serdadu militer di seantero kota, termasuk di dalam mal, sekolah, pasar, atau bahkan gang-gang sempit. Juli lalu, saat saya tinggal di sana selama seminggu, desas-desus beredar bahwa militan ISIS di Marawi akan melancarkan aksi bom mobil di Iligan.

Pepatah tempat teraman adalah tempat paling dekat dengan musuh dipakai Omarkhayam untuk menyelamatkan Minhati. Ia menyamarkan kehadiran Minhati di tengah puluhan ribu pengungsi Marawi di kota itu.

Ditangkap karena Rutinitas Sepele tapi Mencurigakan

Saat ini Iligan jadi rumah kedua bagi para penduduk Marawi. Perang membuat Marawi jadi kota terlarang bagi warga sipil. Sekitar 200 ribu penduduknya dipaksa tentara mengungsi meninggalkan rumah, toko, dan kantor yang dibiarkan kosong melompong.

Dan mayoritas pengungsi ini pergi ke Iligan. Ada empat kamp pengungsi besar menampung sekitar 20 ribu orang di Iligan: Maria Christina Gym, Burrun Gym, Tomas Cabily Gym, dan School of Fisheries.

Bagi kaum papa, tinggal di kamp pengungsi yang tak jenak, bau, dan sumpek jadi satu-satunya pilihan. Tapi bagi kaum berduit, mereka memilih tinggal di hotel atau mengontrak rumah seperti dilakukan Minhati selama lima bulan terakhir.

Inan, seorang relawan dari LSM lokal kepada saya sempat mengatakan bahwa perang di Marawi membuat masyarakat Iligan, yang mayoritas Katolik, kini lebih terbuka dan menghargai pendatang, khususnya etnis Maranao dari Marawi.

"Semenjak perang, kami lebih toleran satu sama lain," katanya.

Dan mungkin karena sikap terbuka penduduk lokal itulah, gerak-gerik kaum pendatang, termasuk Minhati, bisa leluasa.

Namun, di tengah penerimaan itu, seorang informan saya mengisahkan bahwa terbongkarnya persembunyian Minhati disebabkan oleh hal sepele.

Berstatus buronan telah membuat Minhati mengisolasi diri, termasuk anak-anaknya. (Selama masa pelarian, Minhati tinggal bersama 6 anaknya; Empat di antaranya anak perempuan berusia 12 tahun, 10 tahun, 7 tahun, dan 6 tahun; dua anak laki-laki berusia 2 tahun dan bayi berumur 9 bulan.)

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Minhati mengandalkan anak-anaknya yang disuruh pergi ke warung sekitar kompleks. Dari sinilah muncul kecurigaan.

"Anak-anak itu tidak berbicara dalam bahasa Tagalog, Bisaya, atau Maranao. Tapi berucap bahasa yang sulit dimengerti. Informasi ini kemudian diteruskan ke pihak keamanan," kata si informan.

Kisah ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh The Daily Inquirer. Jason (bukan nama sebenarnya), tetangga Minhati, mengatakan pada masa-masa awal tinggal di rumah kontrakan itu, yang ditugasi pergi ke luar rumah oleh Minhati biasanya seorang wanita berusia 50-an.

Namun, katanya, wanita tua itu telah pergi. Sejak itulah peran membeli makanan dilakukan oleh anak-anaknya.

"Tapi mereka berbicara bahasa yang berbeda. Bahkan tetangga Maranao kita pun tidak bisa memahaminya," katanya.

Informasi oleh masyarakat, yang jadi muasal terbongkarnya persembunyian Minhati, diakui oleh Kepala Polisi Iligan, Leony Roy Ga.

"Penangkapan Madrais (Minhati) semuanya terbantu berkat info dari masyarakat," ucapnya kepada Sunstar Philippines.

Infografik HL Indepth Marawi pasca ISIS

Peran Minhati pada Grup Maute

Mengapa Omarkhayam menempatkan Minhati mengontrak di 8017 Steele Makers Village?

Kawasan ini tepat dilintasi Jalan Lanao del Norte Interior Circumferential. Jalur ini adalah jalan pintas dari Iligan menuju Marawi.

Jika melewati jalur utama, kita akan melewati Desa Suarez, Maria Christina, Ditucalan, dan Buruun. Pada lokasi inilah terdapat beberapa pos pemeriksaan militer yang dijaga cukup ketat. Penumpang mobil atau motor mesti berjalan kaki dan menunjukkan identitas saat melintasi pos-pos tersebut. Pada jam-jam sibuk, kemacetan akibat proses pemeriksaan militer bisa mengular hingga 2 sampai 3 kilometer.

Penjagaan lebih renggang mulai terlihat di Jalan Lanao del Norte Interior Circumferential. Saya sempat mencoba berangkat ke Marawi dari Iligan lewat jalur ini pada pukul 6 pagi. Dari lima pos pemeriksaan, semuanya nyaris tak dijaga oleh tentara. Selain jalur ini memang jarang dilintasi orang, jalan pintas ini pun berkelak-kelok dan minim penerangan saat malam hari.

Jadi tak menutup kemungkinan penempatan Minhati di Tubod tak terlepas dari kepentingan Omarkhayam untuk memantau atau mungkin berjumpa dengan istri dan anak-anaknya di sela-sela perang.

Saat menangkap Minhati, polisi semula tak menyadari bahwa perempuan yang diciduk itu adalah "istri dari teroris paling berbahaya" di Filipina. Selama ini Minhati tidak masuk dalam daftar pencarian orang yang dirilis oleh polisi dan militer, dan wajahnya pun tak ada dalam 'daftar buru' di setiap pos pemeriksaan.

Permintaan Departemen Pertahanan Filipina kepada polisi saat itu hanya menangkap seorang perempuan dengan inisial "Baby". Sosok "Baby" ini berada dalam urutan teratas daftar pencarian kategori ASSO (Arrest, Search, Seizure, Order) yang dirilis Dephan.

"Hanya ada satu nama alias 'Baby' dalam daftar ASSO. Dan sekarang kami tahu, dia adalah istri Omar Maute," kata Kepala Polisi Iligan, Leony Roy Ga.

Direktur Jenderal Kepolisian Filipina, Ronald Dela Rosa, menyebut Minhati "berperan penting" dalam kelompok Maute.

"Istri teroris pembunuh Omarkhayam Maute asal Indonesia bertindak sebagai pemodal kelompok teror Maute," klaimnya.

Ia menyebut peran Minhati persis seperti Farhana, ibu Omarkhayam, yang menangani pelbagai masalah keuangan dan logistik. "Dia mengatur logistik dan keuangan seperti anggota kelompok perempuan lainnya," katanya, lagi.

Berdasarkan informasi dari Kepolisian Filipina, setidaknya sebelum konflik Marawi meletus, Minhati tinggal bersama suaminya di gunung dan hutan. Pada Februari 2016 hingga April 2017, suaminya memimpin perang sengit melawan pasukan Filipina di Butig dan Piagapo.

Seorang petinggi Front Pembebasan Islam Moro (MILF) berkata, saat pertempuran Butig, ia menerima informasi bahwa ada tiga WNI perempuan yang terjebak di sana.

"Ada seorang internal mereka yang meminta saya menyelamatkan tiga wanita Indonesia. Tentu saja saya tidak bisa menolong mereka," ucapnya. Kemungkinan besar, satu dari tiga wanita ini adalah Minhati Madrais.

Baca juga dua serial laporan Tirto dari pertempuran di Marawi, Agustus 2017:

Upaya ISIS Menjadikan Marawi sebagai 'Mosul Kecil' di ASEAN

Senjata Pindad Dipakai Kombatan ISIS Marawi

Pengakuan Keluarga Minhati Madrais

Sejak kapan Minhati mengikuti jejak suaminya menjadi seorang radikal?

Bapak Minhati, KH Madrais Hajar, kepada saya mengatakan bahwa ia sudah tak berhubungan lagi dengan putri dan menantunya sejak akhir tahun 2012.

"Anak saya juga enggak bisa saya paksa ikut pulang karena terikat dengan dia (Omar). Dan, lagi pula, sudah ada anak (cucu). Setelah pulang dari sana, mungkin karena merasa malu dan bersalah mengkhianati perjanjian, jadinya ya enggak pulang lagi (ke sini). Sampai sekarang enggak ada kabar lagi," kata Madrais dalam satu wawancara dengan saya pada 11 Agustus lalu di Bekasi.

Baca juga: "Di Marawi, Saya Bujuk Putri Saya Pulang ke Indonesia"

Namun, klaim Madrais yang menyebut tak pernah lagi berjumpa dengan sang anak sejak 2012 bisa sangat terbantahkan. Ketika Kelompok Maute meraih popularitas atas teror yang dilancarkan pada 2013, setahun kemudian Minhati terdeteksi hadir di Indonesia.

Dari penelusuran aktivitas di Facebook Minhati, diketahui bahwa pada 28 September 2014, ia berada di Indonesia menghadiri perkawinan kerabatnya. Acara pernikahan ini pun ternyata dihadiri oleh KH Madrais.

Kini, setelah putrinya ditangkap pada Minggu pagi, Madrais hanya berserah diri. Ia cuma membalas pesan pendek saya: "Sudah ada dari keluarga yang saya tugaskan untuk mengurus anak saya. Saya hanya bisa berdoa, semoga mereka bebas dan bisa kembali ke Indonesia."

Dalam beberapa hari atau pekan ke depan, Minhati bakal di Manila untuk menjalani proses hukum di bawah otoritas ketat Filipina. Selasa pagi kemarin, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mengirimkan lima anggotanya ke Manila agar "bisa mendapatkan akses menginterogasi Minhati".

"Penting untuk kami melakukan investigasi mendalam," kata Martinus Sitompul dari Polri.

Baca juga: Densus 88 Temui Minhati Madrais, Janda Omar Khayam, di Filipina

Baca juga artikel terkait MILITAN MAUTE atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Politik
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam