Menuju konten utama

UGM Susun Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Draf peraturan tentang anti kekerasan seksual sudah diserahkan ke Rektor UGM Panut Mulyono sejak Mei 2019.

UGM Susun Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Mahasiswa menggelar aksi "Besarkan Bara Agni" di Rektorat UGM sambil membentangkan spanduk berisi tanda tangan peserta aksi pada Kamis (29/11/2018). tirto.id/Dipna Videlia

tirto.id - Universitas Gadjah Mada Yogyakarta melalui tim perumus kebijakan dan tim teknis legal drafting menyusun rancangan peraturan rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Draf peraturan mengacu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang mendudukkan kekerasan seksual tak cuma hubungan seksual melainkan secara luas, termasuk eksploitasi seksual dan ketimpangan relasi kuasa.

“Rancangan Peraturan Rektor ini disusun selama kurang lebih enam bulan melalui proses diskusi internal, workshop dengan berbagai pakar, dan pembahasan kritis dengan perwakilan mahasiswa serta penerimaan masukan dari Jaringan Perempuan Yogyakarta,” ujar Muhadjir Muhammad Darwin, Ketua Tim Perumus Kebijakan, kepada Tirto pada Rabu (29/5/2019).

Peraturan ini mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual yang melibatkan sivitas akademika, dosen, pegawai, tenaga kependidikan (karyawan), baik di kalangan mereka maupun antar-anggota, baik di dalam kampus atau di luar kampus.

Muhadjir berkata pakar yang dilibatkan dalam proses diskusi meliputi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), akademisi dari Universitas Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan Universitas Sebelas Maret, serta Manajemen Etik dan Penguatan Integritas UGM.

Materi hukum yang digunakan untuk menyusun peraturan tersebut adalah hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan , hasil penelitian, jurnal dan buku, serta kamus bahasa maupun kamus hukum.

“Peraturan ini mengatur tujuh ruang lingkup, yaitu jenis kekerasan seksual, sistem pelayanan terpadu, pelayanan korban, penanganan korban, penanganan pelaku, kelembagaan, dan pendanaan,” ujarnya.

Pengaturan terpadu demi pencegahan dan penanganan berbasis perlindungan atas hak asasi manusia secara independen, imparsial, berintegritas, dan berkelanjutan.

Guna mencapai tujuan ini, Rancangan Peraturan Rektor mendorong universitas membentuk Unit Pelayanan Terpadu, Gender Focal Point, dan Komite Etik Penanganan Kekerasan Seksual.

Tim yang dipimpin Muhadjir ini beranggotakan Dekan Fakultas Psikologi UGM Faturochman; Dekan Fak. Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM Ova Emilia; dosen Fak. Ilmu Budaya UGM Wening Udasmoro; dosen Fak. Hukum UGM Sri Wiyanti Eddyono; dosen Fisipol UGM Poppy Sulistyaning Winanti; dosen Fak. Psikologi UGM Tri Hayuning Tyas; dan dosen Fak. Teknik UGM Aswati Mindaryani.

Di samping itu, penyusunan rancangan peraturan juga melibatkan tim teknis yang beranggotakan para dosen dari Fakultas Hukum UGM, yakni Laras Susanti, Muhammad Fatahillah Akbar, dan Faiz Rahman.

Rancangan Peraturan Rektor telah disampaikan kepada Rektor UGM Panut Mulyono, yang selanjutnya akan akan dibahas dalam Forum Senat Akademik, menurut Muhadjir.

Muhadjir mengapresiasi sivitas akademika serta masyarakat yang telah menunjukkan keterlibatan melalui serangkaian diskusi kritis di lingkungan universitas. Dukungan dari berbagai pihak, menurutnya, sangat diperlukan demi Rancangan Peraturan Rektor tersebut.

“Kami berharap Rancangan Peraturan Rektor ini segera dapat disahkan dan diimplementasikan,” ujar Muhadjir.

Payung hukum untuk penanganan kasus kekerasan seksual dibuat menyusul kasus pelecehan seksual di UGM, termasuk kasus terhadap Agni, bukan nama sebenarnya, mahasiswi yang dilecehkan saat menjalani KKN di Maluku pada Juli 2017. Kasus lain melibatkan dosen berinisial EH.

Menurut Muhadjir, berlarut-larutnya kasus EH merupakan salah satu gambaran bagaimana UGM tidak siap menyikapi kasus kekerasan seksual.

UGM juga berlarut-larut menangani kasus Agni, yang jadi sorotan setelah lembaga pers kampus Balairung menulis kasus tersebut. Kasus Agni berakhir dengan "kesepakatan nonlitigasi" antara UGM, pelaku, dan korban.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL DI KAMPUS atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maya Saputri