Menuju konten utama

UGM Mengakui Lamban Saat Tangani Kasus Pelecehan Seksual Agni

"UGM mengakui telah terjadi kelambanan dalam merespons peristiwa ini dan UGM meminta maaf atas kelambanan yang terjadi," kata Rektor.

UGM Mengakui Lamban Saat Tangani Kasus Pelecehan Seksual Agni
Rektor UGM Panut Mulyono menyalami para mahasiswa yang membawa poster dan bersolidaritas atas kasus Agni di UGM Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Panut Mulyono mengakui, kampusnya lamban dalam penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswinya Agni (bukan nama sebenarnya) saat program Kuliah Kerja Nyata (KKN).

"UGM mengakui telah terjadi kelambanan dalam merespons peristiwa ini dan UGM meminta maaf atas kelambanan yang terjadi. Kelambanan ini berdampak serius secara psikologis, finansial, dan akademik pada terduga penyintas dan terduga pelaku," kata Panut saat memberikan keterangan kepada media di UGM, Jumat (7/12/2018).

Selain itu, kata Panut, UGM juga menyadari masih adanya budaya menyalahkan korban dan budaya ini berdampak pada lambatnya pemenuhan hak-hak korban. Untuk itu, UGM melakukan langkah-langkah strategis dalam penanganan kasus ini.

Di antaranya yang sudah dilakukan adalah pembatalan dan menarik terduga pelaku dari keikutsertaannya dalam program KKN periode Juli-Agustus 2017 di Pulau Seram, Maluku.

Selain itu UGM juga telah membentuk Tim Pencari Fakta, Tim Penyusun Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Pelecehan Seks UGM, serta membentuk Komite Etik. Komite itu nantinya yang akan membuat rekomendasi penyelesaian kasus dugaan pelecehan seksual.

Tidak hanya itu, Rektor juga menugaskan sejumlah dekan, terutama dekan tempat terduga penyintas dan pelaku bernaung untuk menjalankan rekomendasi dari Tim Evaluasi KKN.

Di antaranya adalah rekomendasi tentang kepastian nilai KKN dan konseling kepada terduga penyintas dan pelaku.

Sementara itu, teman dekat Agni sekaligus salah satu inisiator gerakan #KitaAgni, Cornelia Natasya juga mengakui penanganan kasus ini berjalan lamban. Pasalnya, kejadian sudah setahun lebih, namun tidak ada kejelasan.

Natasya juga mengaku kecewa dengan sikap UGM yang menyebut kasus ini merupakan dugaan pelecehan seksual, bukan dugaan pemerkosaan. Selain itu, ia juga kecewa karena UGM melanjutkan kasus ini ke ranah hukum.

"Ini menunjukkan UGM melangkahi keinginan penyintas. Padahal tuntutan penyintas kan meminta pelaku di DO [Drop Out]," kata Natasya.

Di sisi lain, Wakil Rektor bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Paripurna Poerwoko Sugarda mengatakan saat ini Komite Etik sedang bekerja untuk memastikan apakah ini merupakan kasus dugaan pelecehan seksual atau dugaan pemerkosaan.

Menurut dia, rekomendasi lainnya paling lambat akan dikeluarkan oleh Komite Etik pada 31 Desember 2018. Sedangkan terkait ranah hukum, Paripurna menjawab bahwa UGM tidak melakukan pelaporan kasus ini ke polisi, melainkan melakukan aduan.

"Polisi jalan sendiri dan UGM mengadukan dengan tujuan agar komunikasi berjalan lebih baik. Semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada terduga penyintas dan terduga pelaku. Sehingga secara psikologis merasa aman meskipun berhadapan dengan pihak kepolisian," kata Paripurna.

Baca juga artikel terkait KASUS PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Alexander Haryanto