Menuju konten utama

Uang Negara yang Tak Kembali dari Hajatan Asian Games

Asian Games adalah investasi jangka panjang. Benarkah?

Uang Negara yang Tak Kembali dari Hajatan Asian Games
Pekerja memasang papan iklan Asian Games 2018 untuk menutupi pengerjaan Mass Rapid Transit (MRT) di Jalan Sudirman, Jakarta, Minggu (22/7). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

tirto.id - Perhelatan Asian Games 2018 tinggal hitungan hari. Gegap gempita menyambut pesta olahraga akbar se-Asia ini sudah nampak. Namum di balik itu semua, Indonesia sebagai tuan rumah harus merogoh puluhan triliun demi pergelaran olahraga yang akan diikuti sekitar 45 negara peserta.

Wakil Direktur Pendapatan Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC) Cahyadi Wanda berkata, biaya yang keluar dari penyelenggaraan dan pembangunan sarana dan prasarana pada Asian Games 2018 memang tidak akan mendapat keuntungan jangka pendek atau balik modal dalam waktu singkat.

Menurut Cahyadi, Asian Games adalah investasi jangka panjang. Keuntungan yang didapat Indonesia akan bisa dinikmati pada tahun-tahun mendatang, bukan pada saat Asian Games berlangsung.

“Kita harus melihat ini investasi untuk jangka panjang. Jadi kita lihat dengan ada Asian Games, kita membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Kita mendatangkan 170 ribu orang dari 45 negara. Itu devisa buat negara,” kata Cahyadi kepada Tirto, Senin (23/7/2018).

Cahyadi mengatakan INASGOC selaku penanggung jawab penyelenggara Asian Games mendapat dukungan dana hampir Rp5 triliun untuk operasional dari pemerintah. Dana itu didapat setelah permintaan awal sebesar Rp8,7 triliun ditolak. Akibatnya, INASGOC harus mencari sponsor untuk menutupi kekurangan

Pencarian sponsor dilakukan dengan berbagai macam kesepakatan, sponsor dalam bentuk uang tunai, produk, atau barter kebutuhan. Namun, jumlah itu pun tidak mencapai angka Rp8,7 triliun yang diajukan oleh INASGOC. Hanya ada sekitar Rp1,6 triliun yang diraih dari sponsor.

“Ini kan efisiensi. Kami kan harus adaptasi dengan apa yang kami punya. Enggak cukup bukan berarti kita batal,” kata Cahyadi.

Uang Negara Tak Kembali

Cahyadi mengatakan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian PUPR bertanggung jawab terhadap pembangunan infrastruktur, seperti arena pertandingan dan lainnya. Total dana yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp27 triliun.

Menurut Cahyadi, jumlah itu dipisahkan dengan anggaran INASGOC. Selaku penyelenggara, INASGOC hanya membangun fasilitas, seperti media center, wifi, dan berbagai hal lainnya. Sehingga uang negara tidak mungkin bisa kembali semudah itu.

“Sekarang gini, pengeluaran Asian Games untuk pengeluaran infrastruktur sudah berapa? Enggak mungkin kita balik. Benerin satu stadion GBK saja sebenarnya enggak mungkin kalau dikembalikan,” katanya.

“Kalau itu harus dikalkulasikan dalam bentuk uang, enggak mungkin kebayar.”

Apa yang dikatakan Cahyadi sangat mungkin karena pengeluaran negara mencapai hampir Rp32 triliun untuk Asian Games (PUPR dan INASGOC), sedangkan pendapatan INASGOC tidak bisa menutupi total target pengeluaran. Dana sponsor Rp1,6 triliun hanya bisa digunakan untuk penyelenggaraan acara. Penjualan tiket dan merchandise juga tidak menutup sama sekali pengeluaran negara untuk Asian Games.

Sebagai gambaran, Cahyadi mengatakan pihaknya menargetkan merchandise mendapat untung Rp20 miliar. Jumlah itu dibagi-bagi kembali dengan 23 perusahaan produsen pembuat merchandise, distributor dan lainnya. Untung bersih yang diperoleh INASGOC diperkirakan hanya mencapai Rp7 miliar.

Penjualan tiket Asian Games juga tak mampu menutupi kekurangan dari target realisasi pengeluaran. Sejauh ini, harga tiket dari Rp750 ribu hingga Rp5 juta per orang. INASGOC beralasan, harga itu ditentukan oleh Olympic Council of Asia (OCA). INASGOC menargetkan adanya penjualan tiket hingga sekitar Rp50-Rp 60 miliar. Namun, tetap saja tak ada keuntungan dari penjualan tiket ini bila dibanding dengan pengeluaran yang jumlahnya triliunan.

Cahyadi berdalih, kontribusi perhelatan Asian Games kepada Indonesia bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk peningkatan pariwisata dan ekonomi lokal. Dengan banyaknya atlet yang datang ke Indonesia, ia yakin ekonomi rakyat Indonesia akan terbantu dari pariwisata hingga kuliner.

Dalam konteks ini, kata Cahyadi, pandangan masyarakat harus diubah. Menurut dia, penyelenggaraan Asian Games bukanlah semata untuk mencari keuntungan semata, tapi lebih kepada mengenalkan Indonesia kepada dunia. Adanya anggaran dari pemerintah, memang digunakan untuk pembangunan dan bukan kewajiban Asian Games untuk mengembalikan anggaran tersebut.

“Itu semua menurut kami sudah profit. Dana dari pemerintah adalah dana dianggarkan [untuk] kami pakai,” kata Cahyadi.

“Lihat keuntungannya. Kita kan negara juga gini ini ketika Asian Games dilakukan kan untuk masyarakat semua dipercepat gara-gara Asian Games. Jadi dalam satu ini, kita melihat investasi bukan mencari keuntungan. Jadi yang penting adalah national branding. Kita maunya ada investor luar masuk ke Indonesia,” katanya.

Ia menegaskan, bila tidak ada Asian Games, maka tentu pembangunan infrastruktur tidak akan dipercepat. Selain pembangunan stadion dan Wisma Atlet di Kemayoran, pembangunan di Palembang juga berjalan, salah satunya LRT.

Cahyadi menegaskan, Asian Games bukanlah ladang tempat mengeruk keuntungan sejak awal, karena Indonesia tetap tidak akan mendapat keuntungan daripada pengeluarannya untuk penyelenggaraan.

“Jadi enggak pernah ada yang namanya kita menyelenggarakan, kita mencari keuntungan sebesar-besarnya, itu enggak ada,” tegasnya.

Apabila ada sisa uang yang didapat dari penyelenggaraan Asian Games, Deputi II Administrasi Pencocokan INASGOC, Francis Wanandi menegaskan, seluruhnya akan masuk ke kas negara. INASGOC adalah lembaga ad hoc yang akan bubar ketika Asian Games selesai diselenggarakan. Namun, uang itu akan dimasukkan ke pos Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Secara garis besar, apabila negara secara keseluruhan tidak mendapat uang kembali dari penggelontoran dana APBN besar-besaran, setidaknya Kemenpora akan mendapat uang hasil tiket penjualan Asian Games sebesar Rp57 – R67 miliar.

“Semuanya masuk ke negara,” kata Wanandi kepada Tirto. “Masuknya ke Lembaga Pengelola Dana dan Usaha Keolahragaan (LPDUK) di bawah Kemenpora.”

Indonesia pada bukan satu-satunya negara yang mengalami pengeluaran dana besar-besaran. Pada penyelenggaraan Olympic tahun 2008 dan 2014, Cina dan Rusia menghabiskan dana sangat besar hanya untuk pesta olahraga tersebut. Mereka menghabiskan dana masing-masing US$40 miliar dan US$51 miliar.

Menurut Cahyadi pesta olahraga seperti Olympic, SEA Games, dan Asian Games adalah investasi jangka panjang. Namun, pengamat ekonomi olahraga dari Universitas Holy Cross, Amerika, Victor Matheson berkata hal lain.

“Tidak ada orang di dunia ini yang butuh kolam dengan tempat duduk 10.000 orang atau tempat skating berbentuk oval dengan 10.000 tempat duduk,” kata Victor Matheson seperti dikutip dari Vox soal pembangunan infrastruktur untuk persiapan Olympic.

Baca juga artikel terkait ASIAN GAMES 2018 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Olahraga
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz