Menuju konten utama
Apni Jaya Putra:

"TVRI Mati Suri Sejak Ada TV Swasta Keluarga Soeharto"

Masih bisakah kepentingan publik pada TVRI diselamatkan?

Apni Jaya Putra, direktur program dan berita TVRI. Tirto/Sabit

tirto.id - TVRI kini tua secara SDM, teknologi, dan penonton. Ini diungkapkan Apni Jaya Putra, direktur program dan berita TVRI. Ia mengatakan sejak lama TVRI sengaja ditidurkan secara sistematis sebagai TV publik di Indonesia.

Apni membandingkan televisi publik negara lain. Bujet NHK (Jepang) sekitar Rp90 triliun dan BBC (Inggris) Rp80 triliun per tahun. Sementara TVRI tak sampai Rp1 triliun. Padahal, jangkauan layanan TVRI bisa 10 kali lipat lebih luas dari Jepang mengikuti luas negara kepulauan ini.

“Orang Indonesia maki-maki TV swasta tapi tidak membesarkan TV publiknya,” ujar Apni, yang ditunjuk sebagai satu dari enam anggota dewan direksi untuk periode 2017-2022.

Kini TVRI babak belur dihantam revolusi digital. Mereka susah menyesuaikan ekologi media baru. “Ketika saya masuk, new media terutama di sosial media [pesat], tapi TVRI tidak peduli sama sekali,” kata Apni.

Berikut wawancara reporter Tirto, Dieqy Hasbi dengan Apni Jaya Putra di ruang kerjanya, 15 Maret 2018, dengan penyuntingan minor demi kelancaran kalimat.

Anda pernah bekerja di SCTV, MNC, Kompas TV, dan menjadi konsultan TV Malaysia, mengapa Anda tertarik mengurus TVRI?

Ada kalanya orang tidak memikirkan apa yang dia dapatkan, tapi apa yang dia ingin berikan. Saya sudah 25 tahun mendapatkan banyak hal dari karier saya di broadcaster di Indonesia. Saya bekerja di perusahaan yang bagus dan baru. Saya bekerja di luar negeri dan dihargai oleh pemerintah negara lain dengan angka dan fasilitas yang bagus di Malaysia.

Waktu saya jadi direktur TVRI, saya bilang ke anak-anak saya: Ayah sekarang direktur TVRI. Anak saya tanya: terus kenapa, Yah? Ya, karena mereka tahu berapa pendapatan ayahnya di Malaysia.

Sekarang kami hidup sederhana. Saya pakai mobil tua yang sudah delapan tahun tidak diganti. Fasilitas yang ada cuma itu.

Bukankah Anda masih jadi konsultan?

Enggaklah, enggak boleh. Semua orang mengatakan kami gila saja mau ambil tantangan ini. Buat saya, ini tidak gila. Kalau kami bisa tegak lurus, berkomitmen, berintegritas—ini bisa kembali, kok. Makanya, tagline-nya 'Kami kembali.'

TVRI ini raksasa. Asetnya di Senayan saja berapa triliun ini. Luas 4,6 hektare. Coba sebutkan TV mana yang punya lokasi prime sebesar itu?

Dari pengalaman Anda, bagaimana penilaian Anda mengenai TVRI?

Sebelum saya masuk, TVRI kelihatan kuno; sesuatu yang mewakili masa lalu. Padahal TV publik tidak semestinya begitu. Tapi, ketika saya di dalam, saya tahu banyak persoalan yang terjadi. Kesimpulan saya: TVRI secara sistematis ditidurkan [fungsi] publiknya.

Maksud "ditidurkan"?

Ada hambatan-hambatan mengenai kelembagaan. TV publik kita mati suri sejak ada TV swasta milik keluarga Soeharto. Ada RCTI (1989) dan TPI (1991, berganti nama jadi MNCTV pada 2010). Lalu serta-merta TVRI tidak boleh beriklan, iuran TV enggak ada lagi. [Catatan: RCTI dan TPI dimiliki oleh anak-anak Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, dan Bambang Trihatmodjo; sebelum kemudian dimiliki oleh Hary Tanoesoedibjo.]

Lalu ada undang-undang menyuruh TVRI berubah bentuk, pernah jadi Perjan (Perusahaan Jawatan), Perum (Perusahaan Umum), pernah jadi lembaga di bawah Departemen Penerangan, lalu menjadi LPP (Lembaga Penyiaran Publik).

Ketika menjadi LPP pun, peran negara tidak terlalu berpihak. Keberpihakan itu [mestinya] kalau kita bicara tentang BBC; benar-benar TV publik yang dibiayai masyarakat melalui TV license. Orang Inggris membayar 164 Poundsterling setahun; itu semacam pajak TV. Itu membiayai 80 persen bujet BBC. Orang Inggris marah enggak sih sama TV swasta? Sekarep (terserah) lah TV swasta mau ngapain, tapi mereka bangga dengan TV publiknya.

Nah, kita marah-marah ke TV swasta—enggak mendidiklah, tidak mencerminkan budaya bangsa lah, alay lah, atau apalah—tapi, kita juga tidak pernah membesarkan TV publik kita.

Kalau kita lihat struktur bujet BBC, hanya 10 persen [dananya] dari komersial; 70 persen adalah lisensi; 10 persen government ground; 10 persen lagi commonwealth ground [negara persemakmuran]. Sisanya 1 miliar Poundsterling dari bisnis. Empat miliar Poundsterling dari iuran. Itulah kenapa di Inggris, pemilihan direktorat jenderal BBC sangat penting dengan perdana menterinya.

NHK sama. Struktur biayanya hampir sama tapi tidak ada TV license. TVRI berapa? Hanya seperseratusnya; kurang dari Rp1 triliun. Di mana letak make sense-nya?

Nah, direksi TVRI yang baru terpilih punya mandat dari DPR membentuk Dewan Pengawas; Dewan Pengawas merujuk direksi. Kami sedang berjuang keras untuk mendapatkan dana dengan cara apa pun.

Sumbatannya apa saja ketika Anda baru masuk menjadi anggota direksi?

Ketika kami masuk, status TVRI adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Itu aturan PP 33/2017 (PDF) rigid sekali. Misalnya, harga sports cuma Rp2 juta dan itu tidak mengenal day pack; mau siang, mau malam; itu tidak mengenal prime time. Itu harga flat. Lho, mau kayak apa bersaing dengan industri coba?

Sementara harga prime time di televisi swasta bervariasi, antara Rp25 juta sampai Rp50 juta untuk sports. Itu yang membuat aturan tidak melihat bagaimana TVRI bisa bersaing dengan industri swasta.

Kalau kami jual seluruh air time kami laku semua dengan harga yang diatur PNBP yang murah itu. Hanya Rp300 miliar sampai Rp400 miliar saja setahun dari penjualan iklan. Per semeter, TV terbesar di Indonesia punya iklan; Rp7,7 triliun revenue iklannya.

Lalu apa tanggung jawab TV-TV yang menggunakan frekuensi publik itu? Apa yang masyarakat terima dari acara mereka? Sinetron yang enggak mendidik.

Kalau saya sih enggak mau menyalahkan TV swasta; mereka berinvestasi triliunan untuk membeli program yang ada.

Sumber Daya TVRI

Soal SDM bagaimana?

Kami mengalami penuaan SDM. Itu karena lima tahun terakhir policy pemerintah mengurangi SDM secara alamiah melalui pensiun. Jadi enggak boleh mengangkat yang baru. Orang pensiun di TVRI itu rata-rata per tahun bisa 500 sampai 600 orang.

Berapa rentang umur pekerja TVRI yang PNS?

Struktur SDM: 95 persen berusia 45 tahun ke atas. 10 persen dari pegawai bukan PNS. Susah mencari anak muda di sini.

Apa lagi yang tua?

Saya menyebutnya empat aging: SDM tua, teknologi tua, usia kami tua, penonton tua.

Penonton tua itu kuat sekali. Waktu kami masuk, 'Wah ini enggak bisa. Ini harus digeser'.

Indeks penonton tuanya sampai 200. Kemudian lebih banyak di blue-collar (kelas pekerja), white-collar (pekerja kantoran) sedikit. Penonton anak muda hampir enggak ada.

Lalu kami rombak. Looks kami rombak. Tampilan untuk acara Milenial kami buat. Presenter-presenter kami permuda. Campaign kami bahwa TVRI goes to Milenial itu berdampak dalam empat bulan terakhir. Distribusi penonton sudah tidak terlalu kuat di tua; sudah mulai ke usia penonton usia 30 sampai 25 tahun itu mulai tumbuh.

Itu dengan bujet produksi kurang dari Rp1 miliar setahun; Itu untuk belanja program saja. Itu sama dengan belanja program TV swasta tiap bulan.

Tapi kami tidak akan menyerah karena kekuatan TVRI adalah jaringan nasional. Produksi-produksi lokal kuat dokumenternya. Pola acara terpadu kami buatkan. Konsep nasional dibuat di lokal, standarnya nasional.

Kami juga membuka keran kerja sama luar negeri. Waktu kami masuk, kami ubek-lah seluruh MoU yang enggak sempat ditandatangani atau di-follow-up.

Waktu kami masuk, program rerun (terus diulang) kami 60 persen. Empat puluh persen kami itu news. News pasti tiap hari ada (yang baru).

Rerun untuk tayangan nasional atau lokal saja?

Nasional. Daerah itu cuma 4 jam sehari; 20 persen dari 22 jam. Akhirnya kami kerja sama luar negeri dengan Korea, Turki, Jerman, dan lain-lain. Mampu menaikkan angka program kami 10 persen. Sehingga hanya tinggal 50 persen lagi.

Terkait SDM yang campuran PNS, sepertinya hanya di TVRI, ya?

Iya. Warisan dari masa lalu. Karyawan kami dulu karyawan Departemen Penerangan. Mereka PNS. Itu enggak mungkin diberhentikan waktu TVRI berubah bentuk.

Walaupun mereka bekerja sebagai karyawan Lembaga Penyiaran Publik, status PNS mereka berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Ketika Anda tanya apakah [PNS] itu karakter TV publik? Ya enggak. Harusnya mandiri.

Kemandirian TV publik itu ada pada aksi korporasinya. Fire and hire; dapat mengangkat dan memberhentikan sendiri. Sekarang kami tidak bisa, harus Kemenkominfo.

Tidak bisa mengangkat dan memberhentikan PNS di LPP TVRI?

Iya, dong. Kami enggak bisa karena pembinaan PNS ada di Kemenkominfo. Kami hanya bisa mengusulkan saja, prosesnya ada di sana.

Jadi menurut saya memang secara penataan kelembagaan, TVRI memang harus diubah. Supaya lebih mandiri sebagai TV publik. Saya tidak tahu dalam bayang-bayang pemerintah akan dijadikan apa. Tapi, setelah Undang-Undang Penyiaran, rencana legislasinya ke arah pembentukan Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI).

Kalau dari naskah akademiknya, akan di bawah presiden langsung, setingkat menteri tiga fungsi penyiaran: televisi, radio, dan multiplexing. Kalau itu jadi, ada bujet sendiri dari pemerintah; punya organisasi-organisasi otonom seperti inspektorat, pendidikan, litbang, dan lain-lain.

Apa benar di satu daerah, misalnya di Solo, pegawainya sampai 300 orang?

Bukan di Solo. Di Solo itu hanya pemancar saja. Ada di daerah-daerah, Yogyakarta misalnya. Itu tergantung tipe. Kami ada tipe A, B, C. Tipe C itu rintisan atau daerah baru kayak Bangka Belitung atau Sulawesi Barat. Di tipe A dan B itu jumlah karyawan 150 sampai 200.

Untuk mengurus kantor lokal, apakah itu tak kebanyakan?

Kalau cerita komposisi beban kerja, rasio produksi dan jumlah karyawan ya kebanyakan. Kan cuma 4 jam dengan 200 orang.

Konten Tayangan

Soal tayangan, sekarang persentasenya berapa?

Posisi hiburan, pendidikan, dengan informasi itu kurang lebih sama. Beban informasi kami itu 40 persen, hiburan dan kebudayaan 30 persen, pendidikan dan agama 30 persen. Mau geber [konten] hiburan 70 persen juga enggak ada yang peduli.

Kenapa cuma ada debat calon gubernur Sumatera Selatan di TVRI? Kenapa tak semua?

Debat itu semua. Debat itu semua daerah kami berikan kesempatan. Tapi kebanyakan bersiaran di TV lokal.

Terkait tayangan yang jadi prioritas, tadi saya lihat di TVRI menyiarkan secara live salat Jumat di Istiqlal. Bagaimana porsi siaran untuk agama lain?

Agama lain dapat tiap hari. sama. Besok Nyepi (17 Maret). Nyepi dari pagi sampai malam [diisi] dokumenter tentang Bali, ada dialog tentang Hari Raya Nyepi. Itulah TV publik. Prinsipnya kesetaraan, kepentingan semua, imparsial, independen, netral, punya kewajiban untuk mereka yang termarjinalkan.

Kalau minoritas keyakinan seperti Syiah dan Ahmadiyah, bagaimana sikap TVRI?

Kami ikut ruh pemerintah. Jadi kami ikut rule pemerintah. Enggak bisa enggak. Bukan tidak mau mengakomodasi (Syiah dan Ahmadiyah). Kami ikut rule pemerintah saja. Supaya menghindari konflik sana-sini, komplikasi yang enggak penting.

Saya lihat di berita dan beberapa tayangan, framing penyajian berita TVRI kok seperti main aman. Jurnalisme positif. Kenapa?

Iya, dong. Kalau enggak main aman, main apa? Karena yang main hoax sudah terlalu banyak.

Maksudnya Anda berpengalaman menggarap tayangan TV, kenapa tidak ada tayangan yang minimal mengkritik eksekutif, legislatif, dan yudikatif?

Oh, kalau itu ada tapi, porsinya tidak besar. Bukan main aman.

Tampilan Tayangan

Secara tampilan, tone warna dan fokus kamera TVRI kok buram dan tua?

Saya [berasal] orang swasta. Di Malaysia, saya pegang rebranding Malaysia TV. Saya paham betul cara membuatnya karena itu kami akan ubah. Insyaallah, dalam waktu satu tahun, kami akan ubah itu. Kami akan rebranding, membuat TVRI menjadi bagus dan bersaing dari sisi grafis, channel branding; semua kami ubah. Sekarang saja sudah mulai berubah, kok. Kami berubah dikit saja orang merasakannya.

Terkait tampilan, masalah sebetulnya di mana?

Kalau tampilan, saya mau ubah, besok berubah juga bisa. Ya cuma enggak bisa. Rebranding itu menyangkut keputusan dewan pengawas. Untuk perubahan logo, warna, dan lain-lain. Itu statuta TVRI.

Kami memang meng-hire konsultan untuk mengubah semuanya. Tapi itu nanti. Baru 110 hari sampeyan datang, perjalanan saya masih 350 hari kali 5 lagi.

Kenapa tidak ada pemisahan channel, misalnya satu khusus tayangan disabilitas, ada lagi yang anak-anak?

Belum. Sedang kami pikirkan karena channel kami masih terbatas. Kalau digital, yang kami punya baru empat: nasional, TVRI Jakarta, budaya, dan olahraga. Itu pun tidak punya konten karena masih status uji coba.

Sumber Dana dan Iklan

Dari mana saja sumber dana LPP TVRI?

Kami murni dari APBN. Lalu dari PNBP berupa jasa siaran dan nonsiaran. Jasa siaran itu misalnya termasuk air time, TVC, dan lain-lain.

Iklan komersial kok tidak ada?

Iklan itu ada tapi orang belum melirik. Yang kami terima ada banyak dari pemerintah, iklan layanan masyarakat. Itu berbayar.

Usulan Menggabungkan TVRI & RRI

Bagaimana soal usulan menghidupkan kembali iuran publik untuk TVRI?

Susah. Malaysia itu dulu sempat ada dan tidak. Itu dihentikan karena takut menjadi beban masyarakat, seolah-olah dipajakin lagi. Mereka convert ke state budgeting dan itu hidup.

Kalau merasa TV publik harus dibesarkan, [seharusnya] tecermin dari berapa banyak bujet yang dialokasikan ke TVRI untuk diseminasi pembangunan, desiminasi kegiatan kenegaraan.

Bagaimana pandangan soal penggabungan atau integrasi antara TVRI dan RRI dalam RTRI?

Itu masih lama. Revisi UU Penyiaran masih berkutat di parlemen. Itu dulu, baru membentuk undang-undang lain. Model bisnisnya bukan kami yang terlambat, tapi kami terpisah dari aspek kesejarahan di mana radio lebih awal, sama dengan Malaysia. Tapi ketika membentuk akta RTM di Malaysia, mereka langsung menyatukan karena melihat model bisnis publik dunia itu NHK dan BBC; radio dan televisi digabung satu. Public broadcasting itu tidak mengenal apakah dia TV atau radio.

Evaluasi & Transparansi

Seperti apa bentuk evaluasi dan bagaimana mengukur progresinya?

Tolok ukur satu-satunya yang bisa mengukur hanya Nielsen. Kami pakai Nielsen juga. Kami ada di Nielsen meski pada angka yang kecil, di bawah. Saya punya target kami bisa masuk di 2 persen. Saya sudah sadar enggak mungkin di posisi tengah karena duitnya enggak banyak.

Program itu mudah sebenarnya [kalau] ada konten, awareness, ada reception yang bagus. Maka lu dapat duit. Lu dapat duit pasti bisa beli konten. Siklusnya ya begitu-gitu saja.

Itulah kenapa kami mati-matian mengubah misalnya Ria Jenaka, acara 30 tahun lalu. Kami hidupkan kembali dengan pengemasan ke arah kelompok usia Milenial. Anak-anak Stand Up Comedy yang main. Premisnya tidak lagi Punakawan yang Jawa. Punakawan itu adalah setting, tapi pemainnya dari berbagai macam dialek. Ada Babe Cibita yang Medan, ada Mamad Papua. Biarkan mereka melakukan mix culture, akulturasi budaya. Taman Buaya Music Club itu tiap malam main band indie. Kami mulai menggaet Milenial.

Sepertinya TVRI susah beradaptasi dengan era digital. Di YouTube pun saat unggah konten agaknya semau saja, padahal monetize bisa jadi masukan dana yang tidak memengaruhi independensi redaksi.

Setuju. Satu-satunya kami punya streaming itu di Android; namanya TVRI Klik. Itu pun masih linear. Saya mau nonlinear di mana orang bisa pilih nonton berdasarkan apa yang ia inginkan. Tiga hari saya masuk, TVRI sudah bersiaran di Facebook, YouTube. Saya bilang jangkau mereka yang tidak menonton TV. Kami sedang berbenah.

Website? Waduh masih jadul. Kami akan memisahkan antara website corporate dan website program. Kami sedang tata semua.

Ada capaian soal aspek transparansi, misalnya seperti KPK yang mengunggah rincian anggaran? Laporan keuangan TVRI hanya di DPR, kan.

Belum. Iya hanya di DPR. Insyallah, kalau masalah transparansi, jika bisa, kenapa tidak? Dan transparansi merupakan keharusan. Itu bisa kami lakukan.

Saya baru rapat menandatangani pakta integritas kepada seluruh pejabat struktural di internal TVRI. Ini sekaligus menandai reformasi birokrasi di TVRI.

Baca juga artikel terkait TVRI atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam