Menuju konten utama

Tutup PLTU di 2050, Jokowi Dinilai Perlu Buat Aturan Hukum

Menurut Greenpeace Indonesia, UU EBT merupakan solusi palsu lantaran belum beranjak dari penggunaan energi fosil.

Tutup PLTU di 2050, Jokowi Dinilai Perlu Buat Aturan Hukum
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia akan menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada tahun 2050. Hal itu dia sampaikan pada pertemuan dalam acara “Hannover Messe” di Jerman beberapa waktu lalu.

“Juga dibangun 30 ribu hektare kawasan industri hijau, dan di tahun 2025, 23 persen energi berasal dari energi terbarukan dan dan di tahun 2050 seluruh pembangkit batu bara ditutup. We walk the talk, not only talk the talk,” kata Jokowi.

Namun sejauh ini, komitmen itu masih belum nampak. Katadata mencatat belum ada PLTU yang ditutup pemerintah dalam 20 tahun terakhir. Sekarang ada 88 PLTU dengan kapasitas lebih dari 40 Gigawatt (GW), tapi hanya 4 unit yang berencana ditutup tahun 2037. Sedangkan 12 unit lainnya dinyatakan layak untuk pensiun dini pada tahun 2023.

Leonard Simanjuntak, Country Director Greenpeace Indonesia menyampaikan bahwa Indonesia perlu payung hukum yang jelas jika memang mau menutup PLTU dan melakukan transisi energi. Sejauh ini, pemerintah justru sedang menggodok Rancangan Undang-undang Energi Terbarukan (EBT) yang dianggap belum beranjak dari penggunaan energi fosil.

“Bagi kami ini solusi palsu karena ada celah membiarkan batu bara tetap masuk,” kata Leonard dalam diskusi di Jakarta April 2023 lalu. “RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2030 menunjukkan batu bara akan tetap berkuasa dalam menghasilkan energi listrik.”

Leonard juga menemukan bahwa pemerintah memang berencana melakukan pensiun pada PLTU yang sudah ada. Namun di saat bersamaan, ada rencana pemerintah untuk membangun PLTU dengan tenaga batubara dengan kapasitas yang lebih besar.

Sementara itu, analis senior CONCITO Denmark, Torsten Hasforth mengungkap Denmark bisa melakukan transisi energi karena memang ada krisis kelangkaan bahan bakar minyak di masa lampau. Dahulu Denmark hanya punya 15 pembangkit listrik dari matahari atau angina, tapi sekarang sudah ada lebih dari 150 pembangkit listrik mandiri di luar energi fosil.

Indonesia punya nasib yang berbeda karena dikelilingi oleh batubara, tapi Hasforth menekankan untuk “jangan takut punya sistem transisi energi, karena itu merupakan langkah jangka panjang.”

Baca juga artikel terkait ENERGI TERBARUKAN atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Restu Diantina Putri