Menuju konten utama

Tunggang Menunggang di Mobil Esemka

Setelah tak terdengar kabarnya, mobil Esemka kembali jadi pemberitaan. Esemka akan mulai diproduksi massal setelah Agustus tahun ini. Kabar ini jadi babak baru bagi perjalanan Esemka yang sempat naik daun empat tahun lalu dan digadang-gadang sebagai “mobil nasional”. Babak baru mobil Esemka melibatkan banyak pihak termasuk investor lokal hingga pemain asing dari Cina. Masihkah relevan pengembangan mobil Esemka di Indonesia?

Tunggang Menunggang di Mobil Esemka
Siswa SMK Negeri 1 Kota Kediri memeriksa hasil perakitan mesin mobil Esemka jenis Bima (mobil mini truk) di bengkel sekolah mereka di Kota Kediri, Jawa Timur, rabu (11/2). Antara foto/Rudi Mulya.

tirto.id - Empat tahun lalu saat Joko Widodo (Jokowi) masih jadi walikota Solo, nama Esemka melesat dan jadi pusat perhatian publik. Sejak saat itu, nama Esemka dan juga Jokowi melejit. Namun, perjalanan Esemka tidak mulus. Banyak pro dan kontra mewarnai kelahiran mobil buatan anak SMK itu.

Mereka yang mendukung langsung penasaran dan memesan mobil Esemka. Dalam beberapa bulan, pemesanan mobil Esemka tembus ribuan unit. Bagi yang kontra, termasuk mantan menteri riset dan teknologi (Menristek) BJ Habibie, mengkritik mobil Esemka.

"Mobil Esemka itu cuma dolanan karena pembuatannya tidak profesional. Masa anak-anak yang baru tamat sekolah menengah pertama (SMP) sudah mau jadi montir, ya, pasti belum ada pengalaman," kata BJ Habibie dikutip dari Antara.

Cibiran terhadap Esemka tak berhenti sampai di situ. Keberadaan Esemka dikaitkan dengan mobil buatan Cina, dari sisi desain maupun komponennya. Mobil Esemka khususnya Rajawali mirip dengan mobil buatan Cina, bermerek Foday, Explorer VI SUV 6492F9Y, seperti dikutip dari fodayauto.gmc.globalmarket.com.

Meski memunculkan pro dan kontra, tetapi Esemka terus melaju. Tahun 2016 merupakan momen paling pesat dalam perkembangan Esemka setelah sempat vakum lama. Kabar terbaru, pengembang Esemka, PT Solo Manufaktur Kreasi (SMK) bersama PT Adiperkasa Citra Lestari (ACL) membentuk perusahaan baru bernama PT Adiperkasa Cipta Esemka Hero (ACEH). PT ACL sempat menggandeng Proton Malaysia tahun lalu.

Kolaborasi beberapa perusahaan hingga menjadi PT ACEH menjadi harapan cerah bagi nasib Esemka. Melalui PT ACEH, semua proses produksi Esemka akan dimulai, termasuk menggandeng mitra lainnya antara lain PT Geely Mobil Indonesia (GMI), produsen mobil asal Cina. Esemka ditargetkan akan diproduksi massal tahun ini juga. Sebuah berita yang dinanti-nanti bagi siapa saja yang mendukung Esemka.

“Targetnya dalam tahun ini, namun Agustus sangat ketat. Mungkin setelahnya,” kata Managing Director PT ACEH Hosea Sanjaya kepada tirto.id, Kamis (23/6/2016)

Proses produksi akan dilakukan di Cileungsi, Bogor, sebuah fasilitas milik PT GMI. Esemka juga akan memiliki unit produksi di Boyolali, Jawa Tengah yang sudah dirintis sejak awal oleh PT SMK.

Babak Baru Esemka

Pengembangan produksi massal Esemka akan dikhususkan sebagai kendaraan komersial untuk pedesaan. Dengan tujuan mulia ini, Esemka mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Dibuatlah roadmap bagi mobil angkutan perkebunan, pertambangan, dan pedesaan yang diharapkan bisa dipasok dari dalam negeri termasuk oleh Esemka.

"Salah satu yang sangat siap ya Esemka. Targetnya secepatnya," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin dikutip dari Antara.

Sebenarnya, konsep mobil pedesaan sudah ada sejak pemerintahan Presiden SBY. Pada waktu itu SBY mengeluarkan program peningkatan kehidupan nelayan dan Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.10/2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-rakyat. Program ini bagian dari klaster keempat seperti rumah murah, hingga mobil murah pedesaan. Sayangnya rencana ini sempat diterjemahkan menjadi program Low Cost and Green Car (LCGC) atau mobil murah oleh MS Hidayat saat menjadi menteri perindustrian.

Dorongan terhadap Esemka untuk masuk ke pasar segmen khusus seperti angkutan pedesaan, pertanian, atau perkebunan, bukan tanpa alasan. Selama ini segmen mobil penumpang sudah dikuasai oleh pemain otomotif dunia khususnya Jepang. Bila Esemka masuk ke pasar ini, dipastikan akan sulit bersaing.

“Intinya Esemka akan mencoba masuk ke produk-produk yang bisa mendukung perekonomian, salah satunya pick up. Sekarang kandungan lokal paling banyak 40 persen karena saat ini masih prototipe,” kata Humas PT SMK Dwi Budhi Martono saat dihubungi oleh tirto.id beberapa waktu lalu.

Namun, rencana Esemka masuk ke segmen khusus kendaraan komersial angkutan pedesaan bukan juga tanpa hambatan karena para pesaing telah menunggu.

Saingan Esemka

Peta bisnis otomotif di Indonesia terus dinamis, pendatang-pendatang baru telah hadir khususnya dari prinsipal asing, selain mobil merek-merek Jepang yang sudah bercokol lama, kini hadir mobil India. Cina melalui mobil Wuling juga sudah masuk pasar Indonesia.

Tantangan terbesar yang harus dihadapi Esemka apabila diproduksi massal, yaitu soal memasuki pasar mobil yang sudah terbuka dan seluruhnya dikuasai merek-merek asing. Persoalan fasilitas produksi juga sumber daya manusia untuk basis produksi mobil yang keberlanjutan di pasar bebas, menjadi salah satu tantangan terberat Esemka ke depan.

Ceritanya akan berbeda bila Esemka mulai dikembangkan puluhan tahun lalu, seperti kisah sukses program mobil nasional di India, Korea Selatan, dan Cina yang tak diganjal oleh isu wasit perdagangan dunia, WTO. Misalnya di India, Tata Motor sudah mulai mengembangkan mobil nasional pasca Perang Dunia II.

"Sekarang Indonesia sudah berada di pasar terbuka, kalau mau buat mobil sendiri harus menghadapi pasar otomotif yang sudah dikuasai merek-merek asing. Itu berat," kata pengamat otomotif Suhari Sargo dikutip dari Antara.

Kekhawatiran Suhari terbukti. Tata Motors Distribusi Indonesia (TMDI) sebagai pendatang baru di pasar mobil Indonesia juga membidik pasar mobil niaga di pedesaan dengan cara menawarkan kendaraan berharga terjangkau, termasuk juga suku cadangnya.

"Kami percaya potensi desa bisa ditingkatkan jika ada percepatan distribusi hasil pertanian maupun perikanan dengan kendaraan niaga yang harganya terjangkau, mesin diesel kuat, servis mudah dan murah," kata Presiden Direktur PT Tata Motors Indonesia Biswadev Sengupta dikutip dari Antara.

Tata Motors masuk ke segmen yang akan dimasuki Esemka melalui program Tata Masuk Desa. Program ini sudah berjalan dan wilayah Sumatera dan akan berlanjut ke Kalimantan dan Sulawesi. Catatan penjualan Tata di segmen ini memang masih kecil, tahun lalu baru terjual 30 unit mobil pedesaan di desa-desa Provinsi Lampung.

Melihat peta segmen baru yang akan dimasuki oleh Esemka juga menjadi incaran pemain lain, maka mengembangkan sebuah produk baru di era persaingan ketat saat ini bukan halnya yang mudah. Nasib pengembangan mobil merek lokal di Indonesia memang berliku, sampai saat ini belum ada yang berhasil. Hal ini sudah disadari puluhan tahun lalu oleh Thailand. Negeri Gajah Putih itu tak mau pusing membuat merek mobil lokal. Mereka justru sibuk mengembangkan industri kompnen otomotif yang andal.

Belajar dari Thailand

Di Asia Tenggara, Indonesia, Thailand, dan Malaysia masih menjadi pemain utama produsen otomotif. Ketiganya menempuh cara yang berbeda, Indonesia masih fokus pada perakitan mobil untuk kebutuhan domestik dengan mengandalkan produksi dari prinsipal Jepang. Malaysia mencoba melahirkan Mobnas Proton yang bisnisnya tak berjalan baik. Sedangkan Thailand justru menempuh jalan dengan fokus menjadi pemasok komponen dan industri otomotif ke pasar global.

Hasilnya, Thailand menjadi produsen mobil terbesar di Asia Tenggara dengan volume produksi per tahun 1,9 juta unit, dibandingkan Indonesia dengan jumlah sekitar 1,09 juta unit di 2015. Dengan capaian itu, Thailand masih jadi raja produsen mobil di ASEAN. Padahal jumlah penduduknya hanya seperempat penduduk Indonesia, yaitu hanya 67 juta jiwa (2013). Thailand menempati posisi ke-9 produsen otomotif dunia, jauh di atas Indonesia yang berada di posisi ke-17.

Thailand mampu jadi produsen mobil di global tanpa bergantung dengan pasar domestik mereka yang memang terbatas. Lebih dari 50 persen produk mobil mereka dijual untuk pasar ekspor. Kekuatan Thailand menjadi raksasa otomotif di ASEAN karena dukungan industri komponen mereka yang sudah besar dan lengkap.

Data Thailand Automotive Institute (TAI) mencatat, ada 2.400 pemasok komponen di Thailand hingga Januari 2014. Angka ini mencakup 709 perusahaan tier 1 atau komponen utama mobil dan 1.700 perusahaan tier 2 dan 3 atau komponen pendukung yang membawahi 450.000 tenaga kerja.

Sedangkan Indonesia, berdasarkan data Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) jumlah perusahaan komponen hanya 222 perusahaan, meliputi 106 perusahaan tier 1 dan 83 perusahaan tier 2, dan 33 perusahaan tier 3. Thailand punya 18 pabrikan mobil dari 20 merek dunia dengan total kapasitas pabrik mobil di Thailand yang mencapai sekitar 2,8 juta unit/tahun. Dari segala aspek Indonesia kalah dengan Thailand, termasuk infrastruktur pendukung industri ini seperti pelabuhan.

"Indonesia menjadi negara tujuan ekspor komponen otomotif terbesar kami, di samping Jepang dan Malaysia," kata President of Thai Auto Part Manufacturers Association (TAPMA) Achana Limpaitoon dikutip dari Antara.

Bikin Komponen Mobil

Soal produksi mobil, Indonesia memang masih kalah dari Thailand. Indonesia sebenarnya juga punya peluang lebih besar lagi di Industri ini, khususnya dalam produksi komponen mobil yang lebih maksimal. Industri ini tak kalah penting kalau memang nantinya ingin membuat "mobil nasional". Ibaratnya, Indonesia harus membangun pondasi dengan memperkuat industri komponen kendaraan terlebih dahulu, sebelum membangun produksi apalagi merek.

Faktanya, kontribusi industri komponen otomotif juga cukup besar. Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat , nilai produksi komponen sudah mencapai $4,5 miliar pada 2014. Sedangkan ekspor produk komponen kendaraan Indonesia tercatat $1,42 miliar di 2013 atau turun 4,01 persen dari tahun sebelumnya $1,47 miliar.

Data BPS mencatat sektor kendaraan bermotor menyumbang penyerapan tenaga kerja yang cukup besar dan terus tumbuh, pada 2000 jumlahnya hanya 49.791 orang kemudian meningkat pada 2005 menjadi 72.382 orang, dan terus bertambah menjadi 111.384 orang di 2011. Dari jumlah itu, sumbangan tenaga kerja industri komponen cukup besar terhadap total tenaga kerja sektor kendaraan bermotor.

Namun, pertumbuhan jumlah tenaga kerja industri komponen hanya naik tipis rata-rata 1 persen per tahun, sedangkan pertumbuhan jumlah unit usaha industri komponen justru rata-rata turun 5 persen. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk lebih mengembangkan industri komponen di dalam negeri, agar ada nilai tambah dan peningkatan serapan tenaga kerja makin tinggi.

Pabrik produksi dan perakitan mobil di Indonesia sampai saat ini belum bisa menghasilkan produk mobil yang seluruh komponennya dibuat di dalam negeri. Mengacu dari pengalaman Toyota di Indonesia, proses lokalisasi komponen produk mobil mereka di Indonesia cukup panjang. Melalui Toyota Motor Manucfaturing Indonesia (TMMIN), Toyota hingga kini menggandeng pemasok komponen dari tier 1, 2 dan 3, mencakup ribuan pekerja.

Toyota yang sudah berpengalaman puluhan tahun saja di Indonesia masih mengandalkan 20 persen komponen impor untuk kegiatan produksi mobil mereka. Sebanyak 80 persen pakai komponen lokal untuk produk andalannya di Indonesia yaitu Toyota Kijang. Sedangkan produk-produk lainnya tingkat komponen impornya masih tinggi seperti Fortuner, Yaris, Etios masih pakai 40 persen komponen impor. Di sisi lain, untuk mobil Esemka tingkat komponen lokalnya baru mencapai 40 persen atau 60 persen masih impor.

Melihat kenyataan ini, seharusnya pemerintah mendorong Esemka dan produsen pendatang baru lainnya tak sebagai pabrik produsen mobil tetapi sebagai pabrik pembuat komponen mobil. Selain peluangnya besar, dengan Esemka masuk ke pabrik komponen mobil maka bisa sebagai upaya mengisi kekosongan komponen impor dari pemain prinsipal besar yang sudah ada.

Bila Indonesia punya merek mobil sendiri tetapi komponennya yang masih banyak diimpor, maka nilai tambah dan esensinya tak tercapai. Seandainya Esemka sukses di segmen mobil pedesaan, tetapi tak diimbangi dengan kemampuan memproduksi komponen dengan dukungan R&D, maka Esemka tak ada bedanya dengan prinsipal asing yang sudah memproduksi mobil di Indonesia.

Jika nantinya kapasitas komponen sudah dikuasai, persoalan merek mobil asing atau lokal itu hanya sebuah pilihan. Daripada ingin bercita-cita punya mobil sendiri dengan kemampuan memproduksi komponen masih terbatas. Akhirnya Esemka hanya jadi “tunggangan” pemain asing.

Baca juga artikel terkait OTOMOTIF atau tulisan lainnya dari Suhendra

tirto.id - Otomotif
Reporter: Suhendra
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti