Menuju konten utama

Tumpulnya Vonis untuk Para Koruptor

Tertangkapnya Irman Gusman memunculkan euforia agar para koruptor dihukum berat. Sayangnya, data justru menunjukkan bahwa periode Januari-Juni 2016 sebanyak 275 koruptor dari 384 terdakwa justru divonis ringan. Vonis untuk mereka rata-rata hanya 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan penjara. Ada apa dengan sistem peradilan kita?

Tumpulnya Vonis untuk Para Koruptor
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar memaparkan kajian dan hasil pemantauan data vonis tindak pidana korupsi (Tipikor) mulai tingkat pengadilan tipikor, pengadilan tinggi, hingga tahap kasasi dan PK di Mahkamah Agung, di Jakarta. [Antara Foto/Yudhi Mahatma]

tirto.id - Korupsi telah menjadi salah satu penyakit kronis bangsa. Kejahatan ini bahkan sudah menjadi borok yang menjangkiti negeri ini secara sistematis dan seolah-olah tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Korupsi sudah dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan penanganannya juga harus luar biasa.

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pascareformasi diharapkan bisa “mengobati” borok tersebut. Banyak pihak menaruh harapan pada lembaga yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan itu. KPK bahkan menjadi magnet sorotan dan mendapat tempat tersendiri di hati publik yang menghendaki penegakan hukum bagi tindak pidana korupsi di negeri ini.

Banyak pihak berharap agar para koruptor mendapat hukuman setimpal dengan apa yang telah diperbuatnya, yaitu hukuman yang berat. Harapan tersebut tentu tidak berlebihan, karena akibat ulah para koruptor itu, tidak hanya negara yang dirugikan, tapi juga publik secara umum.

Pertanyaannya, apakah harapan publik tersebut sudah terpenuhi? Bisa iya, bisa juga tidak, tergantung dari perspektif mana kita melihat. Sebab dalam pemberantasan korupsi, institusi yang berwenang tidak hanya KPK semata. Ada peran lembaga lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta hakim di pengadilan Tipikor yang memvonis para terdakwa korupsi ini.

Secara kuantitatif, penanganan kasus korupsi memang menunjukkan tren positif. Misalnya, dalam laporan kinerja KPK tahun 2015 disebutkan, di bidang penindakan, komisi antirasuah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak lima kali pada 2015. KPK juga telah melakukan 84 kegiatan penyelidikan, 99 penyidikan, dan 91 kegiatan penuntutan, baik kasus baru maupun sisa penanganan pada tahun sebelumnya.

Selain itu, KPK juga melakukan eksekusi terhadap 33 putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dari penanganan perkara tersebut, lebih dari Rp198 miliar telah dimasukkan ke kas negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kalau kita tarik jauh ke belakang, secara kuantitas penanganan tindak pidana korupsi ini juga mengalami peningkatan. Hal ini terkonfirmasi dengan data perkembangan database korupsi yang dirilis Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gajah Mada pada April 2016.

Misalnya, pada kurun waktu 2001-2009, kasus korupsi yang ditangani KPK berjumlah 549 kasus dan 831 terdakwa, meningkat menjadi 1518 kasus dan 2142 terdakwa pada kurun waktu 2001-2013. Data ini terus meningkat pada periode 2001-2015, yakni terdapat 2321 kasus dan 3109 terdakwa yang ditangani KPK, baik di tingkat Mahkamah Agung (MA), pengadilan tinggi (PT), maupun di tingkat pengadilan negeri (PN).

Namun, secara kualitas putusan hakim terhadap terdakwa korupsi ini perlu dikaji dan digarisbawahi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) vonis terhadap terdakwa korupsi semakin menunjukkan tren putusan ringan atau lebih menguntungkan para koruptor. Data tersebut berdasarkan pemantauan dan pengumpulan data vonis tindak pidana korupsi mulai tingkat Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, baik kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK).

Pemantauan yang dilakukan ICW pada rentang waktu Januari-Juni 2016 ini, hasilnya cukup mengejutkan, karena tren putusan pengadilan terhadap terdakwa korupsi semakin rendah, bahkan tidak sedikit yang diputus bebas oleh pengadilan. “Ini [persoalan] yang perlu disoroti kenapa pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman yang ringan pada terpidana korupsi,” kata peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar Ifmaini Idris pada tirto.id.

Tren Vonis Koruptor

Menurut Aradila, ICW telah melakukan pemantauan terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun PK. Perkara yang terpantau tersebut berasal Pengadilan Tipikor berjumlah 243 perkara, Pengadilan Tinggi berjumlah 67 perkara, dan MA, baik yang kasasi maupun PK berjumlah 15 perkara.

Dari 325 perkara korupsi yang berhasil terpantau, nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp1,4 triliun dan 19.770.392 dolar AS. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 325 perkara korupsi, sebanyak 319 terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti korupsi, 46 terdakwa divonis bebas atau lepas oleh pengadilan, sedangkan 19 terdakwa tidak dapat diidentifikasi. Persoalannya, rata-rata vonis untuk koruptor hanya 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan penjara.

Kalau dibandingkan dengan periode yang sama, maka tren vonis ringan tersebut tiap tahun selalu meningkat. Misalnya pada Januari-Juni 2016, para koruptor yang divonis ringan berjumlah 275 orang, meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 163 orang.

Tren vonis ringan bagi koruptor tersebut memunculkan banyak spekulasi. Salah satunya adalah mengaitkan tren vonis ringan tersebut dengan maraknya kasus suap yang terjadi di dunia peradilan. Spekulasi tersebut bukan tanpa alasan, sebab dalam kurun waktu Mei hingga Juni 2016 saja, terdapat tiga kali operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para penegak hukum, seperti panitera dan jaksa yang dilakukan oleh KPK.

Terkait hal ini, Aradila memiliki analisa lain. Ia menilai perlu melihat motif kenapa hakim tidak berani menjatuhkan hukuman berat bagi para koruptor. Misalnya, apakah memang karena tuntutan jaksa rendah sehingga hakim memutus ringan, atau karena diskresi luas yang dimiliki oleh para hakim tersebut. Sebab menurut Aradila, diskresi yang dimiliki hakim justru menjadi lock hole untuk memberikan vonis ringan, karena tidak ada pedoman dalam memutuskan vonis.

Persoalan lain yang patut diperhatikan adalah terkait jaksa. Dalam pengamatan ICW, di beberapa kasus, para jaksa penuntut umum tidak berani memberikan tuntutan yang tinggi bagi para terdakwa korupsi. Rata-rata tuntutan jaksa sangat rendah sehingga membuat keputusan vonis yang diambil hakim juga rendah. “Putusan hakim biasanya mengacu pada tuntutan jaksa,” ujarnya.

Lantas bagaimana dengan temuan ICW terkait kasus Muhaimin di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang divonis bebas padahal jaksa menuntut hukuman 15 tahun penjara?

Terkait temuan ini, Aradila melihat ada dua kemungkinan. Pertama, memang ada yang tidak beres dengan keputusan majelis hakim. Kemungkinan kedua karena kegagalan jaksa meyakinkan hakim bahwa yang bersangkutan bersalah.

Sayangnya dalam penelitian yang dilakukan ICW tersebut tidak detail melihat kasus per kasus, namun melihatnya secara general, sehingga tidak ada jawaban pasti terkait kasus korupsi dengan terdakwa Muhaimin itu. Karena itu, ICW berharap putusan PN Surabaya terkait terdakwa Muhaimin ini dapat diteliti kembali oleh banyak pihak.

“Putusan tersebut [PN Surabaya] perlu dieksaminasi biar ketahuan apa di balik keputusan [bebas] tersebut,” ujarnya.

Pro Kontra Remisi

Problem penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya berhenti di tren vonis yang semakin ringan. Namun, ada persoalan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu rencana pemberian remisi bagi koruptor. Dengan kata lain “sudah divonis ringan, masih ada kesempatan dapat remisi.”

Seperti dilansir kantor berita Antara, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly mewacanakan akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012. Tujuannya adalah untuk meminimalisir kerusuhan di unit pelaksana teknis pemasyarakatan.

Namun, upaya tersebut langsung ditentang KPK. Ketua KPK, Agus Rahardjo menolak pemberian remisi kepada koruptor karena dinilai menghilangkan efek jera yang ingin ditanamkan lembaga antirasuah tersebut. “Kalau koruptor, harapan kami jangan ada remisi,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Pertimbangan KPK menolak wacana Yasonna Laoly untuk merevisi PP Nomor 99 tahun 2012 tersebut, dikarenakan kekhawatiran akan adanya tindak pidana korupsi yang diulang oleh koruptor. Saat ini KPK sedang merancang hukuman bagi koruptor dengan efek jera yang lebih besar dibandingkan produk hukum yang ada saat ini.

"Selain hukuman badan, kami juga sedang memikirkan langkah agar kerugian negara dikembalikan, beserta denda,” ujarnya.

Ide Yasonna untuk merevisi PP Nomor 99 tahun 2012 tersebut bukan hal baru. Sejak awal 2015, ia sudah mengungkapkan niatnya untuk mengubah PP yang dirancang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Namun, ide Yasonna saat itu langsung mendapat kecaman luas sehingga niat tersebut diurungkan.

Baca juga artikel terkait TRENS VONIS KORUPSI 2016 atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti