Menuju konten utama

Tumpulnya Penegakan Hukum Penyebab Karhutla Terulang

Kuncinya ada di penegakan hukum. Selama itu tak dapat dipenuhi, karhutla akan terus jadi momok.

Tumpulnya Penegakan Hukum Penyebab Karhutla Terulang
Ilustrasi karhutla. tirto.id/Lugas

tirto.id - Satu tahun usai dilantik, Presiden Joko Widodo langsung dihadapkan masalah yang serius: kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menjelang akhir 2015, tepatnya dari Juni sampai Oktober, api menyapu hutan maupun lahan di wilayah Kalimantan dan Sumatra.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut karhutla pada tahun itu mendatangkan konsekuensi yang tak main-main: 24 orang meninggal serta 600 ribu jiwa menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

Kerugian besar juga bisa dilihat dari aspek ekonomi. Laporan Bank Dunia memperkirakan Indonesia merugi $16 miliar, setara 1,8 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan dua kali lebih besar ketimbang kerugian tsunami Aceh pada 2004.

Sejak saat itu, karhutla menjadi momok yang tak terhindarkan di pemerintahan Jokowi.

Tambal Sulam

Segala kerugian tersebut mendorong Jokowi untuk bersikap lebih serius dalam penanggulangan karhutla. Oktober 2015, Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Dalam aturan ini dijelaskan penanggulangan karhutla dijalankan oleh 32 kementerian dan lembaga serta gubernur sampai bupati di bawah supervisi langsung dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).

Upaya penanggulangan karhutla kembali dipertegas, sekaligus diselaraskan, dalam guideline bertajuk “Rencana Mitigasi dan Adaptasi Terkait Bencana Iklim” yang disusun Direktorat Pengendalian Hutan dan Lahan (PDF).

Beberapa langkah yang dihimpun antara lain penyampaian informasi hot spot (titik api) ke situsweb yang sudah disediakan, patrol rutin, kampanye, sosialisasi dan penyuluhan, pelibatan komunitas lokal, hingga pembentukan MPA (Masyarakat Peduli Api).

Ancaman karhutla kembali menyeruak ke permukaan pada tahun 2018. Kali ini risikonya jauh lebih besar karena Indonesia sedang bersiap menyelenggarakan ajang olahraga yang cukup prestisius: Asian Games. Reputasi negara pun seketika dipertaruhkan.

Berdasarkan pantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terdapat sembilan daerah yang berpotensi tinggi mengalami karhutla. Salah satunya adalah Sumatera Selatan, provinsi di mana Asian Games dihelat—selain Jakarta.

Kecemasan pemerintah memang beralasan. Pasalnya, sepanjang 2017, karhutla di Sumatera Selatan mencapai 3,007 hektar. Di provinsi ini, titik panas terdeteksi di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir. Lokasi kebakaran di Ogan Ilir, misalnya, hanya berjarak sekitar 15 kilometer dari Palembang, lokasi sebagian besar venue Asian Games berada.

Demi mencegah kebakaran, Jokowi meminta panglima kodam maupun kapolda mengambil tindakan yang serius. Bila tidak, Jokowi tak ragu untuk mencopot jabatan mereka.

“Kalau di wilayah saudara ada kebakaran dan tidak tertangani dengan baik, aturan main tetap sama, dicopot,” katanya di Istana Negara Jakarta, Selasa (6/2/2018). “Tegas ini saya ulang lagi, paling kalau ada kebakaran, saya telepon panglima, ganti pangdamnya. Kalau di provinsi mana, telepon kapolri, ganti kapolda.”

Arahan serupa juga ditujukan ke INASGOC, Panitia Penyelenggara Asian Games 2018. Mereka diminta Jokowi untuk berkontribusi dalam pencegahan kebakaran hutan. Menurut Eris Herryanto, selaku Sekretaris Jenderal INASGOC, pihaknya lantas bekerjasama dengan pelbagai lembaga seperti Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Badan Restorasi Gambut, sampai BNPB.

Di lapangan, kerja sama lintas sektoral tersebut direalisasikan dengan pembuatan ribuan kanal dan embung sebagai tempat cadangan air, pendirian ratusan posko pencegahan kebakaran, hingga patroli rutin.

Ketika kebakaran melanda sejumlah daerah belakangan ini, upaya penanggulangan juga diambil oleh pemerintah. Untuk memadamkan kobaran api, selain membikin satgas lintas sektoral, pemerintah turut menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam rangka menciptakan hujan buatan.

“Kami terus berfokus melakukan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Provinsi Riau ini, yang dilaksanakan oleh Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT, guna memadamkan titik api akibat kebakaran hutan dan lahan,” terang Kepala BPPT, Hamman Riza.

Pihak BBPT menyatakan aksi hujan buatan sudah dilakukan sejak Februari silam. BPPT melakukan metode cloud seeding, atau memberikan taburan garam lewat semprotan yang dipasang di pesawat. Selain itu, BPPT menerapkan penaburan garam lewat flare yang dipasang di sayap. Semua dilakukan di seluruh daerah dengan titik panas api.

“Namun, ini tergantung dari ketersediaan awan. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus terencana dengan baik, serta memerhatikan level air gambut dan keberadaan awan,” tambahnya.

Masalah Nyata

Kebakaran hutan dan lahan adalah masalah yang kompleks. Namun, pemerintah sepertinya abai dalam memandang hal itu dan cenderung mengambil kebijakan yang tidak komprehensif. Buktinya, kebakaran hutan dan lahan selalu muncul setiap tahun.

Dalam laporan berjudul “Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan” yang disusun The Asia Foundation dan Perkumpulan Skala (PDF, 2015) dijelaskan bahwa membakar lahan dianggap sebagai metode paling cepat sekaligus murah untuk membersihkan lahan.

Praktik semacam ini sebetulnya sudah dilarang sejak 1990-an. Namun, larangan tersebut tak bikin para pelaku ciut nyalinya.

Di balik karhutla, ada beberapa pihak yang mengeruk keuntungan yaitu korporat serta para elite local macam kepala daerah, oknum pejabat pemerintah, maupun pengurus kelompok tani. Para pihak ini, masih mengutip laporan yang sama, bekerja layaknya "kejahatan yang terorganisir".

Masing-masing dari mereka punya tugas yang berbeda, dari mengklaim lahan hingga mengorganisir petani yang melakukan penebangan maupun pembakaran.

Sayang, pemerintah tak bertindak tegas dalam mengusut kejahatan yang dilakukan korporat. Laporan Greenpeace menyebut bahwa sampai sekarang belum ada satu pun perusahaan yang membayar ganti rugi atas tuntutan pemerintah. Padahal, jumlah yang harus dibayarkan yakni sebesar Rp18,9 triliun.

Perhitungan tersebut diambil berdasarkan sepuluh—dari sebelas—kasus gugatan perdata pemerintah terhadap perusahaan perkebunan (kelapa sawit, sagu, dan bubur kayu) terkait kebakaran hutan antara 2012-2015.

Mereka adalah PT Kallista Alam (Rp366 miliar), PT Jatim Jaya Perkasa (Rp491 miliar), PT Waringin Agro Jaya (Rp466,5 miliar), PT Waimusi Agroindah (Rp29,6 miliar), PT Bumi Mekar Hijau (Rp78,5 miliar), PT National Sago Prima (Rp1,07 triliun), PT Ricky Kurniawan Kertapersada (Rp191 miliar), hingga PT Palmina Utama (Rp22,3 miliar). Ganti rugi paling besar dijatuhkan kepada PT Merbau Pelalawa Lestari terkait pembalakan liar yang dilakukan sejak 2004. Jumlahnya mencapai Rp16,2 triliun.

Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan bahwa sejauh ini penindakan hukum bagi para pelaku karhutla masih lemah. Kendati sudah dibawa ke pengadilan, pemerintah belum bisa melakukan eksekusi terhadap putusan tersebut. Pemerintah, Zenzi bilang, mesti membuat komisi khusus agar kerja-kerjanya lebih fokus.

Ketidaktegasan tersebut dapat dilihat pula lewat sikap Jokowi. Berkali-kali ia mengancam bakal mencopot jabatan kapolda maupun pangdam, berkali-kali pula hal itu menjadi gertak kosong. Tak ada petinggi polri maupun TNI yang pada akhirnya dicopot jabatannya karena gagal mencegah serta mengatasi karhutla.

Aspek lain yang perlu dikritisi dari penanggulangan karhutla ialah soal biaya. Pada 2018, anggaran untuk penanggulangan karhutla, seperti yang dialokasikan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, sebesar Rp199 miliar: Rp92 miliar untuk pusat sementara sisanya, Rp107 miliar, dialokasikan ke daerah. Tahun ini, anggaran penanggulangan karhutla turun menjadi Rp164 milliar.

Angka tersebut jelas tak sebanding dengan realitas. Berdasarkan Kajian Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan terdapat 11 provinsi yang perlu diprioritaskan dalam penanggulangan karhutla. Mereka adalah Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Jambi, Papua, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, hingga Sulawesi Tengah.

Karhutla

Karhutla

Agus Wibowo, Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, saat dihubungi Tirto via WhatsApp, menyebut bahwa anggaran pemerintah untuk penanggulangan karhutla “sudah cukup.”

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa hal yang harus diperbaiki dengan baik adalah penegakan hukum. Sebab, sampai sekarang, penegakan hukum dari pemerintah masih sangat lemah.

“Selama penegakan hukum masih tebang pilih, tak konsisten, dan tak tegas kepada para perusahaan pelaku kebakaran hutan, maka kejadian seperti ini akan terus terjadi,” kata Kiki kepada Tirto.

Menurutnya, penegakan hukum yang kuat merupakan pondasi untuk penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Penegakan hukum yang kuat bisa memaksa perusahaan membayarkan ganti rugi. Uang ganti rugi tersebut, kelak, dapat dipakai untuk pelbagai upaya pencegahan karhutla seperti rehabilitasi lahan.

Menurut laporan yang dibikin CIFOR (PDF), ada sekitar 15 ribu titik panas yang tersebar dari Kalimantan sampai Sulawesi. Prediksi itu disusun sampai 2020. Yang jadi pertanyaan: masihkah pemerintah mengulangi kesalahan yang sama saat menghadapi itu nantinya?

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Hukum
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Mawa Kresna