Menuju konten utama
Periksa Data

Tumpukan Sampah Makanan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara

Terdapat sekitar sekitar 20,9 juta ton per tahun sampah makanan yang dihasilkan di Indonesia.

Tumpukan Sampah Makanan Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara
Ilustrasi Sampah makanan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sampah sisa makanan menjadi salah satu permasalahan yang dialami dunia, termasuk Indonesia. Ini menjadi ironi tatkala pada Hari Pangan Sedunia, yang jatuh pada 16 Oktober 2022, Badan Pangan PBB (FAO) memaparkan fakta kalau 3,1 miliar orang, atau setara 40 persen populasi dunia tidak mampu membeli makanan sehat.

Indonesia punya pekerjaan rumah besar dalam mengurangi sampah makanan (food loss and waste, FLW). Produksi sampah makanan per tahun di Tanah Air bisa dibilang signifikan dibanding negara-negara tetangga. Menurut Food Waste Index Report 2021 yang dikeluarkan UN Environment Programme (UNEP), Indonesia diestimasikan menjadi penghasil sampah makanan paling besar di Asia Tenggara.

Perhitungannya sendiri dengan melihat jumlah sampah makanan rumah tangga, yakni 77 kg per kapita per tahun untuk Indonesia. Angka ini utamanya diambil dari penelitian Dhokhikah et al. pada tahun 2015. Dari situ, UNEP memperkirakan bahwa setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan 20,9 juta ton sampah makanan.

Sebagai perbandingan, jumlah sampah makanan per tahun Indonesia dua kali lipat jumlah sampah makanan Filipina yang berada di peringkat kedua secara regional.

Memang besarnya jumlah penduduk menjadi faktor yang memacu besarnya angka sampah makanan yang ada di Tanah Air, jika dibandingkan negara tetangga. Namun, jika melihat negara lain dengan jumlah penduduk yang serupa, sampah makanan Indonesia masih lebih besar.

Misalnya bandingkan dengan Amerika Serikat yang diestimasi menghasilkan sampah makanan 19,36 juta ton per tahun, atau Pakistan dengan 15,95 juta ton per tahun dan Brasil, 12,58 juta ton per tahun.

Indonesia hanya dikalahkan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk jumbo lainnya seperti Cina (91,6 juta ton) dan dan India (68,7 juta ton).

Sementara itu jika melihat Food Sustainability Index (FSI) 2021, Indonesia menempati peringkat 51 dari total 78 negara (tabel). FSI adalah indeks yang dibuat oleh The Economist Intelligent Unit (EIU) bersama Barilla Center for Food and Nutrition Foundation (BCFN) untuk menilai ketahanan pangan beberapa negara di dunia.

FSI 2021 punya tiga kategori utama yang tersusun dari 38 indikator dan 90 sub-indikator, salah satunya adalah food loss and waste. Untuk kategori ini Indonesia menempati peringkat 44 dengan skor 55,3 (skala 0-100). Meski terlihat cukup tinggi dan masuk kategori menengah, skor ini di bawah nilai tengah dunia (skor 58,4), menunjukkan masih perlunya upaya untuk menekan angka FLW di Indonesia.

Dominannya Sampah Makanan

Timbulan sampah makanan di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Porsinya kian dominan dibanding sampah jenis lain. Hal ini bisa dilihat dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Berdasar data tersebut, proporsi sampah makanan secara konsisten selalu berkisar di angka 40 persen antara 2019-2021, bahkan mencapai 44 persen pada 2018.

Jumlahnya jauh lebih besar dibanding jenis sampah lainnya, termasuk sampah plastik yang pada tahun 2021 misalnya proporsinya hanya mencapai 17,6 persen dari total sampah. Padahal, sampah plastik lebih sering disebut dalam diskursus-diskursus soal lingkungan dan sampah secara umum.

Harian Kompas pernah menggunakan data ini, yang dikombinasikan dengan data konsumsi perkapita BPS, untuk kemudian digunakan untuk menghitung kerugian secara ekonomi. Hasilnya, disebut kalau rata-rata setiap orang Indonesia melakukan pemborosan makanan sebesar Rp 2,1 juta per tahun. Sementara kalau ditotal untuk 199 kota/kabupaten (yang melapor ke SIPSN) nilai sampah makanan mencapai Rp 330,71 triliun.

Sementara jika merujuk temuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021, FLW Indonesia sebesar 23-48 juta ton/tahun antara tahun 2000-2019. Adapun angka tersebut merupakan penjumlahan food loss (tahap produksi, pascapanen dan penyimpanan, pemrosesan dan pengemasan) dan food waste (tahap distribusi, konsumsi).

Bappenas menyebut kalau proporsi food waste lebih dari 50 persen pada tahun 2019. Artinya jika tidak memperhitungkan food loss, sampah makanan di Indonesia mencapai lebih dari 24 juta ton per tahun, berselisih sekitar 2 juta ton dengan perhitungan UNEP, tapi masih di kisaran yang sama besarnya.

Lebih lanjut Bappenas juga menghitung kerugian dari timbulan FLW antara tahun 2000-2019. Hasilnya, Bappenas mengestimasi kerugian sebesar Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun. Angka ini dapat dikatakan fantastis, karena diestimasi setara dengan 4 persen hingga 5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Ironi Tingkat Kelaparan dan Gizi Buruk

Besarnya angka sampah makanan menjadi kian memprihatinkan jika disandingkan dengan tingkat kelaparan. Berdasar data Global Hunger Index, tahun 2022 Indonesia masuk peringkat 77 dari 121 negara dengan skor 17,9 dengan tingkat kelaparan menengah.

Namun, yang perlu menjadi catatan, Indonesia baru lepas dari kategori negara tingkat kelaparan serius pada 2020. Tingkat kelaparan serius ditunjukkan dengan skor antara 20 hingga 34,9. Catatan yang baik, tetapi menunjukkan perlunya konsistensi untuk mencegah angka kelaparan kembali ke level serius.

Sementara dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 diketahui kalau ada 13,8 persen balita di Indonesia yang mengalami kurang gizi, sementara 3,9 persen tercatat menderita gizi buruk. Ini artinya 17,7 persen balita di Indonesia punya masalah gizi.

Catatan Bappenas juga menyoroti kerugian dari sampah makanan dengan masalah kelaparan ini. timbulan sampah makanan yang mencapai 23- 48 juta ton per tahun diestimasikan dapat memberi makan bagi 61-125 juta warga Indonesia pada periode waktu tersebut. Setara 29 persen-47 persen populasi Indonesia, sebut laporan tersebut.

Dalam laporannya Bappenas juga menyebut terdapat 45,7 persen orang defisit gizi di Indonesia. Artinya jika bisa dicegah menjadi sampah makanan, kebutuhan dari defisit gizi memiliki potensi untuk terpenuhi.

Sebab dan Solusi Sampah Makanan di Indonesia

Penelitian Bappenas tentang FLW tersebut juga membuat proyeksi ke masa depan. Dalam perhitungan Bappenas, tanpa ada pengendalian, timbulan FLW pada 2045 akan mencapai 112 juta ton/tahun atau 334 kg per orang per tahun, naik hampir 2,5 kali lipat.

Untuk dapat mencegah hal tersebut, Bappenas menelaah penyebab masalah sampah makanan ini. Terdapat 10 poin penyebab yang dianggap sangat penting, yaitu kurangnya implementasi penanganan pascapanen yang baik, kualitas ruang penyimpanan makanan yang kurang optimal, standar kualitas pasar & preferensi konsumen, kurangnya informasi/edukasi soal pangan, kelebihan porsi makan dan perilaku konsumen, keterbatasan teknologi pangan, persaingan pasar dan keterbatasan daya beli konsumen, teknik panen yang kurang, keterbatasan infrastruktur, dan kualitas kemasan/wadah yang buruk.

Dari sebab-sebab tersebut kemudian disusun strategi pengelolaan yang mencakup lima hal. Strategi pertama terkait perubahan perilaku konsumen lewat edukasi dan penyuluhan. Kedua, pembenahan penunjang sistem pangan, terkait infrastruktur dan proses produksi yang akan berpengaruh terhadap FLW.

Strategi berikutnya lewat penguatan regulasi FLW di tingkat nasional dan regional serta pengoptimalan dana. Strategi keempat terkait dengan pemanfaatan lebih jauh dari makanan sebelum menjadi sampah. Hal ini dapat diimplementasikan lewat pengembangan platform penyaluran makanan, pengelolaan FLW yang mendukung ekonomi sirkular, dan pengembangan percontohan pemanfaatan FLW. Strategi terakhir yang ditawarkan Bappenas lewat pengembangan kajian dan pendataan terkait sampah makanan.

Namun, yang perlu diingat masalah sampah makanan adalah tanggung jawab kolektif. Tiap individu perlu dan mampu mengubah kebiasaan menghasilkan sampah makanan.

FAO membuat sebuah panduan aksi yang bisa dilakukan untuk menekan angka timbulan sampah makanan. Di dalanya terdapat 15 langkah sederhana yang bisa diterpkan.

Mulai dari mengkonsumsi makanan sehat, merencanakan makanan dan menghindari belanja makanan impulsif, mengatur penyimpanan makanan di kulkas ataupun wadah, memesan makanan porsi kecil, mengkompos makanan sisa, membeli dari produsen makanan lokal, mengkonsumsi lebih banyak sayuran, sampai mendonasikan makanan yang tidak termakan masuk dalam daftar aksi tersebut.

Ada sangat banyak hal kecil yang bisa dilakukan untuk merubah kebiasaan menghasilkan sampah makanan. Hal itu bisa mulai dilakukan dari diri sendiri.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty