Menuju konten utama

Tujuan Teroris Mengklaim Serangan yang Tidak Mereka Lakukan

Dengan mengklaim aksi kekerasan, kelompok-kelompok teroris berebut anggaran, sukarelawan, dan dukungan publik.

Tujuan Teroris Mengklaim Serangan yang Tidak Mereka Lakukan
London teror dilakukan di tempat umum yang dijaga ketat dan di jam sibuk. FOTO/STEFAN ROUSSEAU/PA VIA AP

tirto.id - Sabtu pekan lalu (2/6/2017), 36 pengunjung Kasino di sebuah kompleks resor Manila tewas tertembak. Dikutip dari Newsweek, ISIS mengklaim bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Sehubungan dengan konflik bersenjata di Marawi, klaim itu kedengaran masuk akal, sampai akhirnya otoritas kepolisian mengumumkan serangan dilakukan oleh oleh seorang penjudi yang kalah. Tidak ada bukti keterlibatan ISIS.

Mengapa ISIS tiba-tiba mengklaim aksi yang tidak ia lakukan? Dalam iklim darurat militer di selatan Filipina serta serangkaian teror sepanjang dua bulan terakhir mulai dari Manchester, Paris, Jakarta, Mesir, dan London, apa untungnya mengklaim sesuatu yang bisa mendatangkan kerugian untuk kelompok dan jaringan?

Politik Ketakutan

Yang pertama perlu diperhatikan adalah teror dirancang untuk menarik perhatian publik atas isu-isu tertentu melalui perusakan properti dan kekerasan fisik terhadap manusia. Target teror bisa menyasar infrastruktur strategis (tangsi militer, arsenal musuh, atau pembangkit tenaga listrik) maupun sesuatu yang simbolik seperti tempat ibadah, kedutaan besar, atau ikon-ikon yang secara umum dipandang merepresentasikan musuh.

Dimensi publik (keberadaan audiens dan media) sangat diperhitungkan, semenjak prinsip terorisme kira-kira berbunyi "membunuh beberapa orang dan menakuti ribuan lainnya."

"Meskipun banyak yang menekankan sifat klandestin (sembunyi-sembunyi)," tulis Aaron M. Hoffman dalam laporan penelitiannya, “Voice and silence: Why groups take credit” (2010), "secara historis sejumlah kelompok teroris terang-terangan berniat menerbitkan klaim pertanggungjawaban mereka."

Hoffman mencatat kaum Zelot pada abad pertama Masehi melakukan serangan di keramaian siang hari guna menarik perhatian publik semaksimal mungkin. Pada abad 19, teroris anarkis memanfaatkan poster untuk tujuan yang sama, sebelum akhirnya hari ini media sosial digunakan untuk mempropagandakan pesan seluas-luasnya.

Ketakutan massal menjadi salah satu alasan penting mengapa aksi teror digencarkan. Dari ketakutan saja, efek yang diharapkan pelaku teror bisa beragam: delegitimasi pemerintah, menunjukkan kegagalan aparat keamanan, memprovokasi tindakan keras dari aparat negara terhadap populasi sehingga memicu pemberontakan massa, hingga menyeret negara ke dalam perang. Untuk yang disebutkan terakhir, teror digunakan guna menciptakan ketakutan dengan harapan publik akan menekan pemerintah agar bersikap lebih keras terhadap pelaku teror—atau malah terjun ke kancah perang untuk memberantas terorisme, sebagaimana yang terjadi dalam operasi Global War on Terror era Presiden Bush.

Analis intelijen Michael Scheuer dalam bukunya Imperial Hubris (2007) menyatakan teror yang dilakukan al-Qaeda dirancang untuk menyeret Amerika Serikat ke dalam perang dan dengan demikian, menguras sumber daya strategis dan memaksa pangkalan-pangkalan militernya di luar negeri gulung tikar. Adapun operasi ISIS di Paris dan London diduga bertujuan membesarkan sentimen rasisme terhadap pendatang muslim, mendorong kebijakan anti-imigrasi, memancing negara untuk mengambil tindakan-tindakan militer di Suriah.

Namun, perbedaan tujuan juga perlu ditilik. Menurut Hoffman, kelompok-kelompok teroris sayap kiri dan etno-nasionalis yang bertujuan mendirikan negara sendiri—misalnya ETA di Basque, Spanyol, dan IRA di Irlandia Utara—cenderung mengklaim aksi-aksi di lapangan ketimbang teroris Islamis-ekstremis seperti ISIS. Perbedaannya signifikan: dalam sejarahnya yang panjang, ETA dan IRA memiliki basis pendukung sipil yang cukup besar dan terorganisir, sementara ISIS tidak. ETA dan IRA merupakan kelompok regional; sementara kelompok ISIS dan al-Qaeda bekerja layaknya restoran waralaba internasional.

Infografik Mengapa Teroris Mengklaim Serangan

Terorisme adalah Pasar

Osama bin Laden perlu waktu dua bulan untuk mengklaim serangan teror di WTC pada September 2001. Al-Qaeda mengklaim sebagai pelaku teror tiga hari setelah meledakkan bom di kereta bawah tanah Madrid, Spanyol pada 2004. Sementara aksi bom bunuh diri di Wagah, daerah perbatasan Pakistan-India pada 2014 diklaim oleh tiga organisasi yang saling bermusuhan.

Menurut ilmuwan politik Stanford Eric Min dalam "Taking Responsibility: When and Why Terrorists Claim Attacks" (2013), klaim teroris lebih dimungkinkan dalam serangan yang biayanya tinggi (aksi bunuh diri dan/atau aksi yang membunuh banyak orang) di negara demokratis dan lingkungan yang kompetitif di mana kelompok-kelompok teroris bersaing. Dalam negara demokrasi, langkah-langkah pengamanan yang diperlukan pemerintah untuk mengatasi terorisme seringkali terbentur hambatan kelembagaan, sehingga organisasi teror dapat mengklaim aksi-aksi anonim di lapangan karena risiko untuk direpresi jauh lebih kecil.

Semakin besar dampak aksi teror, semakin mudah ia diklaim. Seperti dikutip Hoffman, mekanisme pasar juga berlaku dalam terorisme. Manajemen sumber daya kelompok teror, logistik, jumlah kompetitor yang bermain pada pasar yang sama, serta keuntungan yang diharapkan bisa diperhitungkan. Organisasi teror menjual perlawanan ke segmentasi publik tertentu yang menginginkan perubahan politik atau mempertahankan status quo.

Satu contoh yang dikutip Hoffman adalah organisasi Harkat-ul-Mujahidin di Pakistan, yang menyebarkan poster bergambar senapan guna merekrut anggota baru. Imbalan atas operasi teroris bisa beragam, mulai dari uang tunai untuk upah dan anggaran operasional, sukarelawan untuk melaksanakan misi organisasi, serta dukungan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang mentolerir segala aktivitas yang berkenaan dengan terorisme. Inilah yang diperebutkan oleh kelompok-kelompok teroris.

Baca juga artikel terkait TERORIS atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Politik
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti