Menuju konten utama

Tugas Berat Menteri Pertanian untuk Syahrul Limpo atau Edhy Prabowo

Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo dan politikus Partai Nasdem Syahrul Yasin Limpo sama-sama dipanggil Presiden Jokowi. Kedua politikus itu sama-sama diisukan akan menjadi Menteri Pertanian.

Tugas Berat Menteri Pertanian untuk Syahrul Limpo atau Edhy Prabowo
Petani beraktivitas di lahan pertanian miliknya di kawasan Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (24/7/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.

tirto.id - Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo dan politikus Nasdem Syahrul Yasin Limpo adalah salah dua calon menteri yang dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana awal pekan ini. Edhy datang kemarin bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, sementara Syahrul hari ini (22/10/2019).

Keduanya sama-sama diisukan menjadi Menteri Pertanian untuk Kabinet Kerja jilid II menggantikan Amran Sulaiman.

Meski enggan menyebut ditawari posisi apa, faktanya Edhy bukan orang baru di bidang pertanian. Edhy pernah menjabat Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Pria kelahiran 24 Desember 1972 itu juga pernah menjabat komisaris PT Kiani Lestari Jakarta, perusahaan kertas milik Prabowo Subianto.

Di dunia politik, Edhy juga mengurusi sektor pertanian. Ia menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR RI periode 2014-2019 yang membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan. Mitra kerja komisi ini adalah Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Perum Bulog.

Syahrul Yasin Limpo juga tak menjelaskan spesifik soal tawaran dari Jokowi. Namun, indikasinya memang ke arah Mentan.

“Yang banyak beliau (presiden) tanyakan adalah agar 260 juta jiwa bisa terjamin, agar mereka lebih baik, lebih damai, tentram, teratur, terpenuhi kebutuhan dasarnya dari pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan,” kata Syahrul, Selasa (22/10/2019).

Kinerja Kementan

Siapa pun yang akhirnya dipilih Jokowi, dia harus menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk. Beban semakin berat karena dalam lima tahun terakhir kinerja Kementan tidak bisa disebut baik.

Salah satu yang cukup sering disorot media massa adalah ekspor impor pangan yang defisit--impor lebih besar dari ekspor. Sepanjang semester I/2019, impor pangan mencapai Rp35,5 triliun, sementara ekspor pangan hanya Rp171 miliar.

Felippa Amanta, peneliti bidang pangan dari Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), menilai ekspor impor pangan yang defisit merupakan hasil dari ketidakakuratan data pasokan pangan dalam negeri dan kebutuhan nasional.

“Hasilnya, kebutuhan impor pangan menjadi tidak jelas karena ketidakselarasan antara data Kementan dengan BPS (Badan Pusat Statistik). Seringkali data produksinya bisa over banget," kata Felippa saat dihubungi reporter Tirto, Senin (21/10/2019).

Kondisi itu, lanjut Felippa, semakin parah manakala transparansi dalam penyusunan kebutuhan impor pangan, termasuk pemberian izin impor, sangat minim. Tak pelak, impor pangan kerap menjadi lahan bancakan sejumlah pihak.

Apa yang dikatakan Felippa terbukti ketika 7 Agustus lalu KPK menangkap 11 orang dan menetapkan enam orang di antaranya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi perizinan impor bawang putih. Dua orang di antaranya adalah anggota DPR dari Komisi VI I Nyoman Dhamantra dan pengusaha Chandry Suanda alias Afung, pemilik PT Cahaya Sakti Agro.

KPK menduga Nyoman menerima suap Rp2 miliar dari Chandry dan pihak swasta Doddy Wahyudi untuk mengunci kuota impor. KPK menyegel beberapa ruangan di Kementan.

Selain ekspor impor, permasalahan yang tak kunjung diselesaikan Kementan adalah lemahnya produktivitas pertanian, termasuk rendahnya produktivitas tenaga kerja, kapasitas SDM, dan teknologi yang belum ideal.

Profesor ekonomi pertanian dari Universitas Lampung Bustanul Arifin menyoroti tiga masalah dalam pertanian Indonesia. Itu adalah produktivitas tenaga kerja, kapasitas sumber daya manusia, dan perubahan teknologi yang rendah.

“Jika ini dibenahi [produktivitas pertanian], ukuran-ukuran lain insya Allah akan mengikuti," kata Arifin saat dihubungi reporter Tirto.

Arifin menilai produktivitas tenaga kerja pertanian, peternakan, dan kehutanan sebenarnya menunjukkan tren positif sepanjang 2000-2017, yakni sekitar 4,49 persen atau lebih tinggi dari total produktivitas tenaga kerja dari seluruh sektor sebesar 3,29 persen. Hanya saja, jika dilihat lebih dalam, produktivitas itu masih lebih rendah ketimbang sektor lain.

Untuk itu, kebijakan SDM pertanian yang terdiri dari pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan wajib dikembangkan lebih jauh oleh menteri terpilih.

Baca juga artikel terkait KABINET JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Ringkang Gumiwang