Menuju konten utama

Tuduhan Juniver terhadap Haris Azhar, FPHS Tsingwarop: Kami Marah

FPHS Tsingwarop merupakan pemilik hak ulayat di Grasberg, sekaligus penduduk yang terkena dampak permanen atas keberadaan Freeport di Papua.

Tuduhan Juniver terhadap Haris Azhar, FPHS Tsingwarop: Kami Marah
Aktivis HAM Haris Azhar bersiap memberikan keterangan pers di Jakarta, Jumat (5/8). Antara Foto/Widodo S.

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengadukan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti atas dugaan pencemaran nama baik. Penyidik Polda Metro Jaya pun telah meminta keterangan si menteri dalam penyelidikan perkara.

Sementara kuasa hukum Luhut, Juniver Girsang menuduh Haris Azhar minta saham PT Freeport Indonesia kepada kliennya. Tudingan itu dilontarkan pada acara Mata Najwa, 29 September 2021.

Sekretaris Forum Pemilik Hak Sulung Tsinga, Waa/Banti, Aroanop (FPHS Tsingwarop) Yohan Zonggonau, menyatakan pihaknya --merupakan klien Haris Azhar dalam perkara pemenuhan hak masyarakat adat atas Perjanjian Divestasi PT Freeport Indonesia--, naik darah atas tudingan Juniver.

“Masyarakat, terutama FPHS, kami merasa marah betul. Kami sempat bikin pernyataan yang hanya berkembang di masyarakat saja,” kata Yohan dalam konferensi pers daring, Kamis (7/10/2021). “Kami bilang, somasi balik saja (kepada Luhut), masyarakat ada di belakang Pak Haris. Karena (tuduhan) ini tidak benar.”

FPHS Tsingwarop merupakan pemilik hak ulayat di Grasberg, sekaligus penduduk yang terkena dampak permanen atas keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua. Untuk memperjuangkan haknya memperoleh bagian atas saham PT FI sebagaimana telah diakui dan dijanjikan dalam perjanjian, Haris Azhar menjadi kuasa hukum FPHS.

Kesepakatan yang dimaksud adalah ‘Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) tentang Pengambilan Saham Divestasi PT Freeport Indonesia’, tanggal 12 Januari 2018.

Sesuai dengan Pasal 2.2 Perjanjian Divestasi PT FI, diatur bahwa Pemerintah Daerah Papua, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika, akan mendapatkan porsi saham sebesar 10 persen dengan komposisi: 3 persen untuk Pemerintah Provinsi Papua dan 7 persen untuk Pemerintah Kabupaten Mimika, termasuk mewakili hak-hak masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak permanen. Hingga saat ini belum jelas realisasi dari perjanjian tersebut.

Atas porsi saham 10 persen, Pemerintah Provinsi Papua menerbitkan Peraturan Daerah yang pada intinya mengatur mengenai pembentukan BUMD Papua untuk mengelola porsi kepemilikan saham PT FI oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perseroan Terbatas Papua Divestasi Mandiri, mengatur adanya perubahan komposisi saham perusahaan dengan pemerintah provinsi memiliki saham sebesar 30 persen, sedangkan pemerintah kabupaten Mimika memiliki saham 70 persen.

Komposisi saham 70 persen itu termasuk mewakili hak-hak masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat yang terkena dampak permanen. Namun demikian, pengaturan ini masih menyisakan masalah karena tidak jelasnya aturan mengenai bagian saham PT FI untuk Masyarakat Adat Tiga Kampung. Dengan kata lain, perda-perda yang ada belum mengakomodasikan tuntutan dan hak masyarakat pemilik hak ulayat dan masyarakat terkena dampak permanen.

“Hal inilah yang mungkin di balik tuduhan tanpa dasar Juniver Girsang. Padahal cerita yang sebenarnya adalah tuntutan sah dari masyarakat adat yang diajukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai realisasi perjanjian divestasi saham PT FI,” jelas Hendrayana, kuasa hukum Haris Azhar.

Dalam memperjuangkan haknya, FPHS telah menuntut secara sah tidak hanya kepada Koordinator Kementerian Maritim dan Investasi, namun juga kepada kementerian terkait lainnya dan Pemerintah Kabupaten Mimika.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz