Menuju konten utama

Tsunami 20 Meter, BMKG: Pentingnya Mitigasi untuk Skenario Terburuk

Kepala Stasiun Geofisika BMKG Sleman Yogyakarta, Agus Riyanto mengatakan, bahwa sebenarnya ancaman itu nyata dan riil.

Tsunami 20 Meter, BMKG: Pentingnya Mitigasi untuk Skenario Terburuk
Ilustrasi Gelombang Tinggi. foto/istockphoto

tirto.id - Akhir-akhir ini warganet ramai memperbincangkan hasil studi tentang potensi tsunami 20 meter di Selatan Jawa yang dipicu gempa Megathrust.

Kepala Stasiun Geofisika BMKG Sleman Yogyakarta, Agus Riyanto membenarkan adanya potensi tsunami yang dipicu oleh gempa Megathrust.

"Adanya potensi gempabumi dan ancaman tsunami di Selatan Jawa itu riil dan nyata adanya," ujarnya seperti melalui keterangan resmi yang diunggah di media sosial Instargram resmi Stageof, Sleman, Yogyakarta.

Namun, ia menegaskan bahwa potensi gempa dan tsunami itu sebenarnya tak hanya bisa terjadi di Selatan Jawa tetapi juga seluruh wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Zona Megathrust.

Daerah yang berbatasan langsung dengan Zona Megathrust yaitu mulai dari Barat Sumatera, Selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, daerah Subduksi Banda, Subduksi Lempeng Laut Maluku, Subduksi Sulawesi, Subduksi Lempeng Laut Filipina dan Subduksi Utara Papua.

Ia mengatakan bahwa penelitian yang dipublikasikan soal adanya ancaman gempa dan tsunami hingga 20 meter tersebut sebetulnya lebih bertujuan untuk mengedukasi masyarakat dan justru bukan untuk menimbulkan kepanikan di masyarakat.

"Penelitian dari para ahli mengenai skenario terburuk potensi gempabumi dan tsunami tersebut disampaikan karena mengingat belum ada alat yang dapat digunakan untuk memprediksi di mana dan kapan akan terjadi peristiwa gempabumi," ujarnya.

Sehingga ia menegaskan bahwa upaya mitigasi yang baik harus dipersiapkan dari skenario terburuk untuk mengurangi kerugian sekecil mungkin akibat dari adanya bencana tersebut.

Sementara itu, hasil studi yang direspons oleh Agus tersebut terbit di jurnal ilmiah Nature, pada 17 September 2020. Kajian ilmiah ini hasil kolaborasi 11 peneliti dari berbagai institusi berbeda.

Para peneliti tersebut adalah S. Widiyantoro, E. Gunawan dan AD. Nugraha (Global Geophysics Research Group ITB Bandung), A. Muhari (BNPB) dan N. Rawlinson (Department of Earth Sciences, Bullard Labs, Univeritas Cambridge).

Selain itu, J. Mori (Disaster Prevention Research Institute, Universitas Kyoto), NR. Hanifa (National Center for Earthquake Studies, Bandung), S. Susilo (Badan Informasi Geospasial), P. Supendi (BMKG Bandung), HA. Shiddiqi (Department of Earth Science, University of Bergen Norwegia), serta HE Putra (PT. Reasuransi Maipark).

Kajian para peneliti itu menyimpulkan relokasi gempa bumi yang dicatat oleh BMKG di Indonesia dan inversi data global positioning system (GPS) menunjukkan ada kesenjangan seismik yang jelas di selatan Pulau Jawa.

Kesenjangan seismik itu diduga terkait sumber potensial gempa Megathrust. Dengan merujuk data sejarah gempa dan riset sebelumnya, kajian itu mengasumsikan luas zona defisit slip di selatan Jawa Barat bisa setara gempa Magnitudo 8,9.

Sedangkan area defisit slip tinggi di selatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur setara dengan gempa Magnitudo 8,8. Jika kedua zona defisit slit di selatan Jawa itu pecah bersamaan maka ada potensi gempa dengan magnitudo 9,1.

Hasil pemodelan dalam penelitian ini menunjukkan, apabila skenario terburuk terjadi, yakni jika 2 segmen Megatrust di selatan Jawa pecah secara bersamaan, terdapat potensi tsunami dengan ketinggian maksimum hingga 20 meter dan 12 meter.

Tsunami 20 meter berpotensi terjadi di pesisir selatan Jawa Barat. Sementara potensi tsunami 12 meter di pesisir selatan Jawa Timur. Dalam skenario terburuk gempa Megatrust tersebut, rata-rata ketinggian maksimum tsunami di seluruh pantai selatan Jawa adalah 4,5 meter.

Para peneliti dalam riset ini menyimpulkan hasil pemodelan mereka selaras dengan seruan untuk memperkuat Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS), khususnya di Jawa yang padat penduduk.

Gempa dan tsunami memang sudah kerap terjadi di wilayah Indonesia sejak lama. Banyak gempa dan tsunami besar tercatat pernah terjadi dalam sejarah masa lalu nusantara.

Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di pertemuan 4 lempeng tektonik, yakni: lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Dampaknya ialah banyak area rawan gempa dan tsunami di Indonesia.

Selama ini, tsunami di Indonesia sebagian besar disebabkan gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama kurun tahun 1600-2000, ada 105 kejadian tsunami di Indonesia. Sebanyak 90 persen di antaranya dipicu oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor.

"Wilayah pantai di Indonesia merupakan kawasan rawan terjadi bencana tsunami terutama di pantai barat Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir seluruh pantai di Sulawesi," demikian keterangan BNPB di laman resminya.

BNPB menyatakan: "Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat."

Baca juga artikel terkait POTENSI TSUNAMI atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH