Menuju konten utama

Trump Presiden Amerika Terburuk Sepanjang Sejarah

Trump disebut-sebut sebagai presiden AS terburuk sepanjang sejarah. Tentu ia tak sendirian.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump berpartisipasi dalams acara Memorial Day di USS Wasp (LHD 1) di Yokosuka, selatan Tokyo, Jepang, Selasa (28/5/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst/wsj/cfo

tirto.id - Pada Februari 2018, ahli ilmu politik Brandon Rottinghaus (University of Houston) dan Justin S. Vaughn (Boise State University) merilis peringkat presiden-presiden Amerika yang paling berprestasi di The New York Times. Penilaian tersebut diberikan oleh 170 akademisi dari American Political Science Association (APSA) bidang Politik Eksekutif dan Presiden. Hasilnya, Trump mendapatkan ranking paling bawah.

Bahkan, menurut pihak yang mengaku sebagai Republikan, Trump masih berada di urutan kelima terbawah. Di sisi lain, mungkin terlalu dini untuk menilai kinerja Trump karena survei baru dilakukan satu tahun setelah ia menjabat presiden. Namun demikian, profesor sejarah di Princeton, Sean Wilentz, menyangsikan Trump akan berbenah.

Masih pada awal 2018, Wilentz menulis di laman opini The New York Times bahwa tahun pertama pemerintahan Trump sudah diwarnai dengan “parade penghinaan tiada henti yang merendahkan dirinya sekaligus martabat pemerintahannya”. Menurut Wilentz, Trump sudah menunjukkan bahwa dengan cara demikianlah dia akan memerintah. Administrasi Trump pun diperkirakan bakal berakhir suram.

'Prestasi' Donald Trump (2017-21)

Sampai menjelang akhir masa kerjanya, kelakuan Trump masih terus membikin gerah para politisi, analis media, akademisi, dan ahli kesehatan. Sejarawan dan kolumnis The Washington Post, Max Boot, awalnya menilai performa Trump sebagai yang terburuk dalam riwayat kepresidenan Amerika modern. Artinya, Trump bahkan belum bisa disandingkan dengan beberapa pemimpin Amerika abad ke-19 yang dikenal rasis atau pro-perbudakan. Namun, Boot bergegas mengoreksi pandangannya setelah menyorot kinerja Trump dalam merespons pandemi.

“Dengan kesalahan penanganan yang katastropik terhadap virus korona, Trump sudah memantapkan dirinya sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS,” tulis Boot pada awal April 2020. Boot lantas mengulas angka pengangguran yang meroket selama pandemi, sikap remeh Trump terhadap angka kematian akibat COVID-19 dan kegagalannya untuk fokus mempersiapkan krisis kesehatan. Sejak awal pandemi, Trump berkali-kali melontarkan pernyataan inkonsisten sekaligus bertentangan dengan pandangan ahli kesehatan.

Dua minggu menjelang pilpres 2020, tim editorial The New York Times menerbitkan serangkaian analisis untuk membuktikan betapa Trump bukanlah sosok yang tepat untuk memimpin Amerika. Kampanye agar Trump kembali terpilih dikhawatirkan bakal jadi “ancaman terbesar terhadap demokrasi Amerika sejak Perang Dunia II”.

Salah satu ulasan New York Times membahas bagaimana bisnis keluarga besar Trump diuntungkan dengan kedudukan Trump sebagai orang nomor satu di AS. Trump International Hotel di Washington DC menjadi saksi sekaligus penerima keuntungan besar dari pertemuan orang-orang berkepentingan—mulai dari pejabat, asosiasi pengusaha, sampai korps diplomatik asing. Tak terhitung banyaknya uang negara yang dibayarkan kepada bisnis-bisnis Trump untuk memfasilitasi akomodasi Secret Service selama bertugas melindungi jajaran eksekutif, termasuk untuk anak-anak Trump ketika mengurus aset keluarga di luar negeri. Belum lagi temuan tentang upaya korporat dan elite asing mendekati bisnis mantu Trump demi kemudahan akses proyek.

Selain konflik kepentingan bisnis keluarga, Trump juga dikritik karena mengkerdilkan proses pemilu. Hobi Trump mengumbar kebenaran versi tunggalnya di Twitter dan Facebook terbukti ikut memperkeruh iklim pembentukan opini publik Amerika selama empat tahun terakhir. Fakta-fakta objektif tak lagi bermakna bagi sejumlah fans hardcore Trump.

Puncaknya adalah kerusuhan di Gedung Capitol oleh gerombolan sayap kanan yang ingin menghentikan proses penetapan pemenang pilpres. Sejumlah besar massa termakan oleh “kebenaran” ala Trump bahwa pemilu sudah dicurangi sehingga sang capres kalah.

Suasana semakin mengerikan, tatkala terungkap sejumlah atribut yang diusung oleh para perusuh mengandung pesan-pesan mengganggu, seperti salah satunya bendera Konfederasi—simbol pro-perbudakan dan populer di kalangan supremasis kulit putih. Terlihat pula orang-orang dari kelompok ekstrem sayap kanan seperti Proud Boys dan Oath Keepers.

Walaupun Trump tidak pernah terang-terangan mendukung gerakan atau grup yang berpandangan rasis, ucapan-ucapannya kerap mengandung unsur kebencian rasial. Terlebih dari itu, berdasarkan sebuah studi bertajuk "White Protectionism in America" (2020, PDF) oleh Roger Smith dan Desmond King, terungkap bagaimana bagaimana retorika dan kebijakan administrasi Trump selama ini turut mengarah pada visi “proteksionisme kulit putih”.

Sejarah mencatat Trump sebagai presiden pertama yang dimakzulkan oleh DPR AS sebanyak dua kali dalam satu periode pemerintahannya. Pemakzulan pertama terjadi pada Desember 2019 atas tuduhan penyalahgunaan wewenang dengan melibatkan pihak asing dalam politik domestik, sedangkan pemakzulan kedua baru saja dilayangkan atas tuduhan memicu pemberontakan melawan negara dengan aksi kekerasan massal di Capitol pada Januari 2021.

Menilik kinerja Trump di atas, tidak mengherankan apabila sejumlah media dan akademisi menilai Trump dengan buruk. Beberapa bahkan sampai menempatkan nama Trump sejajar dengan pemimpin-pemimpin rasis abad ke-19. Padahal, Amerika kala itu dihadapkan pada latar politik dan iklim sosio-budaya yang punya karakter carut-marut berbeda—dan lebih mengenaskan—apabila disandingkan dengan konteks masa kini.

Dalam survei American Political Science Association (APSA) yang dirilis awal 2018, peringkat Trump berada di bawah tiga tokoh pemimpin bermasalah era 1850-an: James Buchanan, Andrew Johnson, dan Franklin Pierce. Sedangkan menurut survei Siena College Research Institute yang dirilis pada awal 2019 (dua tahun setelah masa bakti Trump), peringkat Trump berada di atas ketiga presiden tersebut, meskipun mereka semua masih menduduki lima urutan paling bawah.

Buchanan, Johnson, dan Pierce sebenarnya juga didaulat sebagai presiden dengan peringkat terendah menurut C-SPAN Presidential Historians Survey tahun 2017.

Perlu diingat bahwa Buchanan, Johnson, dan Pierce memimpin Amerika ketika perbudakan marak di negara-negara bagian Selatan. Di Selatan, orang-orang dari Afrika diperbudak untuk mendukung industri perkebunan kapas yang tumbuh pesat. Situasi agak berbeda di Utara, yang industri perkebunannya tidak semasif di Selatan dan gerakan anti-perbudakan cenderung lebih kuat di sana. Sayangnya, Buchanan, Johnson, dan Pierce menunjukkan sikap yang cenderung mendukung—atau mengabaikan—isu-isu perbudakan.

Tidak bisa dipungkiri, mungkin terkesan “kejam” untuk menyandingkan warisan politik Trump dengan presiden-presiden AS era perbudakan sebagaimana dinilai lewat survei. Namun, alih-alih memperdebatkan metode atau standar penilaian peringkat, mungkin lebih penting untuk membaca kisah para presiden di masa lampau berikut sebagai pengingat tentang bagaimana sejarah mengenang kinerja pemimpin-pemimpin Amerika selama ini.

James Buchanan (1857-61), Presiden Pasif

James Buchanan, seorang tokoh Demokrat dari Utara (Pennsylvania), diangkat sebagai presiden AS ke-15. Dua hari setelah Buchanan dilantik, Jaksa Agung AS mengambil putusan dari kasus Dred Scott bahwa semua orang kulit hitam keturunan Afrika, baik yang bebas maupun diperbudak, tidak boleh jadi warga negara Amerika dan tidak berhak mengajukan tuntutan hukum di pengadilan federal.

Buchanan diketahui punya andil dalam menentukan putusan tersebut. Ia rupanya memengaruhi hakim Pennsylvania untuk sepakat dengan para hakim pro-perbudakan dari Selatan. Sampai menjelang akhir pemerintahannya, Buchanan masih menganggap bahwa isu perbudakan seharusnya dikembalikan kepada putusan tiap-tiap negara bagian dan teritori (states’ rights), alih-alih pemerintah federal.

Buchanan juga pasrah saat tujuh negara bagian di Selatan memisahkan diri dari Union dan membentuk Konfederasi. Konfederasi ini disetir oleh visi yang mengerikan. Seperti disampaikan profesor sejarah di Columbia, Stephanie McCurry, mereka berusaha membangun suatu negara bangsa yang berasaskan “supremasi kulit putih, pro-perbudakan, dan anti-demokrasi”.

Dua bulan sebelum masa jabatannya berakhir, Buchanan berpidato di hadapan Kongres bahwa pemerintahannya tak kuasa mencegah negara-negara yang mau meninggalkan Union, terlepas ia tahu secara konstitusional bahwa mereka sebenarnya tidak berhak untuk keluar. Sebulan setelah Buchanan memberikan kursi presiden untuk Abraham Lincoln, pecahlah Perang Saudara (1861-65). Banyak sejarawan menilai sikap pasif Buchanan sebagai faktor pendorong terjadinya perang antara Konfederasi dan negara-negara bagian Utara.

Infografik Peringkat Presiden AS

Infografik Presiden-Presiden AS Yang 'Paling Berprestasi'. tirto.id/Fuad

Andrew Johnson (1865-69), Presiden Rasis

Andrew Johnson dari Partai Demokrat diangkat sebagai presiden setelah kematian Lincoln. Ia dikenal sebagai tokoh dari Selatan (Tennesee) yang pro-Union, namun masih menganggap remeh emansipasi budak kulit hitam. Sepeninggal Lincoln, Johnson mewarisi Amerika yang tengah memulihkan diri dari Perang Saudara, tepatnya setelah tentara Konfederasi menyerah pada April 1865.

Pada satu-dua tahun pertama pemerintahannya, Johnson dikritik terlah berlaku terlalu lunak memberikan ampunan kepada para pemimpin di Selatan. Walaupun perbudakan sudah dihapuskan oleh Lincoln (1862), justru di bawah administrasi Johnson negara-negara Selatan marak mengesahkan serangkaian undang-undang untuk membatasi hak-hak orang kulit hitam serta mengeksploitasi mereka sebagai buruh.

Johnson juga memveto rancangan UU dari Kongres, seperti Freedmen’s Bureau (untuk menyediakan payung hukum bagi mantan budak) serta Civil Rights Act (memberikan kewarganegaraan bagi semua orang yang lahir di Amerika). Menurut Johnson, langkah-langkah Rekonstruksi—proses re-integrasi negara-negara Selatan ke dalam Union—yang diajukan Kongres, berbeda dengan visinya. Johnson pun berusaha mencari simpati publik dengan cara menjelek-jelekkan politisi Republikan yang mendominasi Kongres.

Dilansir dari situs History, setahun sebelum masa baktinya selesai, Johnson dimakzulkan oleh DPR karena menyalahi Tenure of Office Act. Satu dari 11 alasannya, Johnson mencopot Menteri Perang Edwin Stanton tanpa persetujuan Senat (semata-mata karena kesal atas penentangan Stanton terhadap kebijakan Rekonstruksi yang diyakini sang presiden). Terlepas dari itu, Johnson masih bisa memerintah sampai akhir jabatannya karena terselamatkan dari pemakzulan oleh satu suara di tingkat Senat.

Menurut profesor sejarah Elizabeth R. Varon, Johnson dipandang sebagai orang paling buruk yang diangkat sebagai presiden pada masa berakhirnya Perang Sipil. Pasalnya, ia gagal mendorong perdamaian dengan “pandangan-pandangan rasisnya”, tidak kompeten memerintah, serta salah memperhitungkan dukungan publik terhadap kebijakan-kebijakannya.

Franklin Pierce (1853-57), Peragu

Selain Buchanan dan Johnson, masih ada pendahulu mereka yang masuk dalam kategori presiden berkinerja buruk. Franklin Pierce dari Partai Demokrat berkuasa ketika tanah yang diduduki orang kulit putih semakin luas, terutama daerah Kansas dan Nebraska yang belum ramai dijadikan permukiman. Sampai akhirnya, muncul perdebatan tentang status budak di wilayah tersebut. Kemudian, senator Stephen Douglas mengajukan Kansas-Nebraska Act, yang isinya memberikan kebebasan kepada orang kulit putih di sana untuk menentukan keputusannya sendiri terkait perbudakan.

Dilansir dari biografi Pierce oleh Jean H. Baker, Pierce dinilai oleh publik kala itu sebagai figur yang “ragu-ragu dan tidak efektif” dalam menangani isu perbudakan. Dalam tekanan, Pierce setuju untuk menandatangani Kansas-Nebraska Act.

Dampaknya, Kansas jadi ladang pertempuran antara mereka yang pro- dan anti-perbudakan, sampai namanya dikenal sebagai Kansas Berdarah atau “Bleeding Kansas". Berbagai insiden kekerasan terus berlangsung di sana sampai masa jabatan Pierce berakhir. Meskipun tidak berkontribusi langsung pada pecahnya Perang Saudara, insiden berdarah di Kansas turut meningkatkan ketegangan politik menjelang Perang Saudara pada 1861.

Baca juga artikel terkait DONALD TRUMP atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf
-->