Menuju konten utama

'Trigol' Korupsi Wali Kota Cimahi akibat Gagalnya Pencegahan KPK?

Ajay Muhammad Priatna menjadi Wali Kota Cimahi ketiga yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

'Trigol' Korupsi Wali Kota Cimahi akibat Gagalnya Pencegahan KPK?
Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) didampingi Plt Jubir KPK Ali Fikri (kanan) menunjukkan tersangka pada konferensi pers penetapan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan penambahan gedung Rumah Sakit Kasih Bunda Cimahi, di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (28/11/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/hp.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna sebagai tersangka suap dalam perizinan rumah sakit Tahun Anggaran 2018-2020. Ajay diduga menerima suap dari tersangka Hutama Yonathan, Direktur RSU Kasih Bunda.

Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Sabtu (28/11/2020) siang, menjelaskan pihak RSU Kasih Bunda mengajukan permohonan revisi IMB kepada DPMPTSP Kota Cimahi untuk menambah gedung pada 2019. Ajay meminta uang sebesar Rp3,2 miliar kepada Hutama di sebuah restoran di Bandung untuk memuluskan perizinan tersebut.

Ajay menugaskan Yanti menemui staf RSUKB bernama Cynthia Gunawan untuk menerima duit sebanyak lima kali dengan jumlah Rp1,661 miliar. Pemberian pertama 6 Mei dan terakhir 27 November 2020 dengan jumlah Rp425 juta.

Sehari sebelum pemberian terakhir, KPK mendapatkan informasi bahwa Yanti dan Cynthia akan bertemu di restoran di Bandung pada Jumat (27/11/2020) pukul 10.40 WIB. Tim KPK pun langsung menangkap tangan keduanya berikut menyita barang bukti uang suap.

“CG menemui YR dengan membawa tas plastik putih yang diduga berisi uang tunai,” ujar Firli.

Firli mengatakan sejauh ini belum ada indikasi keterlibatan pihak lain, namun KPK bakal terus mendalami semua informasi berdasarkan keterangan saksi dan barang bukti. Begitu juga dengan dugaan tindak korupsi Ajay terhadap keberlangsungan Pilkada Kota Cimahi berikutnya.

“Khusus kasus ini, memang bukti menunjukan keterlibatan langsung Wali Kota dengan pihak RSU,” ujarnya.

Ajay disangkakan melanggar melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan atau Pasal 12 B, sementara Hutama disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua tersangka akan menjalani masa tahanan selama 20 hari sejak 28 November hingga 17 Desember 2020 di dua tempat terpisah. Ajay ditahan di Rutan Polres Jakarta Pusat dan Hutama di Rutan Polda Metro Jaya.

“KPK sungguh prihatin atas korupsi yg terus dilakukan para Kepala Daerah. Bahkan untuk Kota Cimahi telah 3 Kepala Daerahnya berturut-turut menjadi tersangka KPK. KPK berharap kejadian ini tidak akan terulang kembali,” ujar Firli.

Pencegahan KPK Gagal?

Ajay Muhammad Priatna menjadi Wali Kota Cimahi ketiga yang diciduk KPK. Pada Desember 2016, Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suaminya, yang juga mantan Wali Kota Cimahi, Itoc Tochija ditangkap KPK.

Itoc Tochija menjabat Walo Kota Cimahi sejak 2002 sampai 2012. Jabatan Itoc diteruskan istrinya, Atty Suharti yang menjabat sejak 2020 hingga 2017.

Pasangan suami-istri tersebut menjadi tersangka atas kasus korupsi Pasar Atas Cimahi Baru, Cimahi, Jawa Barat. Mereka diduga menerima uang suap Rp500 juta dari pengusaha Triswara Dhanu dan Hendriza Soleh Gunadi. Itoc divonis 7 tahun penjara dan Atty hanya empat tahun penjara.

Dalam masa hukuman, Itoc kembali divonis Pengadilan Negeri Tipikor Bandung melakukan korupsi Pasar Raya Cibereum dengan nominal Rp37 miliar. Itoc tidak menuntaskan hukuman karena meninggal dunia akibat sakit pada 14 September 2019.

Setelah pasangan koruptor itu ditahan, jabatan Wali Kota Cimahi diisi sementara oleh Sudiarto sejak 8 Juni 2017 hingga 22 Oktober 2017. Kemudian Ajay Muhammad Priatna mengambil alih tongkat kekuasaan Kota Cimahi.

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman mencermati ada sistem politik yang tidak berubah. Hal itu memengaruhi sikap para birokrat dan pelaku bisnis di daerah yang dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi.

Cara untuk memangkasnya, menurut Zaenur, KPK jangan lepas mengawasi dan membina tata kelola daerah tersebut sejak kasus korupsi pertama terjadi. Kegiatan koordinasi dan supervisi pencegahan (Korsupgah) KPK perlu melanjutkan kerja-kerja tim penindakan selepas OTT.

“Jika masih terjadi seperti Cimahi, berarti Korsupgah belum berhasil melakukan perubahan,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Sabtu (28/11/2020).

Baca juga artikel terkait OTT KPK WALI KOTA CIMAHI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan