Menuju konten utama

Tren Shortfall Pajak Yang Terus Berulang

Sisa penerimaan pajak yang harus dikejar pada kuartal IV/2017 mencapai Rp513 triliun. Besar kemungkinan shortfall pajak terulang.

Tren Shortfall Pajak Yang Terus Berulang
Ilustrasi informasi pajak. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

tirto.id - "Strategi saya simpel. Saya mengimbau kepada semua pihak untuk dapat bergotong royong [membayar pajak]. Kami ada ini bukan untuk menakuti-nakuti masyarakat."

Begitulah jawaban dari Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi saat konferensi pers Jumat (27/10/2017), ketika dirinya ditanya mengenai strategi Ditjen Pajak dalam mengamankan penerimaan pajak 2017 sebesar Rp1.284 triliun dalam sisa waktu kurang dari tiga bulan ini.

Realisasi penerimaan pajak hingga September 2017 baru mencapai 60 persen, atau sebesar Rp770,7 triliun dari target APBNP 2017. Ini artinya, masih ada kekurangan setoran pajak hingga 40 persen yang harus dikejar dalam triwulan terakhir tahun ini.

Angka itu tidak jauh berbeda dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu, sebesar 59 persen. Tahun 2016 sendiri berakhir dengan setoran pajak yang tak mencapai target. Belajar dari pengalaman tahun sebelumnya, target penerimaan pajak pada tahun 2017 akhirnya didiskon Rp42 triliun.

Baca juga: Pemerintah Yakin Mampu Penuhi Target Penerimaan Perpajakan di 2018

Tradisi Ditjen Pajak yang gagal mencapai target atau biasa disebut dengan shortfall pajak tampaknya akan kembali terulang.

Tren shortfall pajak mulai terjadi pada 2006 setelah masa kepemimpinan Ditjen Pajak Hadi Poernomo pada periode 2001-2005, atau dari kepemimpinan Darmin Nasution yang dilantik pada 27 April 2006 hingga 2008, oleh Menkeu Sri Mulyani pada masa itu.

Perjalanan shortfall sempat terhenti saat 2008. Namun, capaian pada saat itu tidak dianggap karena banyak restitusi yang ditahan pada periode 2007-2008.

Tren shortfall pun diteruskan oleh Ditjen Pajak selanjutnya yaitu M. Tjiptardjo pada 28 Juli 2009, sebelum digantikan Fuad Rahmany yang dilantik Menkeu Agus Martowardojo pada 21 Januari 2011.

Hingga Fuad resmi lepas jabatan pada 1 Desember 2014, tren shortfall pajak masih berlanjut. Tekanan kepada Ditjen Pajak memang sangat besar. Selain berupaya menggenjot penerimaan pajak, Dirjen Pajak juga dituntut melanjutkan reformasi birokrasi.

“Ditjen pajak paling stressfull, tapi kerjaan yang sangat membanggakan,” kata Fuad setelah menyerahkan jabatan kepada Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo, dan disaksikan langsung oleh Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro.

Mardiasmo akan menjadi pelaksana tugas sementara hingga terpilih Dirjen Pajak definitif. Kurang lebih dua bulan setelahnya, Sigit Priadi Pramudito terpilih menjadi Dirjen Pajak baru pada 6 Februari 2015.

Terpilihnya Sigit menjadi hal yang positif di kalangan karyawan Ditjen Pajak. Pasalnya, Sigit bukanlah orang baru di Ditjen Pajak. Ia sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kanwil Wajib Pajak Besar.

Sayangnya, Sigit hanya bertahan kurang dari sembilan bulan. Ia akhirnya memilih untuk mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di Ditjen Pajak. Alasannya, ia tidak mampu merealisasikan target penerimaan pajak sebesar Rp1.294,25 triliun.

Hingga akhir 2015, realisasi penerimaan pajak hanya tercapai Rp1.096 triliun atau 85 persen dari target APBNP 2015 sebesar Rp1.294 triliun. Hasil ini juga bisa dikatakan terburuk dalam 10 tahun terakhir.

Setelah Sigit, Dirjen Pajak kini dipegang Ken hingga sekarang. Pria asal Malang ini resmi menjabat sebagai Dirjen Pajak pada 1 Maret 2016. Sama seperti Sigit, Ken bukan orang baru di Ditjen Pajak. Ia sudah malang melintang di Ditjen Pajak sejak 1993.

Pada tahun 2016, Ken mendapat mandat yang cukup penting dari Presiden Joko Widodo, yakni mengawal program pengampunan pajak atau amnesti pajak. Dari program amnesti pajak, pemerintah berharap penerimaan pajak 2016 bisa meningkat.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016, pemerintah mendapatkan pemasukan dari tebusan amnesti pajak sebesar Rp103,06 triliun dengan total deklarasi harta sebesar Rp3.461 triliun.

Meski ada tambahan penerimaan dari amnesti pajak, realisasi penerimaan pajak tetap tidak sesuai dengan target. Bahkan, shortfall-nya lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya, yakni 84 persen atau sebesar Rp1.141 triliun dari target Rp1.355 triliun.

Terulangnya shortfall pajak pada tahun ini pun kembali membayangi Ditjen Pajak di bawah kepemimpinan Ken. Pasalnya, sisa kekurangan penerimaan pajak yang harus dikejar dalam tiga bulan ke depan mencapai Rp513 triliun.

Lantas, apakah itu bisa tercapai? Bisa saja. Namun jika dihitung secara rata-rata penerimaan pajak per kuartal—Rp771 triliun dibagi tiga—maka tambahan penerimaan pajak yang dapat diraup pada kuartal IV/2017 hanya Rp257 triliun. Hanya saja perhitungan ini bisa meleset, lantaran penerimaan pajak pada kuartal empat selalu tiba-tiba melonjak.

Misalnya pada tahun lalu, rata-rata penerimaan pajak per kuartal (Januari-September) sebesar Rp264 triliun. Namun pada kuartal terakhir, nilai penerimaan pajak melonjak hingga 36 persen menjadi Rp351 triliun dari Rp264 triliun.

Begitu juga pada 2015, rata-rata penerimaan per kuartal sekitar Rp229 triliun, namun pada tiga bulan terakhir melonjak menjadi Rp410 triliun, naik 79 persen. Nah, jika ingin mencapai target pada 2017, maka Ditjen Pajak paling tidak harus menaikkan rata-rata penerimaan pajak per kuartal hingga 99 persen pada kuartal IV/2017.

Baca juga: Menyoal PP 36, Episode Baru Memburu Harta Wajib Pajak

Infografik Orang Bijak Taat Pajak

Pesimistis

Meski demikian, Ditjen Pajak masih yakin penerimaan pajak hingga akhir tahun ini bisa mencapai target. Pasalnya, penerimaan pajak dari PPh dan PPN pada Oktober 2017 masih tumbuh tinggi, masing-masing sekitar 25 persen dan 15 persen.

“Kita belum bisa merilis angkanya, namun penerimaan PPN dan PPh pada Oktober 2017 itu masih tumbuh tinggi dari Oktober 2016,” ujar Yon Arsal Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak kepada Tirto.

Selain dari PPN dan PPh, penerimaan pajak pada tiga bulan ke depan juga akan disumbang dari pajak PPh final, di antaranya seperti pajak dari jualan obligasi valas, dan pengalihan tanah dan bangunan, yang masih belum diterima Ditjen Pajak.

Di lain pihak, para ekonom dan pengamat perpajakan memperkirakan bahwa shortfall masih akan terulang. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo misalnya memperkirakan shortfall sekitar Rp140 triliun.

"Kita enggak punya sumber pendapatan lain, kecuali mengandalkan belanja pemerintah saja. Di luar itu, tidak banyak saya kira. Perhitungan kami tahun ini realisasinya sekitar 89 persen-92 persen. Jadi shortfall sekitar Rp102-140 triliun," ujarnya.

Selain CITA, Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih juga pesimistis target penerimaan pajak. Dia memperkirakan realisasi penerimaan pajak hanya 83-85 persen atau shortfall lebih dari Rp200 triliun.

Melihat realisasi penerimaan pajak saat ini, otoritas pajak perlu memberikan sentuhan khusus atau upaya luar biasa dalam tiga bulan ke depan guna memutus tren shortfall. Tentunya, hal itu tidak bisa jika hanya mengandalkan imbauan gotong royong.

Baca juga: Ditjen Pajak: Data Penerimaan PPN Jadi Bukti Daya Beli Tidak Turun

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Ringkang Gumiwang
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti