Menuju konten utama

Tren Jihadis Kelas Menengah Bantah Kemiskinan sebagai Akar Teror

Faktanya anggota ISIS asal Eropa dan AS, pun ekstremis di Pakistan dan di negara lain, banyak yang berasal dari kalangan kelas menengah.

Tren Jihadis Kelas Menengah Bantah Kemiskinan sebagai Akar Teror
Kondisi rumah keluarga Dita masih dijaga aparat kepolisian bersenjata setelah olah TKP dan peledakan sebuah bom, Minggu (13/5). Tirto.id/Tony Firman

tirto.id - Tiap kali muncul aksi terorisme, tokoh relijius, budayawan, hingga pembuat kebijakan (legislatif dan eksekutif) di tanah air mengulang teori bahwa akar dari permasalahan ini adalah kemiskinan.

Faktanya, gelombang teror yang kini menyapu Indonesia maupun negara lain banyak dilakukan oleh para jihadis yang berlatar belakang kelas menengah, alias mereka yang secara ekonomi tergolong cukup mapan.

Misalnya pasangan suami-istri Dita Oeprianto-Puji Kuswati plus keempat anaknnya yang mengeksekusi rentetan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) pagi. Rumah mereka di kompleks Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo, Surabaya, jauh dari kesan kumuh apalagi bobrok.

Menurut amatan Tirto, saat liburan tiba, mereka biasa pelesir ke beberapa tempat, salah satunya wisata di Kabupaten Banyuwangi. Mulai dari Pantai Grajakan, Pantai Muncah, hingga Pulau Merah, mereka susuri bersama. Di dalam rumah Dita dan Puji turut menyediakan internet dan komputer untuk anak-anaknya yang hobi bermain gim.

Namun, di balik kehidupan normal ini, ada rasa frustasi yang teramat besar dan mampu mendorong pasangan suami-istri mengajak anaknya untuk menjajaki konsep “mati syahid”, demikian menurut pengamat terorisme Noorhaidi Hasan.

“Memang bisa disebabkan oleh kemiskinan, namun itu bukan faktor tunggal atau akarnya. Saya lihat ekonomi mereka (keluarga Dita) ekonominya cukup oke. Punya rumah, terlihat mapan, punya bisnis sendiri, ada mobil. Jadi kemungkinan bukan bertindak karena protes akan keadaan miskin,” kata Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu, Selasa (15/5/2018).

Alih-alih faktor finansial, jelas Noorhaidi mengutip hasil riset untuk kepentingan disertasinya, terorisme lahir dari krisis identitas yang tercipta dari situasi kompleks dalam diri pelaku sehingga tak bisa berlaku normal. Mereka hidup di dalam sebuah sistem politik yang dianggap mengkolonialisasi diri, sehingga timbul rasa frustasi.

“Mereka menyalahkan negara sebagai pengendali sistem yang mereka benci, yang berciri kapitalis, kafir, dan sebagainya. Mereka berupaya agar sistem itu berganti, tapi tidak kunjung berganti. Sehingga melalui perjuangan yang ia yakini sebagai jihad, ia mencoba membangun identitasnya yang tercerabut,” lanjutnya.

Bunuh diri sesungguhnya bukan pilihan utama. Noorhaidi menekankan kata kunci "heroisme", sesuatu yang tidak akan berusaha mereka capai melalui tindakan menghancurkan diri berkeping-keping, seandainya propaganda verbal. Misalnya melalui kampanye syariat atau khilafah.

Saat upaya ini gagal, frustasi yang memuncak akan mendorong mereka menjadi pelaku bom bunuh diri.

“Mereka meyakininya sebagai cara membantu keluar dari kehidupan yang kacau dan brengsek ini. Juga tindakan yang bersifat altruistik sebab percaya 'pengorbanan' itu membuat kehidupan orang lain jadi lebih baik. Ya daripada hidup tertekan dan mati konyol, lebih baik mati yang mereka anggap syahid.”

Pengamat terorisme dari Certified Counter Terrorism Practitioner (CCTP) Rakyan Adibrata turut mengoreksi bahwa kemiskinan hanya satu dari deretan penyebab seseorang bisa menjadi teroris.

Ia mencontohkan beberapa teroris Indonesia, termasuk pelaku bom Bali, Azahari Husin. Azahari, pria asal Malaysia, punya modal finansial yang bagus sebab bisa meraih gelar Ph.D dari University of Reading, Inggris, juga pernah mengajar pada Universiti Teknologi Malaysia.

“Miskin, jika tidak ada faktor pendorong lain juga tidak jadi radikal. Bukan juga karena ingin mengatasi ketimpangan ekonomi sebuah negara, alias demi kemaslahatan umat. Mereka ingin melakukan aksi amaliyah karena ada indoktrinasi agama,” jelasnya, Selasa (15/5/2018).

Faktor pendorong lain, yang Rakyan jelaskan melalui bagan, selain indoktrinasi agama, adalah sentimen agama, intoleransi, degradasi moral, permainan stereotip, dan “inferiority complex”.

Ada pula faktor pendorong tambahan seperti korupsi, performa pemerintahan yang buruk, impunitas, pelanggaran hak asasi manusia, sampai soal kultur melarang perempuan untuk membuat keputusan sendiri.

Kondisi-kondisi tersebut sesuai dengan dengan pendapat pengamat terorisme sekaligus pendiri dan direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones.

Ia menyampaikannya pada Kamis (12/4/2018) dalam diskusi “Tantangan Terorisme dan Radikalisme di Indonesia dan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta.

Kemiskinan hampir tidak pernah menjadi pendorong utama munculnya aksi terorisme, katanya, sebagaimana dikutip Antara. Orang-orang yang rentan masuk organisasi berhaluan ekstremisme adalah mereka yang seringkali menjalani hidup dalam nuansa ketidakadilan serta kerap jadi korban tindak diskriminasi.

Fenomena Global

Jika ditarik ke skala global, pelaku teror dengan reputasi membanggakan pun banyak yang berasal dari keluarga berada. Washington Post bahkan berani menyimpulkan bahwa “sebagian besar teroris adalah anak orang kaya yang dimanja”.

Mereka mencontohkan Umar Farouk Abdulmutallab, tersangka percobaan teror bom di pesawat Northwest Airlines rute Amsterdam-Detroit pada 25 Desember (bertepatan dengan Hari Natal) 2009. Abdulmutallab berasal dari salah satu keluarga terkaya di Nigeria.

Nama lain yang lebih populer, Osama bin Laden selaku mantan dedengkot Al Qaeda dan musuh nomor satu pemerintah Amerika Serikat, juga berasal dari keluarga kaya yang punya hubungan dekat dengan bangsawan Saudi.

Soal Osama dan teroris berkantong tebal lain sesungguhnya bukan sesuatu yang misterius. Namun pemerintah AS era George W. Bush hingga Barrack Obama juga mengamini para ekonom yang berpegang pada teori “kemiskinan menyebabkan terorisme”.

Merujuk laporan Graeme Blair dan kawan-kawan untuk Foreign Affairs, sejak Al Qaeda membom kantor kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania plus serangan gedung World Trade Center tiga tahun berselang, pemerintah AS telah mendedikasikan miliaran dolar untuk mengatasi ancaman terorisme.

Salah satu alokasi terbesarnya yakni untuk tujuan mereduksi kemiskinan di negara-negara yang dianggap sebagai kantong teroris.

Pada tahun 2010 Obama mendukung pengiriman lebih banyak dana bantuan ke negara-negara miskin, karena "masyarakat yang sangat miskin" adalah "tempat berkembang biak yang optimal untuk penyakit, terorisme, dan konflik."

Menteri Luar Negeri Hillary Clinton sependapat, menyatakan pembangunan ekonomi merupakan "bagian integral dari kebijakan keamanan nasional Amerika."

Teori ini lantas patah lagi-lagi oleh para peneliti yang mendalami latar belakang ekonomi para pelaku aksi teror.

Pada tahun 2006, James A. Piazza dari Departemen Ilmu Politik Universitas North Carolina, AS, merilis hasil riset yang ia tujukan untuk menguji teori pemerintah AS di Jurnal Terrorism and Political Violence. Ia menjajaki 96 negara antara tahun 1996 hingga 2002.

Hasilnya tidak ditemukan hubungan signifikan antara ukuran ekonomi (kemiskinan, kekurangan gizi, ketidaksetaraan, pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi yang buruk) dan terorisme.

Empat tahun sebelumnya pendapat serupa digulirkan profesor ekonomi Universitas Princenton Alan Krueger dan profesor Institut Studi Timur Tengah dan Afrika di Universitas Charles, Jitka Malecova, di kanal New Republic. Dasarnya adalah riset mendalam kepada kelompok militan Hizbullah dan Hamas.

Hasilnya menunjukkan bahwa banyak anggota kedua kelompok yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah dan kelas atas. Kedua kelompok dikenal aktif merekrut anggota baru dari golongan tersebut.

Temuan penting lain, yang Krueger dan Maleckova terbitkan dalam Journal of Economic Perspectives (2003), menunjukkan bahwa para anggota Israeli Jewish Undergorund yang meneror warga sipil Palestina di akhir 1970-an dan awal 1980-an adalah orang-orang yang sangat berpendidikan dan punya pekerjaan yang mapan.

Peter Bergen, analis keamanan nasional CNN, tiga tahun lalu menyuguhkan profil sejumlah pelaku teror yang berlatar belakang ekonomi mapan. Mayor Nidal Hasan, pelaku penembakan massal di Fort Hood, Texas, hidup dalam keluarga kelas menengah di Virginia.

New America pernah menurunkan laporan in-depth berisi analisis latar belakang kurang lebih 250 militan yang tinggal di AS sejak tragedi 9/11 dan telah didakwa atau divonis akibat terlibat aksi teror atas nama jihad. Rata-rata berasal dari golongan kelas menengah terdidik dan punya keluarga senormal warga AS lain.

Demikian juga temuan mantan anggota CIA Marc Segman dalam bukunya Understanding Terror Networks (2004). Analisis 172 militan yang terafiliasi dengan Al Qaeda dan kelompok sejenis menyatakan kurang dari setengahnya masuk golongan profesional; dua per tiganya adalah kelas menengah atau kelas atas, plus pernah kuliah; dan beberapa di antaranya memiliki gelar doktor.

Temuan menarik lainnya tersaji dalam hasil riset Efraim Benmelech dari Northwestern University dan Esteban Klor dari Hebrew University dan diulas Dee Gill di kanal Chicago Booth Review dengan judul yang terang benderang: “Bukan, Kemiskinan Bukanlah Penyebab Terorisme”. Mereka memetakan asal negara para jihadis yang datang ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Anggota baru yang berasal dari Afghanistan, Pakistan, dan Sudan—negara berpopulasi muslim besar dan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi—berada di daftar paling bawah. Warga muslim yang paling mungkin menjadi radikal justru dari datang negara-negara yang ekonominya mapan di Eropa: Finlandia, Irlandia, Belgia, dan Swedia.

Pakistan bisa menjadi contoh lain dari negara yang sedang mengalami pertumbuhan jihadis dari kalangan kelas menengah. Muhammad Amir Rana mengonfirmasi fenomena ini dalam laporannya untuk Dawn, Mei 2015 silam.

infografik tajir tajir teroris

“Meskipun kehadiran ekstremis kelas menengah-atas dan dari kalangan elit bukan hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir jumlahnya terus tumbuh. Di Pakistan, segmen anggota kelompok militan yang berasal dari kelas menengah terdidik mewakili aliran baru,” tulisnya.

Bukti valid lain bisa kembali mengacu pada laporan Blair dkk untuk Foreign Affairs. Blair tertarik dengan Pakistan karena selama ini memang menjadi tempat asal jihadis skala global dan telah menjadi perhatian khusus oleh pemerintah AS sejak pertengahan 2000-an.

Blair dkk pada tahun 2009 mengadakan survei nasional di empat provinsi yang mewakili wilayah perkotaan dan pedesaan: Punjab, Balokhistan, Sindh, dan Khyber Pakhtunkhwa.

Tujuannya untuk mengukur rekam jejak empat grup terbesar: Al Qaeda; Taliban; kelompok militan Khasmir (Lashkar-e-Taiba, Jaish-e-Mohammed, Hizbul Mujahideen) dan kelompok sektarian seperti Lashkar-e-Jhangvi dan Sipah-e-Sahaba.

Salah satu temuan pokoknya menunjukkan bahwa alih-alih menjadi pelaku teror, golongan orang-orang miskin Pakistan justru menjadi korban sekaligus pembenci terbesar kelompok-kelompok militan yang bercokol di negaranya.

Level kebencian mereka dua kali lebih tinggi ketimbang kebencian orang-orang kelas menengah, yang bersikap agak positif terhadap kelompok-kelompok militan.

Blair menduga hal ini disebabkan karena aksi-aksi teror kebanyakan terkonsentrasi di daerah-daerah miskin, di pasar-pasar, dan di masjid-masjid. Aksi teror otomatis membuat ekonomi rakyat lumpuh—selain tentu saja menyeret nyawa orang-orang tak bersalah.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf