Menuju konten utama

Tren Hijrah Anak Muda: Menjadi Muslim Saja Tidak Cukup

Lewat cara dakwah yang populer via media sosial, anak-anak muda terpikat dan menjadi bagian dari komunitas hijrah.

Tren Hijrah Anak Muda: Menjadi Muslim Saja Tidak Cukup
Ilustrasi Fenomena hijrah di kalangan anak muda. tirto.id/Lugas

tirto.id - Orang-orang berjejal di lorong lantai dasar Apartemen Kalibata City, Senin malam, 6 Mei lalu. Sajadah terbentang, sandal-sandal bertumpuk di pelataran Masjid Nurullah. Menghalangi sebagian jemaah salat tarawih; beberapa mengambil tempat di atas keset tempat wudu.

"Saya juga berkeringat," kata ustaz Khalid Basalamah, mengelap muka dengan handuk kecil meski di depannya angin bertiup dari mesin pendingin ruangan.

Di apartemen itu, prostitusi daring tumbuh subur, kebanyakan melibatkan anak di bawah umur. Beberapa kali muncul berita kasus pembunuhan, bunuh diri, transaksi narkoba, hingga penangkapan warga negara asing ilegal.

Topik ceramah ustaz Salafi itu tidaklah rumit, membicarakan jemaah bersedekah. Ia juga menawarkan anak muda segera mengunduh aplikasi Android yang pas untuk belajar mengaji.

Ceramah Basalamah direkam dua kamera oleh tim profesional dari Badr TV, yang dikemas menjadi literatur keislaman dalam medium digital untuk diunggah di akun YouTube, Khalid Basalamah Official. Sejauh ini videonya sudah ditonton lebih dari 50 juta kali. Per tahun, berdasarkan algoritma socialblade.com, akun itu meraup 3,9 ribu hingga 62 ribu dolar AS.

Basalamah menjadi bagian dari gerbong ustaz kekinian yang mewadahi para pemuda berhijrah. Mediumnya yang memanfaatkan keterbukaan internet, melalui platform media sosial seperti YouTube dan Instagram, menjadikan generasi pendakwah era digital seperti dirinya, oleh para pengamat, disebut ustaz medsos—kelanjutan dari era ustaz seleb di televisi.

Tren hijrah ini, menurut Dr. Munirul Ikhwan, adalah konsep yang menyatakan menjadi muslim saja tidaklah cukup. Doktrin hijrah gampang menjangkiti kelas menengah urban yang frustrasi dan haus inspirasi kesalehan, menurut dosen pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Ada cara pengemasan yang unik antara kajian keislaman dan praktik manajemen bisnis yang diterapkan Basalamah. Ia membangun merek dagang, menyesuaikan diri dengan tren, dan kompetitif.

Meski begitu, ada pengamat yang cemas atas praktik hijrah yang marak di kantong-kantong masyarakat perkotaan itu. Najib Kailani, dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, mengkhawatirkan apa yang disebutnya meluasnya praktik hijrah dan menguatnya konservatisme.

Najib menggambarkan sekalipun pola dakwah dikemas secara ringan, tapi basis ajarannya cenderung punya semangat pada "pemurnian Islam", misalnya narasi dakwah menolak hukum yang dibuat manusia dan sebaliknya mengajak jemaah mengikuti hukum Allah semata.

Najib mencontohkan pendakwah seperti Felix Siuaw, mungkin ustaz medsos paling sukses saat ini, yang terhubung dengan Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi politik yang dibekukan pemerintahan Jokowi pada Juli 2017.

“Itu bukan beraku bagi nonmuslim tapi juga muslim sendiri karena yang benar 'Islam saya',” menurut Najib, yang fokus penelitiannya mencakup politik kesalehan masyarakat urban. Itu bisa berimplikasi serius terhadap "kebhinnekaan seseorang," tambah dia. (Anda bisa tak setuju dengan pendapatnya.)

Dakwah Menyesuaikan 'Segmen Pasar'

Dimas Wibisono memikirkan konsep komunitas Terang Jakarta saat tengah berdisko rave party, tiga tahun silam. Itu berguna sebagai jembatan bagi pemuda yang ingin berhijrah, pikir Dimas. Agar menarik, ia mengganti istilah kajian keislaman sebagai "sharing session."

“Ustaznya di-request jangan berpenampilan [pakai] baju koko, jangan seolah ini kajian,” kata Dimas, yang menyebarkan "sesi curhat" keislaman via media sosial.

Para peminat adalah pemuda yang baru pulih dari panti rehabilitasi narkotika, pemakai narkoba aktif, geng motor yang gemar tawuran, hingga pencandu minuman keras. Mereka berhijrah, kata Dimas, karena merasa terpuruk dari beban masalah yang tak kuasa dihadapi. Dalam istilahnya, “titik terendah” hidup mereka.

Topik kajian menghindari pembahasan yang rumit agar peminat merasa related pada pola dakwah yang bikin mereka nyaman, luwes, dan menghindari klise.

“Di situ ngumpul, sharing masalahnya apa. Pertanyaanmu apa, kami akan bantu menjawab," terangnya.

Sekali waktu komunitas Terang Jakarta bikin acara bertajuk Ngobat, alias "Ngobrol Perkara Tobat", sebuah topik yang membahas perkembangan dan bahaya narkoba. Sekali waktu mereka bikin kegiatan yang dekat dengan anak muda, misalnya olahraga basket bersama atau pelatihan kewirausahaan. Salah satu ustaz yang didatangkan adalah Abu Fida, pembina harian Terang Jakarta.

“Hampir semua dari kami Salafi. Tapi, ada teman kami yang Muhammadiyah, Persis, dan yang dulunya Syiah,” ujar Dimas menyebut ajaran dan organisasi Islam, yang ingin menekankan bahwa komunitas ini merangkul semua kelompok kecuali yang akidahnya berbeda.

Komunitas ini juga memiliki anggota di bawah umur, usia siswa SD sampai SMP, yang biasa diajari cara bergaul tidak kaku, diminta untuk tidak sok tahu dan menceramahi teman-temannya, ujar Dimas.

Demi menyambung napas komunitas, yayasan membangun bisnis travel dan merchandise seperti kaos. Mereka juga saling mendukung bisnis anggotanya, membuka lapak yang menjajakan makanan, biasanya pada acara bazar di masjid.

Kini, ada sekitar 400 anggota dalam grup WhatsApp Terang Jakarta. Percakapannya dilarang membahas topik politik praktis, meski ada beberapa anggotanya tertarik dan terlibat dalam mobilisasi politik "Aksi 212", ujar Dimas.

Pola pengemasan dakwah Terang Jakarta mirip dengan Shift, gerakan pemuda hijrah di Bandung. Pendirinya, Hanan Attaki, yang memiliki 6,9 juta pengikut di Instagram, pulang dari Mesir punya gagasan ingin mengubah pola dakwah yang kaku menjadi sesuatu yang fun.

Lewat bantuan Fani Krismandar atau Inong, sejawanya, jadilah ustaz Hanan yang berdakwah memakai baju ala anak distro: kemeja flanel dan kupluk; yang membahas topik-topik anak muda pada usia paling labil macam "jomblo fii sabilillah, friendship, kangen, baper, hingga tulus atau modus," tulis Muhamad Ibtissam Han, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, dalam tesisnya Anak Muda, Dakwah Jalanan dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan: Studi atas Gerakan Dakwah Pemuda Hijrah dan Pemuda Hidayah.

Shift, berdasarkan riset Ibtissam, tidak membuka sesi tanya-jawab dalam setiap kajiannya. Alasannya sederhana: tak punya ahli untuk menjawab secara mendalam pelbagai masalah anak muda. Selain itu, mereka berusaha menghindari pertanyaan provokatif yang berpotensi memicu kegaduhan.

Infografik HL Indepth Punk Hijrah

Infografik Tren hijrah anak muda. tirto.id/Lugas

Islam yang 'ready to use'

Najib Kailani dari UIN Sunan Kalijaga mengamati fenomena hijrah yang menyebarkan dakwah Islami dikemas secara populer itu sebagai "Islam yang ready to use."

“Bukan Islamisme yang lama. Aksi 212 itu kayak selfie-selfie. Kalau di Mesir disebut Islam Air Conditioning, pertemuan di hotel, kafe, ruang ber-AC,” kata Najib.

Gelombang hijrah meningkat, kata Najib, karena komodifikasi wacana keislaman yang kencang. Para pemuda butuh sesuatu yang instan, dekat dengan mereka, tidak rumit, dan tak memunculkan kebimbangan.

Misalnya soal hukum berhijab. Jika ditanyakan kepada Muhammad Quraish Shihab, sang cendekiawan muslim ini bakal menjabarkan berlapis pilihan hukum. Namun, jika ditanya kepada kelompok Salafi yang menggaungkan hijrah, ujar Najib, jawabnya singkat: hukumnya wajib.

“Jadi intervensi kepastian itu yang mereka butuhkan adalah bukan sesuatu yang membingungkan,” ujarnya.

Najib mengulas bahwa istilah hijrah muncul sejak 1990-an saat komunitas kajian di kampus-kampus mengadakan liqo dan halaqah. Usai kejatuhan Soeharto, pasarlah yang bermain sehingga perlu memperluas ruang, "bernegosiasi untuk mengemas dan menjual,” terangnya.

Awalnya Najib menduga para pemuda ini dipengaruhi bacaan Sayyid Qutb, pemikir Islamis Mesir, yang menulis Ma'alim fi al-Tariq atau Tonggak Sejarah (terbit perdana pada 1964). Namun, asumsinya keliru sesudah dia dan rekannya melakukan riset di 16 kota pada Desember 2017, bertajuk "Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Apropriasi, dan Kontestasi" (diterbitkan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Press pada Februari 2018)

"Ternyata yang mereka baca karya generasi yang mengaprosiasi ide-ide itu ke Indonesia dan anak muda,” tulisnya.

Misalnya, Felix Siauw yang mengemas Al Fatih sebagai sosok ideal anak muda penakluk kekuasaan. Kajian ideologis ini dituturkan ala motivasi. Buku ini akhirnya dikemas dalam bentuk manga. Dalam hal ini, ideologi keislaman Felix yang terhubung pada HTI melebur, tidak secara gamblang disampaikan, ujar Najib.

Contoh lain buku La Tahzan atau Jangan Bersedih yang ditulis seorang Salafi haraki bernama Aaidh ibn Abdullah al-Qarni (aktivis muslim dari Arab Saudi). Terjemahan buku ini laku keras bagi pasar pembaca Indonesia. Ide buku ini lalu dikemas-ulang oleh orang-orang Ikhwanul Muslimin menjadi La Tahzan for Hijabers atau La Tahzan for Jomblo yang ditulis Asma Nadia, ujar Najib.

Praktik hijrah yang juga menonjol adalah cara pengemasan dakwah yang menurut Najib cuma menyentuh lapisan permukaan, biasanya memakai teknik bercerita tentang masa lalunya sebagai seorang pendosa, sehingga menimbulkan motivasi bagi pendengar untuk berhijrah.

“Ini bukan fenomena Islam saja, tapi global. Fenomena seperti ini di Indonesia itu yang kuat terutama di kelompok Evangelis Karismatik seperti di Amerika Serikat," ujarnya.

=====

Ralat: Kami keliru menyematkan informasi latar belakang Abu Fida, yang tertukar dengan Abu Fida yang mantan napi teroris. Redaksi mohon maaf atas kesalahan ini.

Baca juga artikel terkait GERAKAN HIJRAH atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam