Menuju konten utama

Tren Genderless Make Up dan Gen Z yang Kian Cair Memaknai Gender

Konsep genderless beauty muncul karena generasi Z lebih cair dalam memaknai gender. Kian banyak produsen kosmetik mengakui keragaman gender dan kecantikan. 

Ilustrasi Make up. foto/istockphoto

tirto.id - Sekitar dua tahun terakhir, tren kecantikan tidak lagi mengarah pada warna atau produk tertentu, melainkan pada konsep genderless beauty—perawatan kulit dan rias wajah tanpa menggolongkannya ke dalam dua jenis kelamin. Para pelaku industri kecantikan berupaya menciptakan, mengemas, dan memasarkan produk tanpa embel-embel bahwa kosmetik atau produk perawatan kulit itu dibuat khusus bagi laki-laki atau perempuan.

Konsep genderless beauty biasanya diterapkan oleh “pemain baru” dalam industri perawatan kulit dan kecantikan. Fenty—lini kosmetik lansiran Rihanna—dan The Ordinary adalah contohnya. Dua jenama ini pun sudah cukup akrab di telinga konsumen Indonesia.

Meski begitu, ide kosmetik tanpa gender bukan hal baru dalam ranah kecantikan. Pada pertengahan 1990-an, lini kosmetik asal Amerika Serikat MAC melansir koleksi Viva Glam yang terdiri dari berbagai lipstik berwarna vibran. MAC juga menjadikan drag queen tersohor RuPaul sebagai brand ambassador produk tersebut.

Viva Glam bisa dibilang adalah salah satu proyek sosial MAC. Setiap hasil pembelian lipstik akan disumbangkan pada lembaga yang fokus pada penanganan atau pencegahan AIDS di AS. Dalam perkembangannya, hasil penjualan produk Viva Glam juga digunakan untuk mendukung gerakan sosial yang fokus pada isu perempuan dan gender.

Pada masa itu, nama RuPaul belum dikenal luas. Ketenarannya masih sebatas komunitas drag di New York yang memang mulai bergelora pada akhir dekade 1980-an. Wajah RuPaul beredar dalam zine yang diterbitkan Linda Simpson, kawan RuPaul yang rutin menyelenggarakan pesta bagi para drag di sebuah kelab di New York.

Menurut Simpson, skena drag sangat bergairah dan menjadi bagian budaya populer di New York era 1990-an. Keriaan dan perkembangan skena itu terdokumentasi dalam lima ribuan foto yang dipotret Simpson sepanjang 1987-1996. Foto-foto Simpson memotret banyak segi, mulai dari komunitas drag di East Village, kemudian merambah ke kelab-kelab besar, hingga pada akhirnya masuk ke ranah media massa dan industri hiburan.

Simpson lalu mengkurasi foto-foto itu dan menampilkannya dalam pameran keliling bertajuk The Drag Explosion pada 2012.

“Aku berada di tempat dan waktu yang tepat. Sepanjang pengalamanku sebagai drag queen, drag bertumbuh dari seni jalanan menjadi fenomena budaya pop,” kata Simpson kepada New York Times.

Gelora skena drag inilah yang melatari ketertarikan MAC menjadikan RuPaul sebagai ikon Viva Glam. Pada masa itu, sikap MAC ini tergolong berani. MAC seolah memberi standar kecantikan baru bahwa produknya tidak terbatas untuk kalangan cis-woman.

Viva Glam lalu jadi koleksi yang laris dan dipertahankan sampai sekarang dengan ikon yang berbeda setiap tahun. Pesohor yang juga sempat jadi ikon Viva Glam adalah Lady Gaga, Miley Cyrus, dan yang terbaru adalah penyanyi muda asal Spanyol Rosalia.

“Selain suaranya yang epik dan gayanya yang menarik, Rosalía sangat berkomitmen pada upaya peningkatan taraf kehidupan ODHA di seluruh dunia hingga kelompok rentan, seperti perempuan dan komunitas LGBTQIA,” tutur Kepala MAC Viva Glam Fund John Demsey kepada Teen Vogue.

Parfum Uniseks

Selain Viva Glam, produk genderless yang juga marak pada 1990-an adalah parfum uniseks One lansiran label Calvin Klein—biasa disebut CK One. Menurut kritikus fesyen Vanessa Friedman, parfum ini mewakili semangat anak muda era itu. CK One bahkan dijual di toko musik tersohor di New York dan dipajang di samping album Nirvana.

Friedman berkata bahwa CK One memang bukan parfum uniseks pertama, melainkan parfum uniseks pertama yang dijual untuk umum.

“Sebetulnya, semua parfum pada dasarnya genderless. Pemisahan parfum bagi laki-laki dan perempuan baru terjadi pada 1930,” tulis Friedman di laman New York Times.

Oleh karena itu, kehadiran kembali parfum uniseks pada dekade 1990-an dianggap sesuatu yang revolusioner. Ia berkesan segar lantaran tidak semua anak muda zaman itu paham dengan konsep parfum sebelum era 1930-an.

Secara umum varian pertama parfum CK One memiliki aroma yang segar dengan unsur citrus yang dominan. Selain citrus, campuran yang ada di parfum ini diantaranya aroma nanas, pepaya, kapulaga, the hijau, lili, mawar, ek, cedar, dan cendana. Biasanya, jenis parfum untuk perempuan atau laki-laki akan memiliki kombinasi bahan yang berbeda.

Campuran lili dan mawar, misalnya, lazim digunakan untuk parfum perempuan. Sementara itu, paduan cendana dan cedar biasanya untuk parfum laki-laki karena aromanya lebih tajam. Untuk menciptakan parfum uniseks, perfurmer CK lantas mencampurkan segala jenis bahan yang sebelumnya biasa dipisahkan itu.

Tokoh-tokoh yang kemudian jadi brand ambassador CK One di antaranya Kate Moss, Stella Tenant, dan Jenny Shimizu. Steven Miesel, fotografer yang memotret materi iklan CK One, menyatakan bahwa jiwa CK One adalah perlawanan. Maka itu, potret-potret Miesel menampilkan karakter-karater yang unik dalam hitam-putih.

“Potret bidikannya menampilkan laki-laki dan perempuan dengan berbagai macam bentuk tubuh dan warna kulit, terlihat tanpa riasan, ada yang rambut panjang, ada yang botak, kadang telanjang dada, kadang pose berguling di lantai tanpa alasan yang jelas, kadang pose berciuman, kadang melompat, berbicara,” kata Friedman.

Infografik Tren Kecantikan Genderless

Infografik Tren Kecantikan Genderless. tirto.id/Quita

Kembalinya Genderless Make Up

Menurut Senior Vice President Estee Lauder Grup—yang menaungi MAC, Tom Ford Beauty, Le Labo, dan Frederic Malle—Sam Cheow, konsep genderless beauty yang muncul saat ini dipicu oleh kecenderungan generasi Z mengabaikan konsep kecantikan yang diterapkan oleh generasi sebelumnya. Bagi generasi yang lahir setelah 1996 ini, gender bukan lagi konsep yang rigid.

“Pemahaman tradisional terkait identitas laki-laki dan perempuan sudah tidak relevan lagi untuk konsumen zaman sekarang,” tutur Cheow kepada Harper’s Bazaar.

Oleh karena itu, produsen produk kecantikan mengubah pendekatan mereka terhadap gender jika ingin tetap relevan dan bertahan. Terlebih, konsumen yang kini paling dominan berbelanja dan menggunakan kosmetik serta produk perawatan wajah adalah generasi Z. Para pebisnis kosmetik musti paham bahwa generasi Z punya kecenderungan membeli produk yang visinya dianggap mewakili dirinya.

Namun, merilis dan melabeli produk sebagai genderless saja tidaklah cukup menurut penata rias asal New York Bob Scott. Hal semacam itu barulah pengakuan awal bahwa konsep kecantikan tidak biner. Kebanyakan dari produsen itu belum sadar bahwa mereka masih terjebak pada pemahaman yang dangkal.

Mereka masih hanya membalik konsep, misalnya dengan mendandani perempuan dengan gaya tomboi. Padahal, tindakan itu tidak menghapus perbedaan gender sama sekali. Sementara itu, belum banyak orang yang berusaha memahami “ruang kosong” di antara konsep maskulin dan feminin.

“Ingat, riasan adalah salah satu bentuk ekspresi seperti halnya musik atau seni. Ia tidak memiliki jenis kelamin,” kata Scott kepada Harper’s Bazaar.

Ada kalanya produk kosmetik netral gender ini dirintis secara independen dan kemudian menjadi besar secara organik. Salah satu contohnya adalah Jecca Blac, kosmetik lansiran penata rias asal Australia Jessica Blacker. Dia membuka usaha kosmetik setelah mendapat dorongan dari klien-klien trans yang belajar merias kepadanya.

Karena itu, Blacker bertekad membuat kosmetik untuk segala golongan dengan spesifikasi khusus, seperti produk concealer yang bisa menyamarkan brewok.

Selain Jecca Blac, ada pula Fluide yang salah satu produknya berupa crayon universal yang bisa digunakan sebagai eye shadow, lipstik, dan blush on.

Para pakar pemasaran menyatakan bahwa produk-produk dengan jargon genderless semacam itu akan semakin banyak di masa depan. Pemain-pemain dari label besar seperti Gucci dan Tom Ford pun sudah mulai merintis jalan tersebut.

Baca juga artikel terkait MAKE UP atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Fadrik Aziz Firdausi